Oleh: Abdullah Fikri Ashri
Tidak lama lagi, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, bakal memasok energi listrik 110 megawatt. Proyek energi terbarukan ini tidak hanya bakal menerangi banyak daerah. Keberadaannya diharapkan meminimalkan dampak banjir tahunan yang kerap terjadi di sana.
Di dalam terowongan bersuhu di atas 30 derajat celcius, siang itu, Senin (27/9/2021), para pekerja berupaya menembus bukit di Jatigede. Alat berat dikerahkan melubangi batuan di dalamnya. Petugas lainnya memperkuat dinding terowongan dengan alat khusus.
Lorong selebar 4,5 meter dan panjang 693 meter yang dikenal dengan horizontal penstock itu merupakan salah satu jalur PLTA Jatigede. Awalnya, air dari Bendungan Jatigede masuk ke terowongan sepanjang 2,1 kilometer yang disebut sebagai headrace tunnel.
Lalu, air jatuh sekitar 70 meter ke bawah melalui vertical penstock, pipa saluran. Elevasi ke tempat lebih rendah inilah yang mempercepat arus air ke power station atau rumah energi. Debit air 73 meter kubik per detik itu dapat memutar dua turbin berkapasitas masing-masing 55 megawatt (MW).
Generator yang terhubung dengan turbin lalu mengubah energi mekanik ke listrik dan mengalirkan ke switchyard atau gardu induk. Listrik kemudian disalurkan ke transmisi tegangan tinggi 150 kilovolt. Ujungnya, listrik menerangi rumah warga di sejumlah daerah.
Beginilah mekanisme kerja PLTA Jatigede, salah satu jaringan pendukung listrik Jawa-Bali. Proyek nasional ini berada di tiga desa di Kecamatan Jatigede, yakni Cijeungjing, Kadujaya, dan Karedok serta di Desa Cipeles, Kecamatan Tomo.
Pengerjaannya dilakukan Sinohydro Corporation Limited dan Konsorsium PT Pembangunan Perumahan (Tbk) sejak 2015. Awalnya, infrastruktur senilai Rp 1,7 triliun itu ditargetkan selesai 48 bulan atau 2019 (Kompas, 20/12/2014).
Akan tetapi, target awal urung tercapai. Hingga minggu ketiga September 2021, capaian pembangunan sekitar 88,33 persen atau kurang 6,92 persen dari target perencanaan 95,6 persen. Beberapa bagian yang belum mencapai 50 persen adalah vertical dan horizontal penstock, pipa pesat yang mengalirkan air.
Manajer Unit Pelaksana Proyek Jawa Bagian Tengah 2 Agus Pawitra WP mengatakan, pandemi Covid-19 turut menghambat pengerjaan PLTA Jatigede. Apalagi, pemerintah sempat membatasi akses penerbangan, sehingga konsultan Sinohydro, perusahaan asal China, terkendala datang.
“Awal 2020 juga sempat ada yang suspek (Covid-19). Pengerjaan berhenti dari April 2020 dan jalan lagi Januari 2021. Kami utamakan keselamatan, safety first,” ungkap Agus. Artinya, sekitar sembilan bulan pembangunan PLTA itu terkendala.
Tidak hanya itu, sekitar 60 meter di area horizontal penstock terdapat tanah labil. Pengerukan terowongan pun harus dengan hati-hati di tengah semburan air tanah. Apalagi, dibutuhkan ledakan untuk melubangi bukit. Salah perhitungan bisa menyebabkan korban.
Pihaknya pun memasang pipa penguat di dinding terowongan untuk mengantisipasi tanah ambrol. “Proyek di bawah tanah itu tidak terprediksi. Tapi, kami berusaha mempercepat pengerjaannya 24 jam dengan sif. Semoga bisa selesai akhir tahun ini,” ungkap Agus.
Sekitar 700 pekerja lokal dan 140 tenaga terampil luar negeri turut mendirikan PLTA Jatigede. Adapun tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di proyek itu sudah mencapai 55,58 persen. Angka itu juga melebihi target TKDN pemerintah 50 persen.
Sejumlah komponen lokal itu, antara lain, struktur gardu, baja, semen, hingga bahan peledak. Artinya, produk lokal mendominasi dibandingkan luar negeri yang sekitar 44,42 persen. Produk impor itu seperti turbin dan perlengkapan gardu induk.
Mencegah banjir
Selain mengutamakan komponen lokal, PLTA Jatigede juga berkolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang membangun Jatigede. Bendungan ini mampu menampung 980 juta meter kubik air dari daerah aliran Sungai Cimanuk yang berhulu di Garut, melintasi Sumedang, Majalengka, dan Indramayu.
Ketika musim hujan, bendungan dapat mencegah banjir di daerah hilir seluas 14.000 hektar. PLTA Jatigede turut mendukung fungsi itu dengan membuat Bendungan Karedok sebagai pengatur aliran air. Berjarak sekitar 3 jam dari power house, bendungan ini berkapasitas 1,2 juta meter kubik.
