KOMPAS/EDDY HASBY

Kanal-kanal yang dahulu berfungsi untuk mencegah banjir terlihat di kompleks Taman Purbakala Kerjaan Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: Bukit Siguntang, “Landmark” Kota Sriwijaya

·sekitar 4 menit baca

Hampir saja mobil membentur batu besar. Mobil yang akan parkir di halaman Museum Sriwijaya, di dalam Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, itu tepat berada di depan batu prasasti peninggalan Sriwijaya. Satu sisi batu bertuliskan huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuna ditemukan di kaki Bukit Siguntang pada tahun 1928. Aksaranya ditumbuhi lumut.

Bukit Siguntang, yang letaknya tak jauh di sebelah utara Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, merupakan bukit paling dikenal di Palembang, Sumatera Selatan. Prasasti batu yang tergolek di halaman museum itu merupakan salah satu fragmen sejarah Palembang tua.

“Telah masyhurlah pada segala negeri bahwa anak raja anak cucu raja Iskandar Dhu’l-karnain turun ke Bukit Si Guntang Maha Miru, maka segala raja-raja dari segala negeri pun datanglah menghadap raja itu sekaliannya dengan persembahannya”.

Demikian sepenggal kalimat yang ditulis dalam kitab Sejarah Melayu, 13 Mei 1612. Kalimat ini mengindikasikan kesakralan Bukit Siguntang.

Bukit Siguntang yang posisinya sekitar 26 meter di atas permukaan laut itu berupa bukit kecil, letaknya sekitar 5 kilometer arah barat Kota Palembang. Meskipun bukit ini tidak begitu tinggi, gundukan tanah yang tersisa 20-an hektar di sana merupakan bentang alam yang tertinggi untuk Kota Palembang. Apabila kita naik ke atap Jembatan Ampera dan memandang ke arah barat laut, akan tampak Bukit Siguntang menonjol di dataran rendah Kota Palembang yang luas.

Tinggalan Sriwijaya

Pada tahun 1920 dan 1928, di daerah kaki Bukit Siguntang ditemukan beberapa fragmen dari sebuah arca. Setelah semua fragmen disatukan, fragmen- fragmen tersebut ternyata berasal dari sebuah arca Buddha Sakyamuni yang cukup besar. Kepala arca itu sendiri “ditemukan” oleh FM Schnitger di Museum Nasional Jakarta.

Setelah semuanya disatukan, arca Buddha Sakyamuni diketahui berukuran tinggi 277 sentimeter (cm), lebar bahu 100 cm, dan tebal 48 cm. Berdasarkan ciri-cirinya, pakar arkeologi menetapkan arca itu berasal dari sekitar abad ke-6 Masehi. Arca Buddha Sakyamuni sekarang ditempatkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.

Di Bukit Siguntang juga ditemukan stupa dari batu pasir, 1 prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuna, 1 prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Sanskerta, serta 1 pinggan emas dengan tulisan berupa ajaran Buddha. Selain itu, ditemukan juga 1 arca Bodhisattwa, 1 arca Kuwera, 1 kepala arca Bodhisattwa, dan pecahan-pecahan keramik yang berasal dari masa Dinasti T’ang (abad ke-8 sampai ke-10 Masehi). Arca Kuwera yang dibuat dari perunggu dan kepala arca Bodhisattwa sekarang sudah hilang.

Prasasti Bukit Siguntang, yang tercampak di halaman Museum Sriwijaya, menyebutkan tentang banyaknya yang terlibat dalampeperangan yang menelan banyak korban jiwa, sebab-sebab peperangan, dan kutukan kepada mereka yang berbuat salah. Informasi itu penting karena dari sekian banyak prasasti Sriwijaya, hanya prasasti ini yang memuat tentang peperangan dengan korban jiwa yang besar.

Tinggalan-tinggalan dari Bukit Siguntang itu merupakan suatu bukti bahwa pada masa lampau bukit tersebut merupakan pusat puja bakti masyarakat pemeluk ajaran Buddha.

Raja-raja Melayu

Menelusuri usia arca Sakyamuni yang berasal dari abad ke-6 Masehi, ini mengindikasikan bahwa di Bukit Siguntang telah ada pusat upacara jauh sebelum kelahiran Sriwijaya (16 Juni 682). Diduga sebelum Dapunta Hyang membangun Sriwijaya, dia melakukan upacara Waisak terlebih dahulu di Bukit Siguntang itu.

“Adapun negeri Palembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Sungai Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada sebuah bukit bernama Bukit Si Guntang; di hulu Gunung Maha Miru, di daratnya ada satu padang bernama Padang Penjaringan. Maka ada dua orang perempuan berladang, Wan Empo seorang namanya dan Wan Malini seorang namanya; dan keduanya itu berumah di Bukit Si Guntang itu, terlalu luas humanya….”

Sepenggal kalimat itu tercantum dalam Sejarah Melayu. Seterusnya, kitab tersebut menceritakan turunnya Sang Siperba (makhluk setengah dewa) ke Bukit Siguntang dan mengawini Wan Empo dan Wan Malini. Keturunannya yang bernama Parameswara di kemudian hari membangun Melaka dan menurunkan raja-raja Melayu di Sumatera, Kalimantan Barat, Singapura, dan Semenanjung Tanah Melayu.

Bukit Siguntang oleh sebagian masyarakat, terutama Melayu di Sumatera dan Semenanjung, dianggap suci karena merupakan “punden”-nya orang- orang Melayu. Di bagian puncaknya terdapat “makam-makam” yang dipercaya sebagai makam leluhur raja-raja Melayu. Setiap 1 Muharram banyak peziarah yang datang.

Kini, Bukit Siguntang yang sudah telanjur dikenal luas itu kurang mendapat perhatian. Padahal, dengan dituliskannya nama Iskandar Dhu’l- karnain dalam Sejarah Melayu yang diidentikkan dengan Alexander the Great dari Macedonia, nama Bukit Siguntang juga dikenal di Yunani.

Para peziarah yang datang dari Singapura dan Melaka mengenalnya sebagai tempat asal muasal pendiri Tumasik dan Melaka. Para ilmuwan arkeologi dan sejarah mengenalnya sebagai situs dari masa Sriwijaya. Djohan Hanafiah (budayawan) dan Darwis Hidayat (Majelis Budhayana) sepakat bahwa Bukit Siguntang dipakai sebagai ikonnya Sriwijaya.

Juga arca Buddha Sakyamuni yang kini di Museum Mahmud Badaruddin II dikembalikan ke tempat asalnya di Bukit Siguntang.

“Kami bersedia membantu memindahkan prasasti Bukit Siguntang itu ke dalam ruangan museum,” ujar Darwis Hidayat ketika melihat bahwa lempengan batu tersebut adalah prasasti yang keadaannya rawan rusak. (BONI PRAMUDYANTO/RUDY BADIL-WARTAWAN SENIOR)

Artikel Lainnya