Jalan yang hancur sepanjang trans-Kalimantan di Provinsi Kalimantan Timur menjadi saksi kegigihan para pedagang lintas daerah. Mereka nekat menembus jalan hancur itu untuk menjual berbagai kebutuhan masyarakat di utara Kalimantan Timur. Namun, sering kali nasib mereka berujung pada kubangan lumpur yang menjebak kendaraan mereka hingga berhari-hari. Bukannya untung yang diraih, mereka justru bangkrut.
Di kubangan lumpur di kaki Bukit Pimping, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur, kami bertemu Budi (35), pedagang dari Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Truknya yang mengangkut bibit karet dari Amuntai itu tersangkut di kubangan lumpur. Sudah seminggu dia di jalan, separuh dari 50.000 bibit karet yang dibawanya mati mengering.
“Perhitungan ulun (saya) meleset. Harusnya bisa sampai Malinau dalam tiga hari, ternyata sudah seminggu baru sampai Bulungan,” katanya.
Budi membayangkan kerugian besar yang bakal dideritanya. “Jalan di sini susah dikira-kira. Kadang lancar, kadang seperti ini, bisa nyangkut berhari-hari. Tapi, kalau kita putus asa, mau kerja apalagi,” ujarnya.
Tahun lalu Budi juga mengalami hal nyaris sama. Waktu itu dia membawa induk bebek dari Amuntai untuk dikirim ke Malinau. Dari 200 bebek yang dibawanya, hanya tersisa 50 ekor. Sisanya mati karena kelamaan di jalan. “Tak hanya bebek, kami juga sering kelaparan karena berhari-hari nyangkut di jalan,” ujarnya.
Para pengendara yang terjebak di jalanan ini hanya bisa berharap pada solidaritas sesama pengendara lain. Mereka saling tarik dan saling bantu. “Selain membawa bekal makanan, kami juga harus bawa cangkul dan tambang seling, siap-siap menarik kendaraan lain yang mogok. Kalau kami tak bantu orang lain di jalan, mereka tak akan bantu kami,” kata Budi.
Tak hanya menjadi saksi kegigihan dan solidaritas rakyat, jalan itu juga menjadi potret dominasi truk minyak sawit mentah (CPO) yang menjadi penguasa jalanan. Minggu (8/2) siang, 12 truk tangki CPO milik PT Matra Sawit, masing-masing bermuatan 12 ton, berkonvoi di ruas jalan itu. Salah satu truk terjebak lumpur sedalam 30 sentimeter (cm) sehingga menghalangi kendaraan lain yang mau lewat. Enam truk bermuatan makanan dan sejumlah kendaraan pribadi ikut tertahan.
Alat berat milik perusahaan sawit, yang mengawal konvoi, berusaha mengeluarkan truk tangki yang terjebak itu. Dua tentara ikut mengawal konvoi itu, meminta kendaraan lain menepi. “Saya sudah semalam di sini, harus menunggu sampai truk sawit itu bisa lewat,” kata Khaerudin, pengendara kendaraan pribadi yang ikut terjebak, sekitar 47 km dari Tanjung Redeb.
Selama sepekan terakhir, sedikitnya 370 kendaraan tertahan di ruas jalan itu akibat truk sawit yang terperosok dan menghalangi jalan itu. “Ada yang telah tertahan selama seminggu.”
Menurut Khaerudin, perusahaan sawit itu hanya peduli pada kelancaran angkutan truk tangki CPO mereka. Begitu konvoi truk CPO dan alat berat melintas, kondisi jalan tambah hancur, meninggalkan kendaraan-kendaraan lain yang terjebak di sana. “Jalan negara ini tak dibuat hanya untuk perusahaan sawit. Tapi, nyatanya jalanan seolah dikuasai mereka saja. Dengan muatan seberat itu dan sumbu satu, jalanan akan terus hancur,” kata Suharyanto, Kepala Sub-Direktorat Jalan Wilayah Timur Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum.
Truk sawit yang menguasai jalan-jalan di lintas utara Kaltim menjadi tertuduh penyebab kerusakan jalan, selain juga perbaikan jalan yang hanya tambal sulam akibat minimnya anggaran.
Di Kaltim, hanya 493,70 km jalan berkondisi baik dari 1.219,95 km jalan nasional. Suharyanto sendiri pun meragukan data itu. “Data ini kurang valid. Kini kondisinya lebih buruk,” katanya sambil mengempaskan kertas kerja. Ia juga ikut dalam Jelajah Kalimantan 2009 dari Nunukan ke Samarinda.
Bagaimana tak buruk bila dana terbatas. Dari Labanan (Km 0) hingga Km 50 di Kabupaten Berau, ruas jalan nasional yang menjadi “kuburan” kendaraan-kendaraan ini pada tahun anggaran 2009 hanya mendapat Rp 3,5 miliar dari dana ideal Rp 114,2 miliar.
Di satu ruas utama, yakni dari Kota Bontang ke kota tambang Sangatta, keterbatasan anggaran juga membuat jalan hancur sulit diperbaiki. Jalan sepanjang 53,14 km itu hanya mendapat Rp 20 miliar dari dana ideal Rp 123,54 miliar.
Alhasil, di ruas itu kini terdapat “jembatan-jembatan tol”, terbuat dari bilah-bilah kayu untuk melewati kubangan lumpur sedalam 30-45 cm. Orang harus membayar Rp 5.000 sekali jalan untuk melewati “jembatan” sepanjang 30-an meter ini. Inilah “jalan tol” termahal di republik ini.
Kompas yang kebagian giliran menyetir terpaksa “terjun” ke dalam kubangan lumpur untuk menghindari “jembatan” kayu itu. Tapi, sulit sekali mengendalikan mobil buatan akhir 2008 meski telah menyalakan gardan ganda, sebab dasar kubangan itu diisi batu-batu ukuran besar oleh petugas “gardu tol jembatan” itu.
Jalan trans-Kalimantan sepanjang 1.219 kilometer telah menjadi kuburan kendaraan dan pupusnya harapan rakyat yang melintas. Di sepanjang jalan, terutama di ruas Labanan hingga Muara Wahau, sepanjang 179 km, banyak mobil yang ditinggalkan pengendaranya. Kalau tidak mengalami pecah ban, rusak pelat kopling, biasanya mobil-mobil itu mengalami patah as. (AMBROSIUS HARTO/M SYAIFULLAH)