KOMPAS/EDDY HASBY

Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, didampingi Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri, Wakil Bupati Lahat Sukadi Duaji, dan Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo, melepas tim Ekspedisi Jelajah Musi 2010 di Desa Tanjung Raya, Pendopo, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, Senin (8/3). Pada etape pertama, tim ekspedisi menempuh rute Tanjung Raya-Tebing Tinggi yang berjarak 35 kilometer dengan kondisi sungai yang penuh jeram dan riam.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: Seni Tutur Besemah yang Nyaris Punah

·sekitar 7 menit baca

Perkembangan dunia komunikasi, informasi, dan hiburan membuat sastra tutur sebagai warisan budaya nenek moyang semakin terdesak. Jika tetap dibiarkan tanpa upaya pelestarian yang berarti, media pewarisan nilai dan tradisi masyarakat-masyarakat adat itu terancam punah.

Hal itu juga dialami seni tutur suku Besemah di kawasan Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan. Besemah juga disebut Pasemah, istilah warisan Belanda terhadap suku Besemah.

Ketua Lembaga Adat Besemah Haji Akhmad Amran di Pagar Alam, Selasa (16/2) lalu, mengatakan, dari delapan jenis seni tutur Besemah, semua nyaris ditinggalkan, bahkan tidak dikenali lagi oleh warganya.

Seni tutur yang saat ini sedang gencar diperkenalkan kembali adalah guritan. Isi dari guritan biasanya menggambarkan tentang sejarah perjuangan, sanjungan kepada pahlawan, legenda, kisah hidup seseorang, atau cerita rakyat yang diguritkan atau dibawakan dalam bentuk nyanyian. Karena dinyanyikan, cerita-cerita itu menjadi enak didengar.

Salah satu seni tutur yang paling sulit berkembang adalah tangis ayam atau berimbai. Seni ini hanya diungkapkan dalam kondisi kesedihan yang sangat sendu. Jenis ini biasanya dinyanyikan oleh ibu atau nenek pada pagi hari yang teringat kematian anak atau cucunya.

Ratap kesedihan itu terdengar oleh kaum perempuan lain di sekitarnya. Alhasil, ratapan individu itu berkembang menjadi ratapan kolektif yang dinyanyikan secara bersama.

“Tangis ayam paling sulit berkembang karena memang hanya dinyanyikan pada saat tertimpa musibah besar saja. Walau irama lagu tangis ayam sangat mendayu-dayu dan enak didengar, namun karena tujuan dan situasinya sangat tidak mengenakkan, seni ini jarang dituturkan lagi,” tutur Amran.

Betembang

Selain guritan dan tangis ayam, seni tutur Besemah lain yang nyaris hilang adalah betembang, tadut, ngicik panjang, andai-andai, rejung besemah, dan meringit.

Betembang umumnya dinyanyikan orang dengan keras dalam suasana mencekam di hutan untuk mengusir sepi. Nyanyian ini juga dimaksudkan untuk mengusir binatang buas, setidaknya menjauh, dan sebagai petunjuk kepada orang lain di hutan bahwa ada dia di tempat itu.

Tadut adalah seni tutur baru yang masuk setelah Islam masuk ke wilayah dataran Besemah. Ia menjadi sarana penyebaran agama dan dakwah Islam yang efektif karena masyarakat saat itu masih buta huruf.

Adapun ngicik panjang adalah tuturan yang berupa senda gurau berbentuk obrolan panjang dan dilakukan minimal oleh dua orang. Model ini banyak menggunakan bahasa sindiran.

Rejung besemah adalah seni tutur yang mengungkapkan kesedihan, jengkel, putus asa, dan kesusahan. Seni ini mirip dengan tangis ayam, tetapi tingkat kesedihannya tidak semendalam tangis ayam dan lagunya lebih datar dibandingkan dengan tangis ayam yang lebih mendayu-dayu.

Sementara meringit adalah seni tutur ringan yang isinya sekadar mengisi kekosongan semata. Bentuk tuturan ini juga bisa dinyanyikan sambil bekerja dengan ungkapan bebas. Seni tutur ini juga dapat dibawakan tanpa perlu ada orang yang mendengarkannya.

Dari seluruh bentuk seni tutur Besemah tersebut, hanya ngicik panjang, andai-andai, dan meringit yang dibawakan tanpa lagu.

