KOMPAS/EDDY HASBY

Warga Desa Talangpadang, Kecamatan Talangpadang, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, Kamis (18/2), memiliki tradisi menjemur buah kopi di tengah jalan.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: Pagar Alam, Pusat Transaksi Kopi

·sekitar 4 menit baca

Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, identik sebagai daerah penghasil dan tempat perdagangan kopi meskipun tidak memiliki kebun kopi yang luas. Bahkan, identitas yang disandang kota yang dipagari Bukit Barisan itu tersohor sejak zaman penjajahan Belanda.

Fakta ini dapat dimaklumi sebab sebagian besar biji kopi yang diproduksi daerah-daerah di hulu Sungai Musi, seperti Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan (Sumsel), serta Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong (Bengkulu), selalu mengalir ke pedagang di Pagar Alam. Ini masih terus berlangsung hingga sekarang.

Luas lahan perkebunan kopi di Kota Pagar Alam hanya 8.321 hektar (ha) dengan volume produksi rata-rata 6.293 ton per tahun. Jumlah areal tersebut kalah dibandingkan dengan daerah tetangga, yakni Kabupaten Rejang Lebong yang mencapai 11.760 ha, meliputi kopi robusta 8.872 ha dan arabika 2.888 ha.

Akan tetapi, perkebunan kopi di Pagar Alam telah berkembang sejak tahun 1920 yang dilakukan Belanda. Usaha tersebut terus meningkat dengan melibatkan masyarakat umum setelah kemerdekaan Indonesia. Rakyat mulai ramai-ramai menanam kopi robusta.

Selama ditangani Belanda, kopi di Pagar Alam sangat dijaga kualitasnya. Petani dilarang memanen biji kopi yang berwarna hijau sebab masih muda. Petani juga dilarang menjemur kopi di jalan tanpa alas tikar. “Pengetatan dilakukan karena kopi Pagar Alam telah menjadi bagian dari upeti yang diserahkan kepada Ratu Belanda sehingga kualitas benar-benar diutamakan,” kata Haji Pandim yang sejak tahun 1970-an telah menjadi pedagang pengumpul kopi di Pagar Alam.

Konsistensi dalam menjaga mutu tersebut, menurut Haji Ahmad Dimyati Rais (60), salah satu pedagang pengumpul di Pagar Alam, membuat kopi daerah itu menjadi terkenal dan istimewa. Salah satunya adalah aroma. “Wangi bubuknya bahkan sudah terasa sebelum diseduh dengan air panas. Setelah dihirup, nikmat kopi langsung terasa karena tak lengket di tenggorokan,” papar Dimyati.

Kopi Pagar Alam juga disebut-sebut dipakai untuk merek-merek terkenal, tetapi tidak pernah disebutkan asalnya. Termasuk pula dijadikan bahan campuran untuk meningkatkan kualitas produksi bubuk kopi lainnya.

Akan tetapi, sekarang kualitas sering kali terabaikan oleh nafsu mendapatkan uang secara cepat. “Sekarang banyak petani yang tidak sabar mendapatkan uang dengan memetik biji kopi yang masih hijau sehingga mutunya menjadi jelek. Selain itu, mereka menjemur di tengah jalan sehingga sering rusak dan kotor karena terlindas kendaraan,” ujar Pandim.

Budi Antoni Aljufri, Bupati Empat Lawang, membenarkan rendahnya kualitas biji kopi di daerahnya karena penanganan pascapanen kurang bagus. Salah satu upaya meningkatkan kualitas adalah membeli biji kopi yang matang di pohon. “Pemkab akan beli biji kopi warna merah sesuai harga biji kopi kering,” kata Budi. Di Empat Lawang, ada 64.000 ha kebun kopi rakyat.

Dengan cara itu, petani diharapkan tak memanen biji kopi hijau. Apalagi kemudian dijemur di jalan agar dilindas kendaraan. Itu akan lebih menurunkan kualitas dan harga biji kopi.

Popularitas kopi Pagar Alam ini ternyata tidak dinikmati petani. Saat panen raya tiba mulai Maret hingga Juli pun harga di tingkat petani jauh dari keuntungan. Ketika panen selang pada Februari lalu, hasil kerja petani hanya dihargai Rp 9.000-Rp 11.000 per kilogram (kg). Musim selang berarti menjelang panen raya kopi. Kopi yang dipanen saat musim selang tidak banyak dengan kualitas di bawah standar.

Rian (24), petani kopi di Desa Sukajadi, Kecamatan Dempo Tengah, Pagar Alam, mengatakan, harga kopi Rp 11.000 per kg masih terlalu kecil dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan petani. Setiap satu hektar kebun kopi memerlukan pupuk yang terbuat dari sekam sebanyak 700 karung. Harga satu karung pupuk sekam Rp 4.000. Adapun harga obat daun dan buah Rp 60.000 per kantong; per musim dibutuhkan 10 kantong.

Petani juga harus mengeluarkan uang untuk membeli 35 liter racun rumput Rp 30.000 per liter untuk setiap ha. Biaya itu belum termasuk upah buruh untuk merawat tanaman kopi Rp 20.000 per orang untuk setiap ha.

“Jadi, harga kopi semestinya Rp 15.000 per kg, baru petani bisa untung. Kalau petani panen kopi dua ton, petani harus untung bersih satu ton,” kata Rian.

Sikap pesimistis mendorong petani melirik komoditas lain, seperti kakao. Marlian (30), petani kopi di Pagar Alam, sejak beberapa bulan lalu mulai menanam kakao di sela-sela tanaman kopinya untuk meningkatkan pendapatan.

Menurut Marlian, harga kopi sekarang kurang menguntungkan. Harga kopi Pagar Alam yang paling tinggi terjadi saat krisis ekonomi tahun 1998. Saat sebagian warga di Indonesia menjerit karena kenaikan harga barang, petani kopi di PagarAlam bersorak karena harga kopi mencapai Rp 25.000 per kg.

Kepala Dinas Perkebunan Kota Pagar Alam Hasan Bahrin Ibnu mengatakan, penurunan harga kopi mengikuti tren harga di pasar dunia. Agar petani tidak rugi, Pemerintah Kota Pagar Alam menyuruh petani untuk menanam tanaman sela di kebun, seperti kakao dan karet.

Kerisauan yang sama sesungguhnya juga berkembang di kalangan petani kopi di Rejang Lebong dan Kepahiang (Bengkulu). “Kalau petani kompak menentukan harga kopi yang pas, kami yakin pedagang pun bisa menyesuaikan,” kata Lukman Hakim (60), petani kopi di Desa Ujan Mas Atas, Kepahiang.

Dari sisi produksi, petani Rejang Lebong mengembangkan teknologi penyambungan batang. Batang kopi yang tak lagi produktif dipotong, lalu disambung dengan batang lain yang berbuah lebat.

Parnianto (52), petani di Desa Air Meles, Kecamatan Selupu Rejang, Rejang Lebong, telah menerapkan teknologi penyambungan pada 2.000 pohon kopi miliknya sejak 2008. Hasilnya, batang kopi berusia 30 tahun yang tak produktif pun kini memiliki buah sangat lebat. “Dulu dalam sehari saya bisa memanen 100 pohon. Setelah penyambungan, saya hanya mampu panen lima pohon sehari. Hasilnya hingga lima kali lipat,” kata Lukman, petani lain. (RYO/HLN/JAN/BOY/MUL)

Artikel Lainnya