Oleh Kristian Oka Prasetyadi
Ani Makisanti (79) masih ingat suasana Desa Kiniar, Kecamatan Tondano Timur, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada 1984. Cahaya kuning berpendar di setiap sudut desa di sisi timur Danau Tondano tersebut. Hampir tak ada rumah yang tak berlistrik.
Allo Lapian (81), warga Manado yang semasa kecil tinggal di Desa Kayuuwi, Kecamatan Kawangkoan Barat, Minahasa, masih mengingat pula transformasi kehidupan yang ia rasakan pada 1950-1960. Saat itu, listrik lebih dulu dinikmati di daerah Manado, baru kemudian wilayah Minahasa. Sejak itu, desanya tak perlu lagi mengandalkan pelita pada malam hari.
Ani dan Allo telah menjadi saksi bagaimana bangsa Indonesia, yang baru saja merdeka, merintis kelistrikan di Sulawesi Utara. Cahaya lampu yang memasuki desa-desa di Minahasa bermula di sebuah lembah di Desa Tonsealama di Tondano Utara. Di sanalah berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsealama.
PLTA Tonsealama termasuk dalam tujuh pembangkit pertama milik s’Lands Waterkracht Bedriven, perusahaan listrik di Hindia Belanda, yang didirikan pada 1927 dan menjadi cikal bakal PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Mulai dibangun pada 1928, Tonsealama menjadi pembangkit pertama di Indonesia yang menggunakan aliran sungai sebagai sumber energi primernya.
Sejarah mencatat, pembangunan PLTA itu memakan waktu panjang di tengah dinamika politik dunia kala itu. Antara tahun 1942 dan 1945 Pemerintah Jepang mengambil alih pembangunan PLTA Tonselama, lalu melanjutkannya dengan membangun bendungan, terowongan, serta mendatangkan turbin dan generator.
Namun, deklarasi kemerdekaan Indonesia setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II memindahkan segala proyek kelistrikan di seantero negeri ke tangan bangsa Indonesia sendiri. Setelah pernah tersendat, akhirnya PLTA Tonsealama selesai dibangun dan beroperasi pada 1950 dengan memanfaatkan aliran sungai yang berhulu di Danau Tondano.
Hingga kini, bentuk bangunan PLTA Tonsealama masih sama seperti yang dibangun pemerintah kolonial Belanda. Turbin pertamanya, tipe Francis Vertical/6007 buatan Escher Wyss & Cie tahun 1917, masih ada dan berfungsi dengan baik. Bersama generator General Electric buatan Amerika Serikat tahun 1918, jadilah pembangkit berkapasitas 4,44 megawatt (MW).
Kini, ketika usia mesin telah menua, unit pembangkit pertama ini masih mampu menghasilkan daya 3,2 MW. Karena itu, PT PLN memutuskan untuk tetap mempertahankan dan memfungsikannya. Keputusan ini juga wujud upaya mempertahankan kekayaan nilai sejarah yang terkandung di dalamnya.
”PLTA Tonsealama memiliki nilai historis yang sangat berharga. Selain menjadi tulang punggung sistem kelistrikan di Sulut, PLTA ini juga menjadi saksi sejarah bangsa kita dalam merintis kelistrikan ataupun merebut kemerdekaan,” kata Manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkit (UPDK) Minahasa PT PLN Andreas Arthur Napitupulu.
Pascakemerdekaan, lanjut Andreas, PLTA ini tetap menjadi salah satu saksi bisu upaya mempertahankan keutuhan bangsa. Pada tubuh generator dan bangunan unit pertama masih dapat dijumpai lubang-lubang bekas peluru dari baku tembak antara TNI dan pasukan Perjuangan Rakyat Semesta.
Seorang operator generator saat itu, Benyamin Kri Yoma, bahkan tewas dalam pertempuran itu akibat peluru nyasar. Menurut Andreas, segala rentetan kejadian di sekitar mesin PLTA ini menjadikannya unik. ”Itulah sebabnya PLTA Tonsealama tetap menjadi ikon sejarah kelistrikan kita,” katanya.
