Kompas/Priyombodo

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Co Firing

Produksi Pelet Jadi Pekerjaan Rumah

·sekitar 4 menit baca

PLTU ”co-firing” bisa mengurangi pemakaian batubara lewat pemanfaatan biomassa dari pelet kayu, sekam padi, dan cangkang kelapa sawit. Namun, dibutuhkan jaminan keberlanjutan pasokan biomassa tersebut.

Oleh Fransiskus Pati Herin

Stefanus Retang (30) menyortir rumput kering di tempat produksi pelet di Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021). Sekitar 2 ton rumput kering itu merupakan bahan baku produksi pelet demi mendukung pembauran energi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Ropa, tak jauh dari tempat itu.

Setelah dipilah dan dimasukan ke dalam mesin pencacah, segeralah keluar serbuk. Air bercampur cairan bioaktivator diguyur ke atas serbuk agar mudah menggumpal. Setelah digiling mesin pelet, serbuk tadi berubah menjadi bulatan-bulatan kecil yang siap digunakan. ”Ini sudah jadi bahan bakar,” ujar Stefanus yang bertugas sebagai operator itu.

Tempat pengelohan pelet di Desa Keliwumbu merupakan satu dari dua tempat yang sudah diuji coba PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) selaku pengelola PLTU Ropa. Satu lokasi lagi berada di Ende yang berjarak lebih kurang 90 kilometer dari PLTU Ropa.

Pelet yang sudah diproduksi kemudian dibawa ke PLTU. Dengan bantuan ekskavator, pelet yang digelar di atas hamparan batubara itu dicampur. Batubara menjadi bahan bakar utama yang didatangkan dari Kalimantan. Pelet dan batubara diaduk dengan komposisi 5 persen pelet dan 95 persen batubara. Dari total kebutuhan 300 ton bahan bakar PLTU per hari, pelet menyumbang 15 ton.

Pada Juni 2021, proses pencampuran dua bahan bakar itu diuji coba selama lima hari dan berjalan dengan lancar. Antonius Ardi, Manajer Unit PLTU Ropa, mengatakan, kandungan kalori dalam pelet tidak berbeda jauh dengan standar yang dibutuhkan untuk pembakaran. Kadar kalorinya telah diuji di laboratorium milik PLN.

Kadar yang terkandung dalam pelet itu mulai dari 3.800-4.100 kilokalori per kilogram (kkal/kg), sementara standar yang dibutuhkan 4.200 kkal per kg. Perbedaan itu masih dalam batas toleransi. Hasil pembakaran dalam PLTU itu menyuplai 34-38 ton uap panas setiap jam untuk mengerakkan turbin. Di PLTU Ropa terdapat dua pembangkit yang masing-masing berkapasitas 7 megawatt (MW).

Kompas/Priyombodo

Stephanus Retang (35) mencacah sampah biomassa dari rumput kering untuk dibuat pelet di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021). Pelet dimanfaatkan oleh PLTU Ropa sebagai substitusi atau campuran batubara pada metode co-firing sebesar 5 persen.

Antonius mengatakan, PLTU Ropa merupakan pembangkit listrik dengan bauran energi terbesar di Flores saat ini. Penggunaan pelet dimaksudkan mengurangi pemakaian batubara. Produksi emisi dari pembangkit itu pun bakal berkurang. Namun, hingga kini belum ada kalkulasinya mengingat penggunaan pelet belum berkelanjutan, masih sebatas uji coba.

PLTU Ropa yang mengandalkan batubara itu kini menyumbang hingga 20 persen terhadap sistem kelistrikan di Pulau Flores. Sistem interkoneksi dimaksud mulai dari Kabupaten Manggarai Barat hingga Sikka, atau tujuh dari delapan kabupaten di Flores. Daya yang tersedia sebanyak 119 MW dengan beban puncak mencapai 74 MW pada malam hari. Total pelanggan yang terhubung ke jaringan itu sebanyak 408.397.

Semangat gotong royong

Saat ini, PLN sedang berupaya menggandeng sejumlah pihak agar produksi pelet berlangsung secara berkelanjutan. Dua mesin produksi saja bakal tidak cukup untuk menyuplai hingga 15 ton pelet per hari. Saat didatangi Kompas, mesin Keliwumbu belum beroperasi maksimal lantaran mengalami gangguan listrik. Pihak pengelola juga sedang menyiapkan pemindahan lokasi operasi. Sementara mesin pelet yang satu lagi dalam keadaan rusak.

Manajer PLN Unit Pelaksana Pembangkitan Flores Lambok Siregar mengatakan, dibutuhkan minimal sekitar tujuh tempat produksi pelet. Saat ini, di Desa Keliwumbu, masyarakat diminta sebagai penyuplai bahan baku pelet. Setiap warga yang membawa 100 kilogram bahan baku akan diberi satu kompor pelet. Selanjutnya, mereka akan didiberi bahan bakar pelet.

”Dua mesin itu merupakan bantuan PLN untuk masyarakat dan pemerintah daerah. Lewat sistem ini, diharapkan akan tumbuh gerakan sosial kemasyarakatan. Mereka membawa sampah organik dari kebun, kemudian dibarter dengan pelet. Bagaimana masyarakat dilibatkan untuk mendukung program co-firing di PLTU Ropa. Kami ingin masyarakat menjadi yang terdepan dalam program ini,” kata Lambok.

Menurut Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende Petrus Djata, potensi sampah organik di daerah itu sekitar 70 persen dari total 110,86 ton sampah per hari. Sampah dimaksud dapat dijadikan bahan baku untuk produksi pelet. Kuncinya adalah pada pengadaan alat produksi.

Kompas/Priyombodo

Mengantarkan sampah ke shelter pengolahan pelet. Sampah biomassa digunakan untuk kompor pelet hingga PLTU co-firing.

Satu set alat produksi terdiri dari mesin cacah dan mesin pelet, dibutuhkan anggaran hingga Rp 750 juta. Secara bertahap, pemerintah daerah akan mengalokasikan dana pengadaan itu lewat anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selebihnya mereka berharap bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan lembaga lainnya.

Pihaknya juga mendorong agar desa-desa di Ende dan Pulau Flores pada umumnya agar proaktif dalam mendukung pengolahan sampah menjadi pelet. Masyarakat dan pemerintah desa tak perlu khawatir dengan pemasaran pelat. Harga beli pelet yang ditetapkan PLN adalah Rp 600.000 per ton.

”Sebenarnya dana desa bisa juga digunakan untuk pengolahan pelet, tetapi belum ada nomenklaturnya. Hal itu sedang dikonsultasikan dengan kementerian terkait agar penggunaannya nanti tidak menimbulkan masalah hukum,” kata Petrus.

Metode penggunaan pembangkit menggunakan bauran bahan bakar fosil dan pelet merupakan langkah tepat dalam mendukung pengurangan energi fosil yang harga lebih mahal. Penggunaan pelet juga senapas dengan semangat energi ramah pada lingkungan. Namun, yang menjadi kendala saat ini adalah ketersediaan pelet. Mesin produksi belum belum beroperasi secara berkelanjutan. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak.

Artikel Lainnya