Bagi warga Pulau Sebira di Kepulauan Seribu, ikan selar (Selaroides) adalah anugerah, bahkan jantung kehidupan.
Oleh AMBROSIUS HARTO
Langgeng, si nelayan dari pulau itu, agak termenung, Minggu (6/9) malam, di bawah Menara Suar Jaga Utara, Pulau Sebira. ”Dapat ikan sedikit sekali,” kata nelayan itu mengeluh.
Ia baru pulang dari melaut dengan hasil tangkapan minim, kurang dari 50 kilogram ikan selar. Hasil melaut bahkan tidak mencukupi untuk biaya operasional, yakni membeli solar dan mengupah kru.
Di Sebira, harga ikan selar basah Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram (kg). Jika diasinkan, harga bisa dua-tiga kali lipat atau tembus Rp 12.000 per kg. ”Sedang masa paceklik, jadi tangkapan sedikit,” kata Langgeng.
Saat paceklik, biasanya nelayan tidak melaut. Namun, bagi Langgeng, jika tak melaut, akan sulit untuk membuat dapur tetap mengepul. Padahal, di masa susah ikan, tetap melaut berarti berjudi. Uang keluar untuk solar dan membayar awak kapal, tetapi ikan sedikit bahkan nihil.
Di Sebira, ikan selar diasinkan dan dibuat bahan bakso, kerupuk, dan pempek. Untuk komoditas dagang, ikan selar asin dijual ke Jakarta, Bogor dan Bandung (Jawa Barat), serta Tangerang dan Serang (Banten).
Saat dikunjungi pada 5-9 September 2015, Sebira sedang musim paceklik. Hamparan para-para atau tempat menjemur ikan kosong dan beralih fungsi menjadi tempat jemur pakaian. Saat musim ikan, para-para akan penuh dengan ikan selar yang diasinkan.
Kolam-kolam pengasinan kering dan sepi aktivitas. Karung-karung penuh berisi garam menumpuk di pengasinan. Gudang-gudang penyimpan ikan asin agak kosong karena belum ada pasokan baru ikan asin untuk diperdagangkan.
Di masa paceklik, Sebira yang seluas kurang dari 9 hektar dan biasa ramai oleh aktivitas nelayan jadi amat sepi. Nelayan tidak melaut, kru kapal asal Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang meramaikan kampung saat musim ikan pulang ke daerah asal untuk beralih pekerjaan.
Sebira merupakan wilayah Rukun Warga 003 Kelurahan Pulau Harapan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Sebira merupakan pulau terluar dan terpencil di Kepulauan Seribu dan berpenduduk kurang dari 600 jiwa.
Sebira sempat diucapkan dan ditulis Sibira atau Sabira yang berjarak lebih dari 100 kilometer dari pesisir utara Ibu Kota. Sebira di masa lalu disebut Noordwachter atau Jaga Utara.
Perjalanan dari dan ke Sebira memakai perahu nelayan bermesin 250 daya kuda menghabiskan waktu 9-10 jam, bahkan lebih. Karena lama dan jauh, warga Sebira mengirimkan ikan selar diasinkan jika komoditas sudah banyak, misalnya 10 ton sekali kirim dalam seminggu.
Untuk semua
Untuk pengiriman ikan asin, nelayan memercayakan kepada Ketua Rukun Warga 003 Sebira, Hartuti. Perempuan berusia 70 tahun ini adalah istri Ketua RW terdahulu yang juga pionir migrasi masyarakat keturunan Bugis Bone di Kepulauan Seribu.
Di Sebira ada 46 kelompok usaha pengasin ikan yang beranggota para ibu. Bisa dikatakan, ikan asin dari Sebira punya 46 merek dagang. Orang Sebira mengklaim ikan asin mereka berkualitas prima. Komoditas berasal dari ikan selar yang setiba di pantai kemudian diasinkan sehingga bahan masih segar.
Ikan selar yang diasinkan kebanyakan yang berukuran kecil. Ikan selar ukuran besar dijual saat masih segar atau baru ditangkap. Nelayan menjual ikan selar segar ke pulau terdekat atau pasar di Jakarta.
Dengan dua-tiga kapal warisan mendiang suaminya, rata-rata setiap dua atau tiga minggu Hartuti membawa berton-ton ikan asin untuk dijual di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Di Jawa, harga ikan asin menembus Rp 20.000 per kg. Salah satu tempat yang menampung ikan asin Sebira adalah pertokoan di Jalan Lawang Saketeng, Bogor.