Penurunan penggunaan seni tutur Besemah dimulai sejak invasi Jepang ke Pagar Alam tahun 1943. Berbagai seni tradisi, termasuk seni tutur, tertekan karena banyak pekerja seni yang tewas atau menjadi romusa. Alat-alat kesenian mereka, baik alat musik maupun pakaian, banyak yang dijual karena impitan ekonomi yang parah saat itu.

Hilangnya pekerja seni membuat lambat laun berbagai seni tradisi itu sulit diteruskan dan menghilang.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kata Amran, kondisi seni tradisi Pagar Alam makin terpuruk. Pagar Alam, yang ketika itu menjadi bagian dari Kabupaten Lahat, membuat seni tradisi kota tersebut tergencet oleh seni tradisi Lahat.

Setelah Pagar Alam menjadi kota otonom tahun 2001, kesadaran untuk melestarikan berbagai seni tradisi itu muncul kembali. Namun, untuk menghidupkannya kembali bukan perkara mudah.

Arman Idris, pengajar seni guritan di sejumlah sekolah di Pagar Alam, mengatakan, rata-rata seni menjadi pekerjaan sampingan bagi pekerja seni di daerah tersebut. Pekerjaan utama mereka adalah menjadi petani, khususnya kopi.

Untuk fokus pada pengembangan seni jelas tidak mungkin karena memang pekerjaan seni belum bisa menghasilkan. Ditambah lagi, tidak ada tunjangan apa pun dari pemerintah setempat bagi mereka.

Untuk melestarikan seni tutur Besemah, khususnya guritan, Arman memperkenalkannya kepada anak-anak sekolah di Pagar Alam dalam bentuk pelajaran tambahan dan pembentukan sanggar-sanggar seni. Kini, secara perlahan, guritan mulai banyak dilakukan anak-anak muda Pagar Alam walau masih terbatas. Namun, langkah itu setidaknya dapat menyelamatkan salah satu jenis seni tutur Besemah. (ZAID WAHYUDI/BUYUNG WIJAYA KUSUMA)

Jelajah Musi 2010: Daerah Tangkapan Air Perlu Diperbaiki

Keruhnya air Sungai Musi di wilayah perbatasan Bengkulu dan Sumatera Selatan menunjukkan kerusakan daerah aliran Sungai Musi, terutama di bagian hulu. Untuk memperbaiki daerah tangkapan air sepanjang aliran Sungai Musi, tentunya perlu kerja sama dua pemerintahan provinsi tersebut.

“Perbaikan aliran Sungai Musi perlu dilakukan tak hanya di wilayah Sumsel, tetapi juga Bengkulu,” kata Gubernur Sumsel Alex Noerdin saat membuka ekspedisi Harian Kompas yang diberi nama Jelajah Musi 2010 di Desa Tanjung Raya, Kecamatan Pendopo, Kabupaten Empat Lawang, Sumsel, Senin (8/3).

Pengelolaan aliran Sungai Musi, menurut Alex, juga harus dilakukan semua bupati/wali kota di Sumsel yang wilayahnya dialiri sungai tersebut.

Hadir dalam acara tersebut Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri, Wakil Bupati Lahat Sukadi Duaji, Kepala Kepolisian Resor Lahat Ajun Komisaris Besar Iwan Yusuf Chairudin, dan Ketua DPRD Empat Lawang David Aljufri.

Alex menambahkan, kondisi Musi sudah tidak lagi seperti dulu dan menjadi tumpuan hidup masyarakat, baik sebagai sarana transportasi, sumber air minum, irigasi pertanian, maupun pusat perikanan. “Ulah manusia yang menebangi pohon membuat daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai rusak berat,” ujarnya.

Kerusakan hutan menyebabkan delapan dari 15 kabupaten/kota di Sumsel kebanjiran awal tahun ini. Kondisi itu juga memicu sedimentasi parah di beberapa bagian sungai. Banjir pun telah menyebabkan infrastruktur jalan rusak berat sehingga membutuhkan biaya besar untuk memperbaikinya.

Alex berharap, Jelajah Musi 2010 mampu memberikan masukan bagi pemerintah dan masyarakat Sumsel, baik dalam aspek potensi ekonomi, lingkungan, budaya dan kearifan lokal, maupun pariwisata.

