KOMPAS/AHMAD ARIF

Warga Desa Kaliau, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, berada di depan gardu listrik yang mendapat pasokan listrik dari Kampung Biawak, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, Kamis (19/2).

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Kalimantan: Cahaya dari Negeri Tetangga

·sekitar 4 menit baca

Berpuluh tahun dibekap gelap, sebagian desa di batas negara itu kini bermandikan cahaya. Listrik dari negeri tetangga yang mengalir nonstop 24 jam ke sana telah mengirim cahaya itu. Cahaya yang tak sanggup diberi oleh negeri sendiri.

“Kami baru bisa merasa senang sekarang. Listrik sudah bisa dinikmati siang malam seperti di kota,” kata Maria (30), warga Desa Kaliau, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Maria gembira menyikapi listrik dari Malaysia yang mengalir sejak 23 Januari 2009. Sebelumnya, warga desa yang berbatasan dengan Kampung Biawak, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, itu hanya bisa menikmati listrik saat malam. Itu pun aliran listriknya sering mati hidup.

Tak hanya Maria yang bersukacita, PT PLN (Persero) juga mempersiapkan seremoni peresmian pada 26 Februari mendatang di Sajingan Besar, yang rencananya dihadiri Direktur Utama PT PLN Fahmi Mochtar.

Tak mampu

Meski pahit, mesti diakui, bangsa Indonesia yang kaya sumber daya alam dan energi tak mampu memenuhi kebutuhan dasar warganya. Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Khusus Perbatasan Kalbar merilis, hingga 2008, dari 116 desa di Kalbar yang berbatasan dengan Malaysia, masih sekitar 67 desa atau sekitar 58 persen yang belum teraliri listrik PLN.

Dari 49 desa yang sudah ada jaringan PLN itu, belum semua warganya menikmati listrik PLN. Tercatat ada 36.612 keluarga yang menghuni 49 desa tersebut dan hanya 14.757 keluarga yang menikmati listrik dari PLN. Sekitar 1.831 keluarga mengusahakan sendiri listrik dengan genset atau pembangkit listrik tenaga surya.

Gaus (52), warga Dusun Gun Tembawang, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Sanggau, misalnya, hingga detik ini masih harus mengeluarkan biaya membeli solar sekitar Rp 1.080.000 per bulan untuk menghidupkan genset pukul 18.00-24.00.

Sementara Saset (40), petani di Dusun Gun Jemak, sejak lahir hingga sekarang masih menggunakan pelita untuk penerangan rumahnya pada malam hari. “Genset barang yang mahal bagi kami,” katanya.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, PT PLN memutuskan membeli listrik dari Malaysia. Kontrak kerja sama pembelian listrik dari Malaysia tersebut meliputi 200 kVA untuk memenuhi kebutuhan di Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, dan 400 kVA untuk memenuhi kebutuhan di Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. Daya listrik dari Malaysia ini dibeli PLN sebesar 30,2 sen ringgit Malaysia atau sekitar Rp 936 tiap kWh. Sedangkan PLN menjual kepada masyarakat di perbatasan tetap Rp 500 tiap kWh.

Kerja sama pembelian listrik dari Malaysia mulai intensif dibahas pertengahan tahun lalu. Pada 10 Juli 2008, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi memberikan persetujuan terhadap pembelian listrik dari Malaysia untuk wilayah perbatasan itu.

Pembelian listrik dari Malaysia itu karena kebutuhan listrik di perbatasan yang semakin meningkat, sementara kemampuan PLN untuk memenuhi kebutuhan itu terbatas. Pembelian listrik dari Malaysia juga dapat menekan kerugian yang selama ini diderita PLN untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di kedua wilayah itu.

Biaya operasional PLTD PLN di Sajingan Besar dan Badau mencapai Rp 166 juta tiap bulan. Sementara dengan membeli listrik dari Malaysia, PLN hanya perlu mengeluarkan subsidi Rp 74 juta tiap bulan.

Ketergantungan

Bupati Sambas Burhanuddin A Rasyid mengatakan, pasokan listrik dari Malaysia sangat berarti bagi warga perbatasan. Bahkan, dengan bersemangat ia mengungkapkan, wilayah yang dialiri listrik dari Malaysia itu kemungkinan akan diperluas hingga ke Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang.

Namun, pengamat sosial di Kalbar, William Chang, justru melihat pembelian listrik dari Malaysia ini sebagai salah satu bentuk kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. “Pemerintah harus belajar, kenapa Malaysia bisa, sementara kita tidak. Padahal, Sarawak dan Kalimantan berada di daratan yang sama, kekayaan alamnya sama. Bahkan, lebih kaya Kalimantan,” kata Chang.

Pembelian listrik dari Malaysia meningkatkan ketergantungan warga perbatasan terhadap Malaysia, yang selama ini sudah bergantung pada berbagai produk Malaysia dari gula hingga gas.

Indonesia menjadi pasar bagi produk jadi Malaysia dan Malaysia menerima produk mentah Indonesia. Nilai tambah ekonomi ada di Malaysia.

“Dilihat dari segi pertahanan dan keamanan wilayah, posisi tawar Malaysia di sana juga jelas lebih kuat,” katanya.

Kekhawatiran itu juga tersirat dalam pernyataan Wakil Gubernur Kalbar Christiandy Sanjaya. Ia berharap, pembelian listrik dari Malaysia untuk warga perbatasan ini bukan untuk jangka panjang.

“Jika skema pembangunan energi listrik Indonesia pada 2010 terwujud, kita tidak perlu lagi bergantung pada pihak luar negeri,” katanya.

Pembelian listrik dari Malaysia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kalimantan adalah ironi terbesar negeri ini. Betapa tidak, Kalimantan adalah salah satu produsen batu bara terbesar dunia. Batu bara Kalimantan telah memberi cahaya kota-kota di Pulau Jawa hingga ke Korea dan Jepang. Namun, kekayaan alam Kalimantan ini tak mampu memberi cahaya kepada penduduk Kalimantan sendiri.

Coba saja datang ke Palangkaraya menjelang petang. Hari begitu cepat malam karena sebagian besar wilayah kota gelap tanpa listrik. “Saya sedih, tapi saya tidak ingin menangis,” kata Teras Narang, Gubernur Kalteng, prihatin. (HARYO DAMARDONO/AHMAD ARIF)

Artikel Lainnya