KOMPAS/AGUS SUSANTO

Betty Sumu (27) Guru Honorer di Kampung Mosso, Muara Tami, Jayapura, Papua – Daerah perbatasan akan menjadi seperti apa di tahun 2045 akan sangat bergantung apakah anak-anak muda bisa membangun kampungnya sendiri. Kalau orang asli (Papua) tidak bergerak, tetap akan jadi seperti ini. Harapan kami, ke depan anak-anak asli Papua harus berpendidikan tinggi supaya bisa membangun kampung sendiri. Orang-orang di perbatasan yang sudah berpendidikan juga harus membantu mengarahkan yang lain supaya berada di jalan yang benar. Saya merasa bangga menjadi orang Indonesia karena pemerintah membantu masyarakat menyediakan pendidikan murah di perbatasan. Namun, saya juga sedih mendengar berita korupsi di kota ataupun di desa, lalu anak-anak suka narkoba dan minuman keras. Itu semua bisa menjadi hambatan Indonesia maju.

Liputan Kompas Nasional

Indonesia Sejahtera di Tahun 2045 * Jelajah Tapal Batas

·sekitar 3 menit baca

Bangsa Indonesia terbentuk karena adanya imajinasi yang sama atas masa lalu, masa kini, dan cita-cita masa depan.

Presiden Soekarno, yang menyitir pandangan filsuf Perancis Ernest Renan menegaskan hal itu di bukunya, Di Bawah Bendera RevolusiKompas menanyakan imaji generasi muda di wilayah perbatasan, mulai dari Papua, Nusa Tenggara Timur, hingga Kalimantan Utara, terhadap Indonesia saat berusia 100 tahun pada 2045.

Hasilnya, ada optimisme sekaligus kekhawatiran yang menyeruak dari anak-anak muda yang pada 2045 nanti akan menjadi tulang punggung bangsa Indonesia. Optimisme muncul setelah mereka merasakan negara mulai hadir menyentuh warga perbatasan. Daerah yang semula dianggap tertinggal, berada di pinggir, kini dijanjikan pemerintah untuk menjadi beranda sekaligus ”wajah” bangsa ini.

Sebagian dari mereka membayangkan Indonesia pada 2045 menjadi lebih maju, lebih sejahtera.

Kendati demikian, optimisme itu juga berbalur kekhawatiran. Dua hal yang paling mereka khawatirkan ialah jeratan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melemahkan daya saing bangsa. Hal lain yang juga mereka khawatirkan adalah semakin kerasnya narasi-narasi yang menggoyang fondasi bangsa Indonesia yang majemuk. Berikut ini adalah suara-suara anak muda dari perbatasan. (GAL/JOG/AGE/JAL/REK/IRE)

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Alberth Retto (25) Pemuda Kampung Skouw Sae, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua – Ketika ada bayangan ke sana (Skouw Sae di tahun 2045), yang timbul itu rasa takut. Jangan sampai ketika di kemudian nanti kita tidak siap menghadapi situasi saat itu. Dengan SDM (sumber daya manusia) yang kurang, akhirnya kita tidak mampu bersaing. Pemerintah kenyataannya sudah menyiapkan, dengan memberi kesempatan bagi kita sama-sama berusaha. Pendatang diberi kesempatan, kita juga diberi kesempatan. Namun, karena faktor kurang keterampilan dan pengetahuan, penduduk lokal kalah bersaing. Harapan saya, ke depan ada perubahan. Tidak ada lagi KKN. Yang ditakutkan di kemudian hari, Indonesia pecah menjadi beberapa negara karena ketidakpuasan masyarakat akibat pembangunan tidak merata.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Lidya M Asa (27) Pemudi Desa Silawan, Kabupaten Belu, NTT –  Bayangan saya soal Indonesia pada 2045, negara ini jauh lebih maju dan berkembang dibandingkan dengan saat ini. Bisa lebih banyak program yang membantu masyarakat dan memberdayakan warga di perbatasan. Sekarang sudah ada sekolah gratis yang sangat membantu. Infrastruktur sekarang mulai bagus. Jalan dibangun, perbatasan dibangun. Kalau bisa dibilang, sekarang sudah ada kemajuan satu langkah lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Kita bisa memberikan pemahaman ke adik-adik untuk mau terus sekolah agar bisa terus maju. Jadi, kita warga perbatasan bisa ikut terlibat, tidak menjadi penonton saja.

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Paollo Bertin (29) Pegawai Honorer di Kantor Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara – Saya membayangkan, pada 2045, Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, di perbatasan Sabah dan Sarawak, sudah tak lagi terisolir dari negaranya sendiri. Saat ini, Krayan belum terhubung dengan jalan ke kota lain di Indonesia. Jalan menuju Malinau tengah dalam pembangunan. Jalan terhubung jalan darat dengan Ba’kelalan, sebuah desa di Distrik Lawas di Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Saya cemas saat melihat nasionalisme Indonesia, terutama yang tecermin di Jakarta saat ini. Kecemasan ini berasal dari Pancasila yang semakin lama semakin ditinggalkan. Orang-orang begitu mudah menggunakan SARA untuk kepentingan masing-masing sehingga menimbulkan keributan. Padahal, masih banyak yang perlu dibangun bersama sebagai satu bangsa.

KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Steven Tonglo Ruruk (21) Warga Krayan, Nunukan, Kaltara, yang berkuliah di Yogyakarta – Saya mendambakan Indonesia masa depan adalah negara yang kian mantap dengan toleransinya. Kehidupan yang damai dan aman selama ini seolah terkoyak kalau menyimak berbagai berita dan kabar di luar yang menggambarkan Indonesia yang kian banal dan tidak toleran. Kalau mau melihat Indonesia jaya, ya, Pancasila harus diterapkan. Sebagai contohnya, kearifan lokal setiap suku dan adat harus dipelihara untuk menguatkan nilai-nilai itu. Di Krayan, misalnya, kebiasaan warga yang rukun dan hangat mulai memudar. Dulu orang yang berjalan di kampung kami biasa disapa dan diminta mampir untuk makan dan minum di rumah. Namun, sekarang keramahan itu tidak ada lagi. Orang sudah tak sehangat dulu di kampung. Saya berharap Indonesia tidak mengalami kemunduran nilai dan etika. Keberagaman yang menjadi kekuatan Indonesia harus dipertahankan. Indonesia tidak hanya Jakarta. Daerah-daerah perbatasan seperti di wilayah kami ini juga bagian dari Indonesia. Semestinya pulalah perbedaan dan keberagaman dihargai.

Artikel Lainnya