Kayu dengan panjang lima meter yang disambungkan pada sebatang pipa besi memiliki panjang tujuh meter dihunjamkan ke dasar Sungai Musi. Pipa paralon yang terhubung dengan mesin penyedot pasir itu terlebih dahulu diisi air sebagai pemancing. Mesin langsung dihidupkan dan suara gaduh pun terdengar.
Soorrr…. Bunyi air bercampur pasir menyembur dari pipa paralon. Hanya dalam 10 menit, sekitar setengah bak perahu tongkang yang dioperasikan Tobiin (40) dan Nunung (23) di Sungai Musi di kawasan Belimbing, Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Kamis (11/3), penuh terisi pasir.
Tiba-tiba perahu dimiringkan ke kiri karena bagian kanan perahu terisi pasir halus berwarna hitam legam. Sedikit demi sedikit, air terbuang lewat tepi perahu.
Sesekali, Nunung mengendalikan kayu yang terhubung dengan pipa besi di dasar sungai yang ada di bagian kiri perahu. Posisi kayu itu harus selalu diawasi karena berfungsi sebagai penahan perahu agar tidak terbawa arus sungai yang deras. Secara bergantian, mereka berdua memasukkan kembali air melalui pipa paralon saat semburan campuran air dan pasir terhenti atau hanya keluar air.
Mereka juga harus mengontrol mesin penyedot air yang ada di bilik perahu agar bekerja terus. Pantauan itu penting dilakukan agar air rembesan pasir yang belum terbuang dan mengendap di perahu tidak terlalu banyak karena dapat menenggelamkan perahu.
Dalam satu hari, mereka berdua mampu mengumpulkan 20-30 meter kubik pasir yang dikumpulkan dalam dua kali sedotan.
Setiap bak tongkang terisi penuh, perahu akan menepi ke pinggir sungai. Di sana, pasir disedot kembali dengan mesin untuk dipindahkan ke daratan.
Di beberapa lokasi penambangan, pemindahan pasir ke darat menggunakan sekop ke bak kereta troli. Di dekat Pasar Perjuangan Sekayu, proses penyedotan pasir tidak dilakukan dengan menggunakan perahu tongkang, tetapi mesin penyedot langsung dihubungkan dengan pipa paralon panjang ke tepi sungai. Cara ini dilakukan jika lokasi penambangan tidak jauh dari pinggir sungai.
Penggunaan mesin memang jauh lebih cepat dan efektif dibandingkan menggunakan serok pasir, seperti di tepi Sungai Musi di Desa Kembahang Baru, Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Empat Lawang, Senin (8/3). Dengan serok pasir, seorang penambang hanya mendapat 5 meter kubik per hari.
Kantongi izin resmi
Tobiin dan Nunung hanyalah buruh perusahaan penambangan pasir yang dikelola Supriyadi alias Kodeng (32). Ia memiliki tujuh pekerja: tiga orang bertugas menyedot pasir dari dasar sungai ke perahu dan empat orang menyedot pasir dari perahu ke darat.
Gaji bagi para buruh penambangan pasir itu dihitung berdasarkan volume pasir yang diperoleh. Dari setiap meter kubik pasir, seluruh pekerja mendapat bagian Rp 15.000 dari harga jual pasir Rp 25.000.
Jika dalam sehari mampu dikumpulkan 20-30 meter kubik pasir, setiap pekerja meraih Rp 40.000-Rp 60.000. Para pengelola usaha juga harus mengeluarkan biaya perawatan perahu tongkang, pembelian solar 15 liter per hari, pembayaran pajak Rp 300 per meter kubik. Uang dipungut petugas kecamatan setiap akhir bulan.
“Rata-rata pajak yang kami setor mencapai Rp 130.000 per bulan,” kata Supriyadi. Dia mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin sejak tahun 2007 dengan membayar Rp 4,2 juta kepada pemerintah. Lahan penambangan pasir yang dikuasainya berada hingga satu kilometer ke arah hulu dari Belimbing. Volume pasir biasanya semakin banyak seusai banjir. (MZW/ONI/HLN)