KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga Papua Niugini berbelanja di pasar perbatasan Skouw di Distrik Muara Tami, Jayapura, Papua, Sabtu (15/7). Kebanyakan warga berbelanja barang kebutuhan sehari-hari karena harganya lebih murah dibandingkan dengan di Papua Niugini.

Liputan Kompas Nasional

Membangun Kesetaraan, Merawat Nasionalisme * Jelajah Tapal Batas

·sekitar 8 menit baca

Politik pembangunan dan nasionalisme ibarat bejana berhubungan. Pembangunan tidak merata menimbulkan disparitas sosial ekonomi yang membuat titik pijak identitas yang sama menjadi rapuh. Di kawasan perbatasan Indonesia-Papua Niugini, kekhawatiran itu seperti menemui bentuknya.

Pertengahan Juli silam, Junadi bersandar di etalase kaca di depan kios barang-barang elektronik di Pasar Skouw, Distrik Muara Tami, di Kota Jayapura, Papua. Begitu melihat beberapa orang berjalan menuju kios, ia langsung berujar, ”Peni wanam?” Sedang mencari apa, tanya remaja berusia 16 tahun itu dalam bahasa Pidgin Papua Niugini.

Remaja yang berasal dari Pangkep, Sulawesi Selatan, itu sudah enam bulan bekerja sebagai penjaga kios di Pasar Skouw. Ia cepat belajar bahasa pidgin. ”Awalnya hanya menawarkan dengan tunjuk-tunjuk barang. Lama-lama tahu sedikit menawarkan barang dan sebut harga pakai bahasa pidgin,” kata Junadi.

Pasar Skouw yang berjarak sekitar 1 kilometer dari perbatasan Indonesia-Papua Niugini (PNG) menjadi andalan warga PNG untuk mencari kebutuhan sehari-hari. Ini membuat mata uang yang digunakan untuk transaksi di pasar itu tidak hanya rupiah, tetapi juga kina PNG, 1 kina setara Rp 4.200. ”Di sini harga barang lebih murah. Kalau dijual kembali di PNG bisa untung besar. Baju di sini 5 kina, di PNG bisa jual 10-12 kina,” tutur Juli Coku (34), warga Wewak, PNG, yang berbelanja di Pasar Skouw.

Hari pasaran di Pasar Skouw hanya Selasa dan Kamis walaupun Sabtu sebagian kecil pedagang tetap buka melayani pembeli dari PNG yang jumlahnya jauh lebih kecil dari hari pasaran. Transaksi di pasar yang berjarak lebih kurang 60 kilometer dari pusat Kota Jayapura ini mencapai Rp 32,6 miliar di tahun 2015, atau hampir mencapai Rp 3 miliar per bulan.

Disparitas ekonomi

Selain menunjukkan pergerakan ekonomi yang menggembirakan di perbatasan, Pasar Skouw juga memberikan sinyal mengkhawatirkan. Amiruddin Alrahab, peneliti Papua, dalam artikel ”Skouw: Potret Paradoks Pembangunan Papua” mengingatkan lebarnya disparitas antara warga Nusantara pendatang dan penduduk lokal Papua dalam menikmati kue pembangunan.

Saat Pasar Skouw beroperasi pada 2012, sudah ada pembagian 100 kios untuk pedagang non-Papua dan 100 kios untuk warga lokal Papua. Akan tetapi, dalam setahun, kios warga lokal Papua berpindah tangan. Akhir Juli lalu, fenomena itu tidak hanya terlihat di kios-kios permanen. Di lapak-lapak kayu juga hampir tidak terlihat warga asli Papua yang berdagang.

Jhon Muttang (46), warga Skouw Sae yang mendapat kios berukuran 3 meter x 4 meter di Pasar Skouw belum pernah menggunakan kios itu untuk berdagang sejak ia memperolehnya pada 2012. Jhon menyewakan kios itu ke pedagang asal Makassar Rp 10 juta per tahun. Ia mengatakan tidak punya modal untuk berdagang.

”Mau pinjam uang ke bank tidak bisa kalau tidak ada orang lain yang jadi jaminan. Orang asli Papua yang punya kios di sana sama seperti saya, menyewakan kios karena tidak punya modal,” kata Jhon yang sehari-hari bertani.

Muara Tami merupakan distrik di Kota Jayapura yang berbatasan dengan Distrik Wutung, Provinsi Sandaun, PNG. Di distrik itu, Desa Mosso, Skouw Sae, Skouw Yambe, dan Skouw Mabo yang didominasi penduduk lokal relatif tertinggal infrastrukturnya dibandingkan Kelurahan Koya Barat dan Koya Timur yang didominasi warga pendatang dari berbagai daerah di Nusantara.