Pada 1971 dan 1980, kapasitas PLTA Tonsealama diperkuat dengan dua pasang turbin dan generator. Mesin Unit 2 berdaya 4,5 MW, sedangkan Unit 3 berkapasitas 5,5 MW. Bersama dengan Unit 1 yang tertua, ketiganya berkapasitas maksimal 14,38 MW, sekalipun daya mampunya saat ini berkisar 12,2 MW.
Dioptimalkan
Selama Danau Tondano masih menyediakan air, PLTA Tonsealama terus dioptimalkan untuk memasok listrik ke wilayah Sulut dan Gorontalo (Sulutgo). Sepanjang 2020, PLTA ini memproduksi daya sebesar 36,7 juta kilowatt jam (kWh). Mesin Unit 1 bahkan masih mampu menyumbang 1,67 juta kWh.
Manajer Unit Layanan PLTA Tonsealama Herbert Saragih mengatakan, sepanjang tahun 2021 sampai Agustus, sudah 36,7 juta kWh yang dihasilkan ketiga unit pembangkit. ”Dengan daya mampu saat ini, PLTA Tonsealama masih mampu menyumbang 3 persen dari kebutuhan listrik sebesar 415 MW di Sulut dan Gorontalo,” ujar Herbert.
Target produksi tahun ini pun tergantung dari Danau Tondano. Ia mencontohkan, sepanjang September 2021 debit air yang masuk ke saluran masuk (intake) PLTA hanya berkisar 8,3 meter kubik per detik, kurang dari setengah kapasitas intake sebesar 17 meter kubik per detik. Karena kekurangan pasokan air, pembangkit Unit 1 kerap diistirahatkan.
”Kalau kemarau berkepanjangan, kami bisa terpaksa berhenti pada siang hari untuk menampung aliran air di pipa intake kami, kemudian baru malam hari pembangkit kami aktifkan,” kata Herbert.
Biaya pokok produksi (BPP) yang rendah juga menjadi alasan untuk mengoptimalkan PLTA Tonsealama.
Ketika PLTA Tonsealama berproduksi maksimal, dua PLTA di bawahnya, yaitu Tanggari 1 dengan daya terpasang 18 MW dan Tanggari 2 yang berkapasitas 19 MW, dipastikan dapat berfungsi maksimal pula. Sebab, air yang digunakan untuk memutar turbin PLTA Tonsealama akan dialirkan sejauh 1,8 kilometer menuju intake Tanggari 1 dan 2.
Jika pipa masukan Tonsealama ditutup, sumbangan produksi 19 persen dari total daya mampu sebesar 620 MW akan menurun. Pada saat yang sama, bauran energi baru terbarukan (EBT) yang sudah melampaui target di sistem Sulutgo, sebesar 219 MW atau 33 persen, dipastikan akan menurun.
Secara nasional, kontribusi EBT dalam sistem kelistrikan nasional baru 10.400 MW atau 14,6 persen dari total kapasitas terpasang 70.900 MW. Pemerintah membidik peningkatan EBT hingga 47.500 MW pada 2035, dengan kontribusi PLTA sebesar 7.815 MW. ”Pengoperasian PLTA Tonsealama adalah upaya kami mendukung pemerintah mencapai target itu,” kata Andreas.
Tantangan
Kendati demikian, usaha memaksimalkan fungsi PLTA Tonsealama menemui kendala berat di hilir. Danau Tondano sebagai sumber energi primernya semakin mendangkal dan menyempit. Eceng gondok tumbuh subur, sedangkan sampah terus menumpuk di kolam pengumpul sampah dekat pipa intake PLTA Tonsealama.
Akibatnya, debit air yang diterima PLTA Tonsealama hanya berkisar 6,5 hingga 7 meter per detik, sementara ketinggian air hanya 235 milimeter, lebih rendah dari standar minimal 240 mm. Andreas mengatakan, hal ini menyebabkan PLTA Tonsealama hanya mampu bekerja dengan daya 7-8 MW atau 60 persen dari daya terpasangnya.
