Berjalan di antara reruntuhan sisa bangunan benteng Vereenigde Oostindische Compagnie yang berlumut bak memutar film sejarah masa kolonial. Deretan papan informasi, foto, dan suara pemandu wisata membuat aktivitas di Pulau Onrust hidup di imajinasi. Makam keramat, reruntuhan gedung, dan pohon-pohon tua yang rindang menjadi saksi tiga kali peralihan fungsi pulau ”sibuk” di utara Jakarta ini.
Tugu bercat coklat dengan kepala berbentuk kincir angin khas Belanda menyambut para pengunjung pulau yang berada di perairan Laut Jawa ini. Menapaki paving jalan, patahan tembok bekas bangunan barak karantina haji yang bercat putih terlihat. Memasuki bagian dalam bangunan, deretan kamar berukuran besar hingga bekas toilet yang bersekat-sekat masih tersisa.
Untuk mencapai pulau ini, pengunjung hanya perlu menyeberang 10-15 menit dari Pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Utara. Jarak Pulau Onrust dari Muara Kamal sekitar 14 kilometer. Berbeda dengan pulau lain yang memikat pengunjung dengan keelokan alam, Onrust menawarkan wisata sejarah nan magis. Sembari jeda dari rutinitas aktivitas di Ibu Kota, menapaktilasi eksistensi masa penjajahan abad ke-17-18 bisa menjadi pilihan.
Mata Yoga Permana (21) lekat membaca papan informasi yang berada di salah satu museum di Pulau Onrust. Sesekali, ia membidikkan kamera videonya ke sekeliling ruangan. Bersama seorang teman laki-lakinya, ia mengobrol dan mengamati benda-benda bersejarah yang ada.
”Belajar sejarah tak melulu dari buku. Dengan hadir di sini, kita bisa benar-benar merasakan atmosfer sejarah masa lalu dengan melihat benda peninggalan yang ada,” ujar Yoga, bersemangat.
Mahasiswa Jurusan Penyiaran (broadcasting) Universitas Mercu Buana Jakarta itu juga sedang membuat laporan tentang makam tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Kartosuwiryo. Ia mewawancarai beberapa pengunjung untuk mengetahui seberapa pengetahuan mereka tentang sejarah. Di pulau ini, memang ada dua makam keramat yang salah satunya diduga pusara Kartosuwiryo.
Galangan kapal
Berdasarkan arsip Taman Arkeologi Onrust, pulau ini pernah menjadi pusat bongkar muat komoditas dagang dan galangan kapal VOC, Belanda. Aktivitas tanpa henti di pulau ini membuat orang-orang Belanda menjulukinya sebagai Onrust atau tak pernah beristirahat—dalam bahasa mereka. Namun, saking banyaknya kapal yang berlabuh di pulau itu, penduduk setempat mengenalnya sebagai Pulau Kapal. Jauh sebelum pulau ini dimonopoli VOC, raja-raja Banten menggunakannya sebagai tempat istirahat.
Tahun 1610, Belanda meminta izin kepada Pangeran Jayakarta untuk menggunakan Pulau Onrust. Pada 10-13 November 1610, Pangeran Jayakarta mengizinkan Belanda mengambil kayu dan membuat kapal di pulau ini. Baru pada 1613, Onrust menjadi galangan kapal besar dan kecil. Kapal-kapal yang berlayar ke Asia, terutama Asia Tenggara, sering diperbaiki di galangan kapal Onrust.
Belanda membuat pulau ini penuh perhitungan dengan membangun dermaga, benteng, gudang mesiu, bastion, dan kincir angin untuk menggerakkan gergaji kayu. Kincir angin dibangun di sisi utara karena angin lebih kuat. Adapun galangan kapal dibangun menghadap Pulau Cipir, sebelah selatan.
Namun, sejak pelabuhan Tanjung Priok dibangun, pamor Pulau Onrust perlahan memudar. Pada 1883, tsunami akibat letusan Gunung Krakatau meluluhlatakkan kawasan Onrust.
Pengasingan
Setelah Jepang masuk, pulau ini beralih fungsi menjadi tempat pengasingan tahanan politik dan orang-orang yang dianggap pemberontak. Salah satu tahanan yang dikurung di sini adalah pelaut Belanda Maud Boshart. Boshart dipenjara karena menyerang kapal Zeven Provincien.
Tinggi barak penjara di Pulau Onrust sekitar 1,5 meter dengan atap seng dan dikelilingi kawat berduri. Boshart dalam kesaksiannya mengatakan, penjara kala itu sangat kejam. Tahanan yang membuat keributan atau tertawa keras akan dilempari granat tangan. Demikian pula tahanan yang melewati batas yang digaris kapur akan diborgol dan disuruh berdiri dari pagi hingga sore diawasi dengan serdadu bersenjata lengkap.
Masa pendudukan Jepang dikenal dengan kekejaman tentara Nippon. Berniat untuk menghemat jatah makanan tahanan, Jepang mengadu para tahanan di area gladiator. Area itu berbentuk lingkaran dan disekat bangunan beton semen. Para tahanan diadu untuk menunjukkan kekuatannya hingga tewas. Berkurangnya satu tahanan
diasumsikan pemerintah menghemat pengeluaran logistik.
Karantina haji
Pada tahun 1850, gelombang pergi berhaji bagi masyarakat Indonesia mulai tinggi. Mereka berhaji dengan transportasi kapal laut hingga berbulan-bulan. Angka calon jemaah haji terus meningkat dari tahun ke tahun terutama dari Jawa dan Sumatera. Pada 1850, hanya ada 147 orang yang berangkat, tahun 1953 ada 1.113 orang, pada 1854-1862 melonjak menjadi di atas 1.000 orang. Jumlah itu terus meningkat sampai tahun 1858 menjadi 3.862, dan pada tahun 1927-1928 menjadi lebih dari 33.000 orang.
Pemerintah Belanda kala itu khawatir, orang-orang yang berangkat haji menjadi pemberontak. Akhirnya, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para haji dan calon haji memiliki surat izin perjalanan dengan biaya 110 gulden.
”Mereka kemudian dikarantina di pulau ini supaya tidak menyebarkan semangat melawan Belanda. Istilah haji adalah labelisasi bagi orang-orang yang dianggap berpotensi memberontak setelah mendapat pengaruh dari Arab,” ujar pemandu wisata Onrust, Rosyad (32). (DIAN DEWI PURNAMASARI)