KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA

Doni, petani padi dayang rindu di Desa Mandi Aur, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, Jumat (19/2), memeriksa kondisi tanamannya. Padi dayang rindu merupakan jenis padi ladang yang banyak ditanam di Musi Rawas. Padi dayang rindu memiliki rasa dan aroma yang khas.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: Dayang Rindu yang Dirindu…

·sekitar 7 menit baca

Jika Cianjur di Jawa Barat memiliki padi pandanwangi dan Klaten di Jawa Tengah memiliki padi rojolele, Kabupaten Musi Rawas di Sumatera Selatan memiliki padi dayang rindu. Sama seperti padi unggul lainnya, dayang rindu atau dayang merindu memiliki rasa yang pulen dan aroma yang harum.

Bedanya, jika pandanwangi dan rojolele mudah ditemukan di luar daerah asalnya, dayang rindu sangat sulit ditemukan di pasaran, bahkan di daerah Musi Rawas sendiri.

M Rasyid (37), petani di Desa Mandi Aur, Kecamatan Muara Kelingi, Musi Rawas, Jumat (19/2), mengatakan, dayang rindu jarang ditemukan di pasaran karena saat panen tiba masyarakat memilih menyimpannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka setahun. Selain itu, untuk keperluan sedekah atau hajatan serta bibit pada musim tanam berikutnya.

Jika ada sisa, baru “kelebihan” itu dijual ke pasar.

Keberadaan dayang rindu di pasaran juga sangat terbatas, hanya di Musi Rawas. Itu pun hanya beberapa saat setelah masa panen. Persediaan beras selama setahun hanya ada di rumah- rumah penduduk yang hasil panennya banyak.

“Tahun ini panen diperkirakan tiba pada Maret hingga April,” kata Rasyid.

Bentuk bulir padi dayang rindu kecil panjang dan lentik pada ujungnya. Bulir padi berwarna kuning keemasan. Warna beras yang dihasilkan tidak terlalu putih dan agak keras. Namun, setelah dimasak, aroma harumnya bisa menyebar hingga ke rumah tetangga.

Varietas padi lokal ini hanya dapat tumbuh di daerah Musi Rawas. “Sejumlah warga mencoba menanamnya di luar Musi Rawas. Tanaman padi memang tumbuh, tetapi aromanya tak lagi wangi,” kata Sugiyanto (38), petani Mandi Aur lainnya.

Putri Dayang

Dalam legenda masyarakat setempat, padi dayang rindu berasal dari keberadaan Putri Dayang yang turun dari langit ke bumi dengan membawa beras untuk menolong masyarakat miskin. Masyarakat yang tak memiliki benih untuk menanam padi juga diberi benih. Padi yang dibawa Putri Dayang itulah yang secara turun-temurun dibudidayakan dan kemudian disebut padi dayang rindu.

Untuk dapat tumbuh, dayangrindu membutuhkan tanah dengan kelembaban tinggi. Karena itu, daerah pinggiran sungai adalah daerah yang paling cocok untuk tumbuhnya dayang rindu. Semakin dekat dengan sungai, padi ini dapat tumbuh hingga ketinggian lebih dari 2 meter.

Sebagai padi ladang, dayang rindu umumnya ditanam di sela-sela tanaman karet. Padi akan tumbuh baik jika usia tanaman karet masih di bawah tiga tahun. Jika lebih dari itu, padi akan sulit tumbuh besar karena dahan pohon karet mulai banyak dan menutupi sinar matahari yang dibutuhkan padi.

Batang padi dayang rindu terkenal kuat dan tahan roboh. Kondisi ini sangat berbeda dengan varietas padi lain yang dibudidayakan secara massal.

Dayang rindu termasuk padi ladang yang pengairannya hanya mengandalkan air hujan. Alhasil, padi ini hanya dapat ditanam setahun sekali. Masa tanamnya sekitar lima bulan atau 150 hari, lebih lama ketimbang padi unggul yang kurang dari empat bulan. Masa tanam umumnya dimulai Oktober-November dan dipanen Maret-April.

Tidak sulit

Petani padi dayang rindu lainnya yang ditemui di gubuknya di tengah areal tanaman padi di Mandi Aur, Doni (24), mengatakan, cara menanam padi dayang rindu tidaklah sulit. Tanah cukup ditugal (dilubangi) dengan tongkat kayu. Lubang-lubang yang tercipta dari tugalan itu kemudian diisi benih padi.