Bendungan yang ditargetkan rampung akhir 2021 ini selain untuk pembangkit listrik juga mencegah banjir di daerah hilir. “Kalau enggak dibendung pasti air lebih deras dan Bendungan Rentang (Majalengka) kelebihan air. Akhirnya, bisa banjir di hilir,” ungkap Dinar Pradipto, Manajer Bagian Pengendalian Proyek UPP JBT 2.
April 2019 lalu, misalnya, ribuan rumah terendam di Indramayu karena luapan Sungai Cimanuk. Bendungan Jatigede saat itu belum sanggup menampung derasnya air. Apalagi, debit air di Cimanuk kala itu mencapai 1.400 meter kubik per detik, melebihi kapasitas 1.200 meter kubik per detik (Kompas, 11/4/2019).
Di sisi lain, Jatigede juga berfungsi memasok air bersih 3.500 liter per detik dan mengairi 90.000 hektar lahan pertanian di Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Itu sebabnya, PLTA Jatigede harus berkoordinasi dengan pengelola bendungan yakni Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung.
Apalagi, ketika elevasi waduk surut di musim kemarau. Pembagian air untuk listrik, irigasi, dan lainnya perlu diperhatikan. Senin siang, elevasi waduk kurang dari 248 meter di atas permukaan laut (mdpl). Padahal, titik ideal waduk adalah 260 mdpl.
“Di bawah 240 mdpl pun kami masih bisa beroperasi karena debit yang digunakan sedikit, 73 meter kubik per detik,” lanjut Dinar. PLTA Jatigede juga bukanlah pemasok listrik utama untuk jaringan Jawa-Bali. Listrik tersebut hanya akan dimanfaatkan pada beban puncak, pukul 17.00-21.00.
Dengan kekuatan 110 MW, Jatigede hanya 0,37 persen dari kapasitas terpasang pembangkit listrik di Jawa, yakni sekitar 30.000 MW. “Ini bisa dipakai tiga sampai empat kabupaten di sekitar Jatigede,” ungkap Agus.
Meskipun kapasitasnya kecil, lanjut Agus, PLTA Jatigede bisa langsung digunakan jika listrik utama dari pembangkit listrik tenaga uap padam. “Kalau PLTU harus tunggu sampai 10 jam untuk beroperasi. Usia PLTU juga sekitar 25 tahun, kalau PLTA bisa 100 tahun,” ujar Agus.
Itu sebabnya, menurut General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangkit Jawa Bagian Tengah Octavianus Duha, PLTA Jatigede memanfaatkan air yang tidak akan habis. Ini berbeda dengan PLTU yang bergantung pada batu bara. “Apalagi, kepastian supply (batu bara) di luar kendali kami,” katanya.
Kehadiran PLTA Jatigede juga langkah nyata meningkatkan porsi penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dari 13,55 persen menjadi 23 persen pada 2050. Saat ini, energi fosil yang suatu saat akan habis masih mendominasi pembangkit listrik di Indonesia.
“Meskipun kapasitasnya relatif kecil, PLTA Jatigede ini jadi program ketahanan energi PLN,” lanjut Octavianus. Penggunaan EBT tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga mengurangi beban subsidi energi fosil oleh pemerintah
Pihaknya pun berkomitmen meningkatkan porsi EBT di pembangkit listrik. Tidak menutup kemungkinan, lanjutnya, akan dibangun pembangkit listrik tenaga surya di atas air Waduk Jatigede. Namun, hal itu butuh pembicaraan karena bendungan tersebut milik Kementerian PUPR, bukan PLN.
PLN UIP JBT juga tengah membangun PLTA Cisokan di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur. Pembangkit berkapasitas 4 x 260 MW ini akan mencetak sejarah karena PLTA pertama di Indonesia yang menggunakan sistem pumped storage.
Teknologi ini akan memompa air dari dua waduk, yakni di bagian atas dan bawah. Begitupun sebaliknya, air akan mengalir di antara kedua waduk tersebut dan menghasilkan listrik. Ini berbeda dengan PLTA Jatigede yang menggunakan aliran air lalu mengembalikannya ke sungai asal.
“Rencananya di awal 2022 sudah bisa kontrak untuk pengerjaannya dan rampung 2025. Sejauh ini, Cisokan akan jadi PLTA Upper terbesar di Asia Tenggara,” katanya. Kehadiran PLTA Jatigede dan PLTA Cisokan nantinya merupakan sederet upaya mewujudkan ketahanan energi listrik melalui energi baru terbarukan.
Akan tetapi, dibutuhkan peran berbagai pihak. Bendungan Jatigede, misalnya, akan kekurangan air jika daerah hulu di Sungai Cimanuk gundul. Itu sebabnya, jika ingin energi ramah lingkungan, alam di sekitarnya juga harus terjaga. Bila begitu, sejahtera bisa datang tanpa harus kita sulit mencarinya.