Hartuti begitu tertarik ketika Kompas menceritakan bahwa Jalan Lawang Saketeng pernah menjadi pusat dagang ikan asin atau ikan kering di Jawa, bahkan Nusantara, pada masa kolonial Belanda.
”Saya sempat mendengar dari pemilik toko di sana, ternyata cerita itu benar ya,” kata Hartuti. Apalagi, masyarakat Jawa Barat cukup bahkan amat menggemari ikan asin. Lauk itu merupakan padanan yang sangat pas untuk makan nasi hangat, sambal terasi, dan sayur asam.
Selar dari Sebira memang sangat enak. Ikan asin lezat disantap dengan dibakar, digoreng, bahkan diulek dalam sambal sebagai pengganti terasi.
Nah, jika membawa 10 ton atau 10.000 kg ikan asin, komoditas yang diperdagangkan oleh Hartuti senilai Rp 200 juta-Rp 250 juta. Hasil penjualan untuk membeli komoditas titipan warga, yakni bahan makanan (beras, tepung, gula, telur, mentega, biskuit, kue kering) dan minuman (air minum, kopi, teh, susu, sirup, soda), furnitur, radio, televisi, sepeda motor, bahkan material bangunan untuk perbaikan dan pembangunan rumah.
Saat kapal sandar kembali di dermaga Sebira, warga akan menyambut dengan membawa gerobak. Mereka akan mengambil daftar komoditas sesuai catatan titipan. ”Ikan selar memang tumpuan hidup kami,” kata Hartuti dengan ramah.
Rumah Hartuti bisa dikatakan paling mentereng. Bangunan luas berlantai keramik. Di ruang tamu ada sofa kulit yang nyaman dan lemari pajang yang terlihat mewah. Ada juga televisi dan wastafel. Kamar tidur yang menjadi tempat tamu menginap juga terisi dipan, lemari, dan meja hias.
Data dari Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu menunjukkan, produksi ikan selar di Sebira pada 2013 mencapai 384 ton. Sebanyak 170 ton dijadikan ikan asin.
Tahun berikutnya, tangkapan melonjak menjadi 650 ton. Sebanyak 160 ton jadi ikan asin. Januari-Agustus 2015, produksi mencapai 356 ton. Yang diasinkan sebanyak 50 ton.
Kepala Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu Wawan Karmawan mengatakan, ikan selar untuk wilayah Kepulauan Seribu hanya didapat di perairan Sebira. Karena itu, jika menemukan ikan asin selar dari Kepulauan Seribu, hampir bisa dipastikan berasal dari Sebira.
Minggu (6/9) siang, beberapa perempuan berkumpul mengolah bahan kerupuk ikan selar. Canda tawa menghiasi aktivitas mengiris adonan kerupuk yang masih berbentuk bulat panjang. Tak lama kemudian, satu per satu kerupuk yang masih basah itu dijemur di para-para di pantai Pulau Sebira.
Kebersamaan inilah yang menjadi cara bertahan di pulau terluar dari gugusan Kepulauan Seribu. Pulau yang berjarak 126 km dari Muara Kamal, Jakarta Utara, ini bisa dicapai dengan kapal kayu selama sekitar delapan jam. Jika menggunakan kapal cepat, perjalanan bisa ditempuh selama tiga jam.
Dengan lokasinya yang terpencil di ”ujung” Kepulauan Seribu, tak banyak lapangan pekerjaan tersedia. Sebagian besar kaum laki-laki di pulau ini bermata pencarian sebagai nelayan. Selebihnya bekerja sebagai petugas kebersihan, penjaga mercusuar, ataupun guru di sekolah setempat.
Dibandingkan dengan jenis ikan lainnya, hasil tangkapan laut nelayan di Pulau Sebira utama adalah ikan selar. Ikan bawal, misalnya, tak banyak didapat dan hanya ada pada bulan-bulan tertentu, biasanya pada Februari.
Begitu pula dengan cumi-cumi yang jarang didapat oleh nelayan. Ikan selar berukuran kecil biasanya dijadikan ikan asin, sementara ikan yang berukuran besar dikirim ke Muara Kamal. (KENDAR UMI KULSUM/LITBANG KOMPAS)