Perawatan tanaman pun masih dilakukan secara tradisional, bahkan cenderung mistis.

Rasyid menambahkan, padi ini tidak pernah dipupuk ataupun disemprot dengan pestisida. Jika hama menyerang, penanganannya dilakukan dengan membuat ramuan khusus dari daun-daunan yang dilengkapi doa dan mantra, lalu disebarkan secara simbolik ke sudut- sudut lahan tanaman padi yang terserang hama.

Selain hama, menurut Doni, gangguan juga berasal dari babi hutan dan siamang. Karena itu, menjelang musim panen tiba,masyarakat biasanya berjaga di gubuk-gubuk kecil di tengah ladang untuk menjaga padi dari serbuan hewan-hewan itu. Untuk mencegah masuknya babi hutan, lahan sekeliling sawah umumnya diberi pagar kawat berduri.

Proses budidayanya pun masih dilakukan secara turun-temurun. Baik Rasyid maupun Sugiyanto mengaku tidak pernah ada pembinaan bagi mereka dari pemerintah. Padahal, warga sangat membutuhkannya.

Produksi padi dayang rindu juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan padi unggullainnya. Dari 1 hektar tanaman padi, umumnya hanya dihasilkan sekitar 1,5 ton beras.

Menurut Rasyid, untuk menjual sisa beras tersebut bukanlah perkara sulit. Banyak pedagang beras yang datang ke desanya untuk membeli beras itu.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan, varietas padi lokal di Indonesia jumlahnya ribuan karena hampir setiap daerah memiliki jenis padi unggul. Namun, karakter padi lokal itu biasanya sama, yaitu hanya dapat tumbuh pada ketinggian, iklim mikro, dan jenis tanah tertentu. Karena itu, bila ditanam di luar daerah asalnya, sering kali hasilnya tidak sebaik bila ditanam di daerah asalnya.

Padi-padi lokal yang khas itu sebenarnya dapat dibudidayakan secara massal. Namun, usia tanamnya harus dipendekkan dulu dengan cara mengawinkannya dengan varietas padi umur pendek yang rasanya juga enak.

Langkah ini sudah berhasil dilakukan Kementerian Pertanian, seperti pada padi aek sibundong asal Sumatera Utara. Jika selama ini usia tanamnya mencapai lima bulan, padi jenis itu berhasil dipendekkan menjadi 105 hari. Produksinya pun berhasil ditingkatkan dari 1,5 ton per hektar menjadi 6 ton per hektar. Setelah itu, varietas padi tersebut bisa diperdagangkan secara umum. (MZW/WAD/BOY)

Jelajah Musi 2010: Arus Deras Menyebabkan Tebing Sungai Tergerus

Sebagian alur Sungai Musi antara Tebing Tinggi, ibu kota Kabupaten Empat Lawang, dan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, terkikis. Arus deras sungai terpanjang di Sumatera Selatan itu menyebabkan tebing tergerus di banyak lokasi, terutama di ruas 40 kilometer dari Tebing Tinggi ke arah Muara Kelingi.

Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) sekitar 70 kilometer itu, kondisi hutan rakyat masih tampak bagus. Meskipun sebagian lahan di atasnya telah dibuka untuk perkebunan, kawasan tersebut masih hijau. Warga umumnya menanam kopi, durian, duku, dan karet.

Berdasarkan hasil pemantauan tim Jelajah Musi 2010, Selasa (9/3), kerusakan DAS Musi akibat perkebunan hanya terjadi di beberapa lokasi perkebunan sawit. Misalnya, di perkebunan sawit yang terletak sekitar 5 kilometer sebelum Muara Kelingi, tebing sungai longsor.

Paling parah

Di lebih dari 30 lokasi terlihat pula pembukaan lahan di DAS, terutama untuk menanam padi. Warga memanfaatkan lahan tersebut secara tumpang sari, sebelum pohon karet yang mereka tanam tumbuh besar.

Kikisan air deras Sungai Musi paling parah terjadi pertengahan hingga akhir Februari lalu. Saat itu banjir besar membuat sebagian Kabupaten Musi Rawas dan Kabupaten Musi Banyuasin kebanjiran dan ribuan keluarga terpaksa mengungsi.

Besarnya banjir saat itu masih menyisakan jejak di aliran Sungai Musi. Sampah-sampah plastik yang terbawa arus, misalnya, kemarin terlihat tersangkut di pepohonan besar yang tumbuh di tepi sungai, sekitar 5 meter dari tinggi muka air.