Skouw Sae, Skouw Mabo, dan Skow Yambe baru teraliri listrik tahun 2015. Sebelumnya, mereka hanya mendapat aliran listrik dari diesel desa mulai pukul 18.00 hingga 24.00. Di Koya Barat dan Koya Timur, ekonomi bergerak pesat, salah satunya terlibat dari menjamurnya rumah makan sekaligus wisata pemancingan. Sementara di Skouw Sae, Skouw Mabo, dan Skouw Yambe, sulit mencari rumah makan. Warung kelontong pun bisa dihitung dengan jari. Di Pasar Koya, mama-mama lokal Papua yang berjualan buah dan sayur menggelar dagangannya di atas tanah dengan beralaskan terpal plastik di depan kios-kios milik warga pendatang.

Camat Muara Tami Supriyanto mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah memberikan kebijakan afirmasi guna mendorong warga lokal Papua di perbatasan untuk bisa mendapat manfaat ekonomi. Namun, ia mengatakan, warga lokal relatif tertinggal dibandingkan dengan warga pendatang yang sudah menetap di Muara Tami.

Firman Noor dalam Perbatasan Sebagai Case Study Kajian Kebangsaan dan Keindonesiaan menuturkan, rasa kebangsaan dekat dengan upaya memelihara identitas kolektif yang akhirnya membentuk rasa persaudaraan yang erat. Secara internal, identitas ini menumbuhkan rasa nyaman dan aman, sedangkan secara eksternal memberi batasan dengan komunitas lain.

Kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk lokal dan warga pendatang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan hubungan, yang dalam jangka panjang berpotensi melonggarkan ikatan identitas kolektif. Sebaliknya, bukan tidak mungkin penduduk lokal akan lebih mudah mengidentifikasikan diri dalam imajinasi identitas yang sama dengan warga dari negara tetangga yang kondisi sosial ekonominya tidak terlalu jauh berbeda. Apalagi, ada pula faktor kesamaan kultural.

Pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Cendrawasih di Jayapura, Bernarda Meteray, menuturkan, disparitas sosial ekonomi di antara warga pendatang dan penduduk lokal itu bisa mempersulit terbangunnya imajinasi kebangsaan yang sama. Hal tersebut, menurut dia, harus diatasi dengan mengurangi kesenjangan dengan membangun sumber daya manusia penduduk lokal.

”Dalam kesenjangan itu harus dilihat mengapa masyarakat lokal sudah disediakan prasarana, tetapi belum bisa seperti warga transmigran di sini. Selama ini pemerintah hanya membangun sarana. Semestinya, ketika membangun sarana, juga harus membangun manusianya,” kata Bernarda.

Direktur Eksekutif Papua Resource Center Amiruddin Alrahab juga mengingatkan, pembuat kebijakan pembangunan di kawasan perbatasan, di Papua khususnya, harus bisa menjawab percepatan pembangunan perbatasan itu untuk siapa. ”Pembangunan infrastruktur membawa konsekuensi terbukanya wilayah. Apa yang sudah kita siapkan untuk orang lokal Papua?” kata Amiruddin.

Di sektor ekonomi, Amiruddin menilai harus ada kebijakan afirmatif. Untuk itu, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, harus ada pendampingan total kepada penduduk lokal dengan cara tak sekadar berbicara, tetapi hadir memberi contoh. Kedua, pemerintah harus menyiapkan semacam badan penjamin kredit daerah agar perbankan mau memberikan pinjaman modal bagi orang asli Papua.

Apabila politik afirmasi tidak dilakukan, pembangunan terus melaju dan kesenjangan semakin lebar. Maka, semakin goyah pula identitas yang sama itu. (ANTONY LEE/J GALUH BIMANTARA)

Perbatasan: Beranda Negeri dalam Tiga Wajah * Jelajah Tapal Batas

Menjelajahi tiga titik perbatasan darat Indonesia seolah meraba tiga wajah yang berbeda; wajah getir dan rendah diri, wajah setara, serta wajah unggul. Pemerintah, lewat jargon pembangunan dari pinggiran, punya pekerjaan rumah menata beranda negeri agar bisa menampilkan citra diri sebagai bangsa besar yang menyejahterakan rakyatnya.

Kesan itu muncul saat Kompas menjelajahi tiga titik perbatasan darat negeri ini, yakni di Krayan, Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) yang berbatasan dengan Malaysia; Skouw, Jayapura (Papua) yang letaknya berbatasan dengan Papua Niugini (PNG); serta sejumlah titik di Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka, dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur/NTT) yang berbatasan dengan Timor-Leste.

Di perbatasan darat dengan Malaysia, infrastruktur dan kesejahteraan warga Indonesia cenderung tertinggal dari negara tetangga. Sementara itu, di perbatasan dengan Timor-Leste, infrastruktur dan kesejahteraan warga relatif seimbang, bahkan cenderung unggul dibandingkan negara tetangga, sedangkan di perbatasan PNG, infrastruktur dan kesejahteraan warga Indonesia relatif lebih baik.

