KOMPAS/EDDY HASBY

Kilang minyak rakyat di Desa Sungai Angit, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Minggu (21/2).

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: BBM dengan Harga Miring dari Sungai Angit

·sekitar 4 menit baca

Tidak hanya Pertamina yang menguasai bisnis minyak mulai dari hulu sampai hilir. Warga Desa Sungai Angit, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, juga menguasainya.

Mereka sekaligus memiliki kilang produksi bensin, minyak tanah, dan solar dengan harga jual lebih murah karena dimasak secara tradisional.

Memasuki area Desa Sungai Angit yang terpencil dari jalan lintas Lubuk Linggau-Sekayu, Sumatera Selatan, tidak tampak suasana pedesaan karena rumah-rumah warga dibangun cukup mewah. Sejumlah warga terlihat sibuk hilir mudik membawa jeriken berisi minyak mentah atau bahan bakar minyak (BBM) hasil kilangan mereka.

Tidak terlihat peralatan berat, mesin bor raksasa, atau menara baja di sekitar sumur minyak. Bahkan, para pekerja bertelanjang dada tanpa helm proyek serta merokok di areal yang sangat rentan terbakar dan kemungkinan ledakan.

Pekerjaan menambang minyak mentah itu disebut molot dalam bahasa setempat. Molot menjadi mata pencaharian sekitar 90 persen dari sekitar 200 keluarga di Sungai Angit.

Alat-alat untuk molot sangat sederhana, yaitu sebuah katrol yang terikat pada tiga buah tiang kayu setinggi 5 meter. Ujung katrol dikaitkan ke emberlogam berbentuk silinder sepanjang 3 meter dengan diameter 25 sentimeter.

Pipa baja sebagai timba diturunkan ke dalam sumur minyak. Setelah timba terisiminyak mentah, kemudian ditarik ke atas menggunakan tali yang diputar dengan tenaga mesin diesel.

Sumur minyak di Sungai Angit adalah warisan Stanvac, perusahaan asal Amerika Serikat yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi ratusan sumur minyak di daerah tersebut pada awal abad ke-20. Ketika Belanda takluk, sumur eksploitasi tersebut lalu diambil alih oleh Jepang.

Pada zaman Jepang inilah warga Sungai Angit belajar bagaimana memproduksi BBM secara sederhana karena Jepang langsung memasak minyak mentah untuk memenuhi keperluan perang waktu itu. Keahlian mengelola kilang tradisional kemudian ditransfer kepada warga yang dipekerjakan secara paksa oleh Jepang.

Kilang minyak berada jauh di tengah kebun karet sehingga tidak akan terlihat jika hanya berkeliling di permukiman warga Desa Sungai Angit. Namun, selalu terlihat motor-motor yang hilir mudik keluar masuk dari kebun karet membawa dua jeriken BBM yang masing-masing berkapasitas sekitar 40 liter.

Tempat penyulingan itu sendiri hanya terdiri atas sebuah jeriken berisi bahan bakar, sebuah drum bekas aspal, tempat pembakaran, dua bak air pendingin, dan sebuah pipa sepanjang lebih kurang 10 meter.

Cara kerjanya sederhana, minyak hitam itu dimasukkan ke dalam drum berkapasitas 200 liter dalam posisi horizontal kemudian dipanaskan. Uap minyak lalu dialirkan ke dalam pipa yang telah dilengkapi pendingin sehingga mengembun dan selanjutnya menghasilkan minyak tanah, solar, dan bensin.

Raja minyak

Angkasa (53) pantas disebut raja minyak. Di halaman rumahnya di Desa Sungai Angit terdapat sumur minyak peninggalan Belanda yang masih produktif.

Rumah milik Angkasa cukup mewah untuk ukuran rumah di desa. Sebuah garasi mobil dibangun terpisah di samping rumah. Isinya sebuah mobil Toyota Innova keluaran terbaru. Angkasa pun mampu membiayai pendidikan anak-anaknya sampai perguruan tinggi dari sumur minyak di halaman rumahnya itu.

Sumur minyak Angkasa kedalamannya sekitar 200 meter. Lima pekerjanya setiap hari menambang minyak mentah. Minyak mentah dari sumur milik Angkasa kemudian disuling secara sederhana menjadi BBM di kilang minyak tradisional milik warga Sungai Angit.

“Hasil minyak mentah dari sumur saya satu drum sampai dua drum per hari. Namun, ada juga sumur milik orang lain yang sehari bisa menghasilkan 15 drum minyak mentah,” kata Angkasa.

Setiap 200 liter minyak mentah yang dimasak akan menghasilkan uap 80 liter bensin, 40 liter minyak tanah, dan 40 liter solar. Proses penyulingan juga menghasilkan residu yang dapat digunakan sebagai bahan bakar penyulingan.

Harga satu drum minyak mentah Rp 350.000, satu drum premium Rp 600.000, satu drum minyak tanah Rp 800.000, dan satu drum solar Rp 600.000. Satu drum setara 200 liter.

BBM produksi Babat Toman memang tidak memiliki kualitas setinggi kualitas BBM produksi Pertamina. BBM Babat Toman biasanya hanya digunakan untuk bahan bakar mesin-mesin pertanian atau untuk bahan baku mengaspal jalan.

Kalau nekat memakai BBM Babat Toman, mesin jadi cepat panas karena proses penyulingan minyak secara tradisional tidak standar. Warga Sungai Angit sudah mengetahui kelemahan itu sehingga untuk bahan bakar kendaraan pribadi mereka memilih BBM olahan Pertamina yang dibeli di SPBU.

Tokoh pemuda asal Sungai Angit, M Toha, sadar bahwa melakukan pengilangan secara tradisional merupakan perbuatan ilegal, membahayakan, dan merugikan konsumen karena dapat merusak mesin. Karena itu, dia berusaha semua minyak mentah yang diangkat warga dikembalikan ke negara, dengan cara menjual ke perusahaan resmi yang memang memiliki hak untuk eksploitasi.

Menurut Toha yang juga pimpinan PT PBSA, jumlah sumur peninggalan Belanda yang dieksplorasi secara tradisional oleh warga sekitar 100 sumur hingga 150 sumur. Namun, yang sudah dialihkan menjadi legal dengan bermitra dengan perusahaan yang resmi sebanyak 51 sumur di bawah bendera PT PBSA.

Rata-rata jumlah minyak mentah yang disetor PBSA ke perusahaan kontraktor migas mencapai 16.000 liter per hari.

Hingga saat ini aktivitas kilang tradisional masih berlangsung karena selalu ada pesanan yang menginginkan BBM dengan harga murah. (WISNU AJI DEWABRATA/M ZAID WAHYUDI)

Artikel Lainnya