Menurut catatan Kompas, kedalaman Danau Tondano pada 1934 mencapai 40 meter pada 1934. Namun, danau itu terus mendangkal hingga menjadi hanya 14 meter pada 2010. Penyebabnya adalah sedimentasi 40 sentimeter per tahun. Danau pun menyempit, dari 4.700-an hektar hingga tersisa 3.925 hektar, sesuai pengukuran Pemerintah Kabupaten Minahasa.
Penyempitan danau juga dipercepat oleh banyaknya warga yang mendirikan rumah dan tempat usaha di tepian danau, baik restoran maupun keramba jaring apung. Limbah pertanian, peternakan, dan keramba pun menyuburkan eceng gondok, sementara sampah rumah tangga menumpuk.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melalui Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) I telah memulai program revitalisasi danau yang masuk daftar 15 danau kritis di Indonesia itu. Inti dari program ini adalah menyelamatkan luasan Danau Tondano dengan tanggul keliling sepanjang 24 kilometer demi mengembalikan luas danau menjadi 4.616 hektar.
Program ini juga diiringi pengangkatan eceng gondok secara rutin. Pemerintah pusat menganggarkan Rp 1,33 triliun selama 2021-2024 untuk rangkaian program tersebut. Saat tanggul selesai, tinggi air danau diharapkan meningkat hingga 1 meter total dan volumenya bertambah sebesar 46,16 juta meter kubik. Kondisi itu akan mengamankan pasokan air untuk menggerakkan PLTA Tonsealama, Tanggari 1, dan Tanggari 2.
Hingga kini, bangunan tanggul yang sudah jadi sekitar 3 meter. Kepala BWSS I, I Komang Sudana, mengatakan, revitalisasi Danau Tondano akan segera berlanjut. Pihaknya baru saja menandatangani kontrak baru dengan pelaksana proyek tanggul, pada akhir September lalu, sehingga konstruksi akan segera dimulai kembali.
Agar mampu mengatasi eceng gondok secara efektif, BWSS I telah memiliki perjanjian kerja sama dengan Komando Daerah Militer (Kodam) XIII/Merdeka sejak Mei 2021. TNI AD akan menyediakan 300-500 personel setiap hari untuk mengangkat eceng gondok. Saat itu, diperkirakan ada 600.000 kubik eceng gondok seluas 320 hektar yang harus diangkat.
Kodam XIII/Merdeka menargetkan agar semua eceng gondok dapat diangkat per 1 Desember 2021. Menurut Komang, BWSS I pun meningkatkan alokasi anggaran untuk mendukung sinergi lintas institusi ini.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Minahasa telah menyediakan anggaran Rp 4,9 miliar pada awal 2021 untuk revitalisasi danau. Bupati Minahasa Royke Roring mengatakan, pihaknya memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi pendangkalan dan eceng gondok di Danau Tondano.
Royke yakin, upaya menyelamatkan Danau Tondano bisa berjalan efektif setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi telah memerintahkan pembentukan kelompok kerja revitalisasi di daerah.
Namun, kebutuhan listrik masyarakat tak berhenti selagi pemerintah mempersiapkan program revitalisasi Danau Tondano. Karena itu, untuk sementara, pengelola UPDK Minahasa dan PLTA Tonsealama mengerahkan personel membersihkan kolam penampung sampah dari eceng gondok di kolam penampung.
Herbert, Manajer Unit Layanan PLTA Tonsealama, mengatakan hal ini dilakukan agar eceng gondok tidak lolos dan terselip tiga turbin. ”Kalau eceng gondok lolos, kemudian membusuk di turbin, kami bisa jadi harus stop operasi untuk membersihkan,” katanya.
Andreas, Manajer UPDK Minahasa, menambahkan, pihaknya terus bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk mengangkut eceng gondok, bahkan di area danau. Masyarakat pun bisa berkontribusi dengan cara berhenti membuang sampah.