Rencananya, liputan jurnalistik ekspedisi ini akan dijadikan buku. Alex berharap, buku itu nantinya menjadi bacaan wajib semua aparatur pemerintahan di Sumsel serta dimiliki semua sekolah dari tingkat SD hingga SMA se-Sumsel.

Pada kesempatan itu, Budiman Tanuredjo menjelaskan, ekspedisi ini merupakan bagian dari liputan jurnalistik dalam rangka memperkenalkan Tanah Air. “Jelajah Musi 2010 diharapkan mampu memotret kondisi di sepanjang daerah aliran Sungai Musi dan kawasan sekitarnya,” katanya.

Berbarengan dengan pembukaan ekspedisi ini, diselenggarakan pengobatan gratis bagi 600 warga Tanjung Raya dan sekitarnya. Selain itu, ada pula pembagian 8.000 judul buku dan enam lemari untuk perpustakaan SD dan perpustakaan desa di Empat Lawang. Bantuan itu berasal dari sumbangan pembaca Kompas melalui Dana Kemanusiaan Kompas. (MZW/HLN/ONI/JAN/MUL)

Jelajah Musi 2010: Melintasi Jalur “Seram” Musi

Beberapa jalur di sungai Musi dikenal “seram” oleh masyarakat Sumatera Selatan yang berdiam di sepanjang aliran sungai. Salah satu jalur yang dikenal “seram” itu adalah jalur Tanjung Raya di Kecamatan Pendopo hingga Tebing Tinggi di Kabupaten Empat Lawang, sepanjang 35 kilometer.

Pada Senin (8/3) pagi, tim Jelajah Musi 2010 mengarungi lintasan tersebut, yang merupakan rute awal ekspedisi ini. Perjalanan menggunakan tiga perahu karet dengan lima operator perahu dan sembilan penumpang.

Perjalanan awal sungguh mulus, selain ketinggian air sudah turun 2- 3 meter dari dua pekan sebelumnya, arus sungai juga relatif tenang. Di samping itu, perjalanan tersebut menyenangkan karena sisi kanan kiri batang sungai dihiasi hutan yang menghijau lebat.

Pemandangan asri kami nikmati setidaknya hingga 12 kilometer pertama dari Tanjung Raya. Tim juga bertemu dengan sekawanan monyet di hutan lindung di sebelah kanan sungai, gerombolan kelelawar di kiri sungai, dan monyet berbulu kuning kemerahan yang memiliki ekor panjang (Presbytis melalophos), yang oleh masyarakat lokal disebut simpai.

Jeram liar

Di sela-sela pemandangan asri itu, tim harus melalui jeram-jeram liar.

Jeram-jeram awal dapat dilalui dengan lancar. Namun, perjalanan selanjutnya terasa menegangkan karena harus melalui jeram-jeram besar yang membutuhkan keterampilan operator perahu. Salah satu perahu karet tim bahkan terbalik di jeram besar.

Tim terbalik tepat di jeram besar di Desa Canggu, Kecamatan Talang Padang. Berkat kesigapan teman-teman tim dari dua perahu lain, tim yang perahunya terbalik bisa selamat.

Tommy, salah seorang operator perahu karet dari klub Arung Jeram Pagaralam, mengatakan, dibandingkan dengan sungai-sungai lain yang dipakai untuk berarung jeram, jeram-jeram di Sungai Musi tergolong grade dua atau tiga. “Cukup menantang,” ujarnya.

Selain tantangan jeram besar dan kecil, tim juga bertemu dengan pusaran-pusaran air berbahaya di beberapa titik. Pusaran yang bisa menyedot perahu atau kapal kapan saja saat banjir besar tiba. Pusaran di jeram kecil-kecil yang melewati batu-batu besar bahkan ditemukan sampai wilayah Tebing Tinggi.

Besarnya tantangan-tantangan jeram dan pusaran itulah yang menyebabkan masyarakat setempat menyebutnya jalur Sungai Musi itu sebagai jalur “seram”. (HLN/ONI/MZW/JAN/MUL)

GIS: SLAMET JP GRAFIK: SEPTA, GUNAWAN

Sumber: Litbang Kompas diolah dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi.

Artikel Lainnya