Kebanggaan sebagai warga bangsa terasa apabila menengok perbatasan Indonesia-PNG di Skouw dan perbatasan Indonesia dengan Timor-Leste di NTT. Pos lintas batas negara (PLBN) di daerah itu sudah dibangun megah dan kini lebih ”wah” jika dibandingkan pos perbatasan negara tetangga. Relasi sosial ekonomi masyarakat perbatasan kedua negara itu juga menunjukkan ketergantungan warga negara tetangga ke Indonesia.

Di Skouw, akhir Juli lalu, warga PNG menyambangi Pasar Skouw, sekitar 1 kilometer dari pintu perbatasan. Warga PNG yang datang tidak hanya dari Provinsi Sandaun yang berbatasan langsung dengan Skouw, tetapi juga dari provinsi lain, seperti dari Wewak di East Sepik.

Pedagang Indonesia menjajakan pakaian, makanan, barang elektronik, lampu bertenaga surya, dan obat-obatan herbal. Ketergantungan warga PNG terhadap barang-barang Indonesia terlihat dari volume transaksi di Pasar Skouw yang mencapai Rp 3 miliar per bulan. Pasar itu beroperasi pada Selasa dan Kamis. Namun, sebagian kecil pedagang tetap berdagang pada Sabtu. Di sana, transaksi menggunakan rupiah dan kina, mata uang PNG. ”Memang (ekonomi) kita lebih baik dari mereka,” kata Konsul Jenderal Republik Indonesia di Vanimo, PNG, Elmar Lubis.

Di NTT, wilayah perbatasan Indonesia jauh lebih bergeliat jika dibandingkan wilayah Timor-Leste. Setiap hari, warga Timor-Leste berbelanja di Pasar Turiskain, Desa Maumutin, Kabupaten Belu, salah satu pasar yang dekat dengan perbatasan kedua negara. ”Tadi belanja 120 dollar AS (Rp 1,6 juta). Harga di sini (Indonesia) lebih murah. Pilihannya banyak,” kata Miru (29) yang berkendara 25 kilometer dari Sub-distrik Maliana, Distrik Bobonaro, Timor- Leste.

Jika dibandingkan dengan salah satu pasar di area Timor-Leste, yakni Pasar Batu Gade, Distrik Bobonaro, pasar di wilayah Indonesia jauh lebih ramai dengan barang dagangan yang lebih beragam.

Berbeda

Di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, kondisinya berbeda. Belum ada PLBN yang megah seperti halnya di perbatasan dengan Timor-Leste dan PNG. Pos perbatasan hanya ditandai palang pintu yang dijaga pasukan pengamanan perbatasan di Desa Long Midang, Krayan.

Untuk menuju pos perbatasan itu mesti melintasi jalan yang rusak parah. Pada musim kemarau, jalan tanah itu berdebu, sementara pada musim hujan, jalan itu sukar dilintasi karena penuh dengan lumpur.

Krayan merupakan kecamatan yang memiliki luas 769 kilometer persegi, atau lebih luas dibandingkan DKI Jakarta yang luasnya 661,5 km2. Meski demikian, penduduk Krayan hanya sekitar 18.000 jiwa.

Peneliti perbatasan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syafuan Rozi mengatakan, pada tiga titik perbatasan darat Indonesia itu terdapat kecenderungan yang berbeda. ”Di perbatasan dengan PNG dan Timor-Leste, warga perbatasan kita mungkin lebih bangga menjadi Indonesia karena kondisi ekonominya relatif lebih baik. Namun, kalau di Kalimantan, hal itu bisa terbalik,” kata Rozi.

Pendapat itu benar adanya jika melihat kondisi warga Krayan, Kalimantan Utara. Selama bertahun-tahun, warga Krayan yang hidup di wilayah perbukitan dan hutan di areal Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) itu bergantung secara ekonomi kepada Malaysia. Barang dagangan di toko-toko di Krayan berasal dari Ba’kelalan dan Lawas yang masuk wilayah Sarawak, Malaysia. Minyak goreng, gula, elpiji, dan kecap harus dibeli dari Malaysia.

Problem utama yang membuat Krayan amat bergantung pada Malaysia adalah ketiadaan infrastruktur. Jalan darat yang menghubungkan daerah Indonesia terdekat, yakni Kabupaten Malinau, dengan Krayan, belum terbangun.

”Kami ingin ada perhatian dari pemerintah. Kami ingin memiliki jalan, pasar, sekolah, dan rumah sakit,” kata Yagung Bangau (74), tokoh adat Lundayeh, suku asli Krayan.

Kini pemerintah berkomitmen semakin hadir di perbatasan dan menjadikan perbatasan sebagai beranda, wajah terdepan negeri ini. Bisakah komitmen itu mengubah wajah perbatasan? Kita tunggu saja. (REK/IRE/GAL/JOG/AGE/JAL)

Artikel Lainnya