Banyak pula tanaman hanyut di sepanjang sungai dan tersangkut di pohon-pohon besar yang masih berdiri. Sebagian tumbuhan lain rebah di tepi sungai.

Jembatan gantung

Sepanjang perjalanan kemarin, tampak pula delapan jembatan gantung, tetapi dua di antaranya rusak tak termanfaatkan. Jembatan- jembatan itulah yang menghubungkan warga di kedua sisi sungai.

Terkait keberadaan jembatan seperti itu, Rojak (39), warga Desa Pangkalan Tarum, Kecamatan BTS Ulu, Musi Rawas, mengeluhkan tidak rampungnya pembangunan jembatan besar di daerahnya.

“Kami juga membutuhkan jembatan untuk mendukung aktivitas berkebun dan menjual hasil pertanian. Namun, sampai sekarang jembatan tak kunjung selesai dibangun,” katanya seraya menambahkan, jembatan itu dibangun oleh pemerintah.

Jembatan tersebut menghubungkan Desa Pangkalan Tarum dengan kawasan lain di seberang sungai. (MUL/JAN/ONI/HLN/MZW)

GIS: SLAMET JP, GRAFIK: SEPTA

Sumber: Litbang Kompas

Jelajah Musi 2010: Padi Ladang, Padi Organik di Tepi Musi

Novi (22), Sabtu (20/2) siang, berdiri tegak di antara batang- batang padi yang tingginya sekitar 2 sentimeter. Tubuh mungilnya tenggelam di antara tanaman padi, di ladang sekitar rumah kayu panggung yang ditinggali bersama suami dan seorang anaknya yang masih berusia satu tahun.

“Sebentar lagi panen. Biasanya burung-burung mengganggu biji padi yang masak,” ujar Novi di Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Padi yang dijaga itu sering disebut padi dayang rindu oleh masyarakat setempat. “Beras dari padi ini khas dan istimewa serta tidak (jarang) dijual di pasar,” kata Novi setengah bangga.

Tanpa irigasi

Dayang rindu adalah salah satu jenis padi yang ditanam di ladang tanpa irigasi. Masyarakat Musi Rawas sering kali segera menyebar benih begitu hujan pertama turun.

Saat hujan turun, cerita Novi, benih akan tumbuh. Sesuai dengan cirinya sebagai padi ladang, dayang rindu butuh waktu enam bulan untuk tumbuh, berbuah, dan siap panen tanpa sekali pun mendapatkan pupuk.

Ladang di sepanjang tepi Sungai Musi terbilang subur. Dari sekitar 2 hektar ladang milik Novi, satu kali panen ia bisa mendapat 26 karung, masing-masing berisi 50 kilogram (13 kuintal) gabah. Gabah disimpan di rumah dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga satu tahun dan bibit. Jika ada lebih, kelebihan itu bisa dijual.

Suburnya kawasan sekitar Sungai Musi juga diakui Sarwo (62), petani Desa Semangus, Kecamatan Muara Lakitan, Musi Rawas. “Dari lahan 3 hektar, saya bisa memanen 40 karung padi jenis IR 64. Lahan di tepi Musi ini lumayan subur,” ujarnya.

Di daerah aliran Sungai Musi, antara Muara Kelingi dan Babat Toman, di Kabupaten Musi Banyuasin, banyak ditemukan petani membuka ladang. Mereka memulai tanam padi saat hujan pertama turun membasahi bumi.

Dengan pola tanam padi gogo rancah, benih dimasukkan ke lubang, lalu dibiarkan tumbuh hingga panen empat hingga enam bulan ke depan, tergantung dari jenis padi yang ditanam. Hujan menjadi sumber air yang menghidupi tanaman mereka meski di dekat petak-petak padi ladang mengalir Sungai Musi.

Air sungai terpanjang di Sumatera Selatan itu bahkan kurang bersahabat dengan petani padi ladang pada musim hujan kali ini. Di Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, misalnya, sebagian tanaman padi terendam luapan Musi sehingga terancam gagal panen.

Bertanam padi di ladang juga banyak dilakukan petani Sumsel di bukit-bukit yang jauh dari sungai. Produksi dari daerah seperti ini juga menambah produksi padi tingkat nasional.

Tahun 2006, produksi padi Sumsel diperkirakan mencapai 174.918 ton dan berasal dari hampir semua kabupaten. Kebanyakan, petani menanam untuk kebutuhan mereka setahun, seperti yang dilakukan Novi. (HLN/MUL)

Artikel Lainnya