KOMPAS/AHMAD ARIF

Truk batu bara antre menunggu giliran bongkar muatan di Pelabuhan Tri Sakti, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (12/2). Setiap hari sedikitnya 3.000 truk batu bara menggunakan jalan trans-Kalimantan menuju pelabuhan-pelabuhan batu bara di wilayah Kalimantan Selatan.

Liputan Kompas Nasional

Trans-Kalimantan: Batu Bara dan Sawit Meningkat, Rakyat Sengsara

·sekitar 4 menit baca

Produksi dan volume perdagangan batu bara dan minyak sawit mentah dari Kalimantan makin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi tak diiringi kenaikan kemakmuran warga secara signifikan.

Masyarakat Kalimantan justru harus menanggung kerugian dengan hancurnya infrastruktur jalan karena jalur trans-Kalimantan didominasi kendaraan industri tambang dan perkebunan sawit yang melebihi tonase.

Camat Laung Tuhup M Syahrial Pasaribu, Senin (23/2), mengemukakan, warga di pedalaman Desa Muara Laung, Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, harus membeli beras lebih mahal Rp 800 per kilogram dibandingkan dengan kecamatan lain yang jalannya bisa dilalui truk.

Di Desa Kandungan, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, warga mengeluhkan sulitnya menjual kelapa sawit mereka. Perusahaan sawit yang ada di desa itu hanya mementingkan panenan dari kebun mereka sendiri.

“Hasil panenan kami sering membusuk. Mau dijual ke daerah lain sulit karena jalan hancur,” kata Solle (35), warga di daerah perbatasan dengan Malaysia ini.

Maria (30), warga Desa Kaliau, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, menambahkan, untuk menjual getah karet dan sayur-mayur, ia harus berjalan kaki sejauh 5 kilometer ke Kampung Biawak, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, karena jalan di Kota Sambas rusak parah. Maria juga bergantung dari Malaysia untuk mencari gula, misalnya.

Meningkat

Kesulitan yang dialami masyarakat Kalimantan itu berbanding terbalik dengan produktivitas serta ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit daerah ini.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kalimantan Selatan Subarjo mengatakan, produksi batu bara Kalsel pada tahun 2007 mencapai 52,2 juta ton dan tahun 2008 mencapai 78,5 juta ton. Sebagian besar batu bara diekspor ke luar negeri dan angka ekspor meningkat tajam dua tahun terakhir, yaitu 40 juta ton pada 2007 dan 50 juta ton pada 2008.

Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar Ilham Sanusi mengatakan, produksi minyak sawit mentah (CPO) di Kalbar per tahun mencapai 700.000 ton, dengan nilai jual di pasar lokal mencapai Rp 4 triliun.

“Produksi sejumlah itu tidak hanya dinikmati pengusaha sawit, tetapi juga sekitar 500.000 pekerja pabrik sawit dan 80.000 petani sawit,” katanya.

Perkebunan sawit juga memberi kontribusi menggerakkan perekonomian rakyat. “Investasi sawit di Kalbar tahun 2008 mencapai Rp 3 triliun dan efeknya luar biasa dalam menggerakkan ekonomi rakyat,” katanya.

Di Kaltim, pertumbuhan ekonomi selama 2008 naik sekitar 7 persen tanpa migas dan 3 persen dengan migas. Namun, hancurnya jalan di Kaltim, menurut dosen ekonomi Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi, akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Kaltim hanya 5-6 persen tanpa migas dan 1-2 persen dengan migas pada 2009. Potensi ekonomi yang hilang senilai Rp 2,1 triliun sampai Rp 4,2 triliun.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kaltim 2009 menunjukkan bahwa dari pendapatan asli daerah Rp 1,5 triliun, sekitar Rp 1,2 triliun di antaranya berasal dari pajak hasil bumi (terutama dari tambang batu bara) dan bangunan serta pajak kendaraan bermotor. “Pajak yang disetorkan perusahaan jauh lebih kecil daripada dampak perbuatan mereka yang menghancurkan jalan,” kata Aji.

Respons industri

Ketua Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Kalteng Teguh Patriawan mengatakan, hingga saat ini truk tangki pengangkut CPO masih harus melintasi jalan negara trans-Kalimantan. Ini karena jalan negara masih merupakan satu-satunya akses dari pabrik pengolahan menuju pelabuhan laut di Kalteng, di Pelabuhan Bagendang, Kabupaten Kotawaringin Timur, dan di Pelabuhan Bumi Harjo, Kabupaten Kotawaringin Barat.

Ia menilai, perusahaan sawit seharusnya mengendalikan kontraktor pengangkut CPO patuh terhadap batasan maksimal 8 ton agar tidak merusak jalan trans-Kalimantan.

Menurut Teguh, perusahaan sawit juga tak memberi kontribusi biaya pemeliharaan jalan, kecuali retribusi di pelabuhan yang diambil oleh pemerintah kabupaten. “Besarnya sumbangan mereka Rp 10-Rp 20 per kilogram CPO,” ujarnya.

Namun, tudingan itu ditentang Ketua GPPI Kalbar Ilham Sanusi yang menyebut kualitas jalan yang rendah sebagai penyebabnya.

Beban berat jalan masih terjadi di Kalsel karena 3.000-an truk khusus angkutan batu bara sampai saat ini masih mendominasi pemakaian jalan nasional, khususnya di poros selatan di daerah Kabupaten Kota Baru-Tanah Bumbu-Tanah Laut dan poros tengah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan-Tapin-Banjar-Banjarbaru-Banjarmasin.

Dihentikan

Kepala Dinas Perhubungan Kalsel Fahrian Hefni mengatakan, sesuai dengan peraturan daerah penggunaan jalan untuk batu bara dan perkebunan besar, pemakaian jalan umum untuk angkutan batu bara dan perkebunan besar akan dihentikan pada 23 Juli 2009.

“Pantauan di lapangan, saat ini 50 persen jalan khusus sudah ada. Kami harapkan dalam beberapa bulan ini semua jalan khusus itu sudah siap pakai,” katanya.

Menurut Fahrian, sebagian truk batu bara juga didatangkan dari Jawa dan Sulawesi yang sama sekali tak dikenai pungutan khusus pemakaian jalan. (CAS/FUL/WHY/BRO/RYO/AIK)

Artikel Lainnya