KOMPAS/LASTI KURNIA

Bambu-bambu yang biasanya digunakan untuk menjemur ikan asin tampak kosong di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Selasa (8/9). Sudah lebih dari dua bulan warga Pulau Sebira tidak mendapat tangkapan ikan karena sulit melaut akibat gelombang tinggi musim angin timur.

Liputan Kompas Nasional

Pulau Sebira: Teras Ibu Kota yang Terlupakan * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 4 menit baca

Serangan cemas, tegang, dan mual mereda saat Kapal Motor Mutiara Laut sandar di dermaga Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (5/9) sore. Di dermaga yang resik itu tidak lebih dari 15 kapal bersandar. Anak-anak pulau bermain di lapangan dekat dermaga di bawah naungan pohon ketapang.

Senyum dan sikap ramah menyambut delapan penumpang Mutiara Laut yang melaut hampir lima jam dari Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Penumpang terdiri dari seorang guru, seorang nakhoda, seorang kru, dua penyelam, dan tiga anggota tim Kelana Seribu Pulau.

Senyum dan sikap ramah warga menenteramkan hati meski terasa ada kelesuan. ”Sedang paceklik, di sini sepi,” kata Hartuti, Ketua RW 003 Pulau Sebira (Sabira), saat menyambut tim di rumahnya, sekitar 50 meter dari dermaga.

Oh, pantas. Panggar atau para-para untuk menjemur ikan selayar yang diasinkan malah untuk menjemur tikar, kaus, kemeja, celana, bahkan kasur. Dari 56 kapal milik warga, tidak sampai 15 yang sandar di dermaga. Ada hampir 10 kapal sandar di pantai timur pulau, tetapi tidak melaut karena masa sulit atau menunggu perbaikan (docking).

”Musim angin timur, ikan susah sekali didapat,” kata Nurdin Mallu, Ketua RT 002, sambil menemani tim menyusuri turap pantai barat pulau.

Masa sulit membuat Sebira yang dulu dikenal dengan nama Jaga Utara paceklik kegiatan bahari. Nelayan enggan melaut karena emoh rugi; jala tidak terisi, sementara isi dompet terkuras untuk solar.

Batin istri bisa terluka saat suami kembali tanpa selar, bawal, kerapu, tongkol, atau mangsi (cumi-cumi) untuk sekadar lauk makan atau diasinkan guna dijual ke Jakarta. ”Kalau enggak ada selar, gimana mau bikin bakso, pempek, kerupuk, ikan asin?” kata Rukiyah, istri seorang nelayan.

Ikan asin dari selar merupakan hasil bumi khas Sebira. Saat sedang musim ikan, para nelayan pulau di ujung utara Jakarta ini menghasilkan 10 ton ikan selar yang diasinkan dalam seminggu. Sedikit untuk konsumsi tak sampai 600 warga pulau sehingga kebanyakan dikirim untuk dijual ke Jakarta, Bogor dan Bandung (Jawa Barat), serta Serang (Banten).

Di Sebira yang memiliki 46 kelompok ibu-ibu pengasin ikan, 1 kilo selar yang diasinkan dihargai Rp 20.000. Jika sampai di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, harganya naik Rp 5.000-Rp 10.000 per kg. Apa beda ikan selar diasinkan dari Sebira dengan lainnya? ”Di sini tidak ada ikan asin yang dibuat dari ikan buangan, harus yang segar biar kualitas terjamin,” kata Hartuti.

Saat musim ikan, hampir 300 orang asal Sumatera datang ke Sebira untuk menjadi anak buah kapal. Nelayan Kepulauan Seribu, Banten, Lampung, dan Jakarta juga datang untuk turut mencecap rezeki dari perairan di Laut Jawa itu. Namun, itu nanti saat tahun berganti atau masih tiga bulan lagi.

Karena paceklik, semua keramaian itu melesu. Nelayan sesekali melaut meski harus ”berjudi” dengan alam dan pemodal. ”Kalau enggak dapat hasil, ya, ngutang, nanti dibayar pas musim ikan,” kata Langgeng, nelayan.

Saat musim ikan, dalam sehari Langgeng bisa mendapat 1-2 ton ikan selar, bawal, dan kerapu. Namun, saat paceklik, ikan yang didapat maksimal 50 kg. Dalam sebulan terakhir, Langgeng hanya beberapa kali melaut dan hasilnya mengecewakan. Ikan tangkapan tidak cukup untuk sekadar uang solar sekali melaut yang Rp 350.000.

Tak terlayani

Paceklik membuat kehidupan di Sebira kian sulit. Pulau yang masuk wilayah Kelurahan Pulau Harapan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, itu hingga saat ini tak terlayani angkutan umum, yakni kapal yang terjadwal. Saat musim ikan, kapal yang membawa ikan-ikan dari Sebira berlabuh di Kamal, Jakarta Utara, rata-rata setiap minggu. Dengan demikian, dari dan ke Sebira bisa dijangkau jika ada kapal nelayan yang mampir ke Jakarta.

Bagaimana saat musim paceklik? ”Hampir tiada harapan. Untung ada kapal yang disewa Kompas dari Pramuka sehingga saya bisa menumpang,” kata Tatang Suherlan, guru honorer SDN-SMPN Satu Atap 02 Pulau Sebira, teman seperjalanan dari dan ke Pulau Pramuka.

Jika tiada kapal, entah sampai kapan para murid tak menerima pelajaran olahraga dari Tatang. Kerinduan anak didik terungkap ketika kapal yang ditumpangi Tatang sandar di dermaga, Sabtu itu. Anak-anak yang sedang bermain langsung menyambut Tatang dan bertanya apakah esok hari ada sekolah. ”Lho, besok, kan, Minggu. Senin sekolahnya,” ujar Tatang, ditimpali tawa lepas anak-anak itu.

Menurut warga, layanan kapal reguler pernah ada beberapa bulan lalu. Layanan diberikan oleh pengelola usaha perahu cepat dari dan ke Dermaga Marina, Ancol, serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tiket Marina-Sebira senilai Rp 300.000 per orang, tetapi ada subsidi dari pemerintah sehingga warga cukup membayar Rp 72.000.

Masalahnya, layanan dua kali dalam seminggu itu hanya berjalan sebulan. Dishub DKI Jakarta menghentikan kerja sama dan coba memberikan layanan sendiri memakai kapal-kapal yang mereka punya dari Dermaga Kaliadem, Jakarta Utara. Namun, tak satu pun kapal pemerintah datang. Padahal, di karcis tertera bahwa layanan kapal sampai Sebira

Sebira, meski masuk wilayah Jakarta, baru sekali dikunjungi Gubernur DKI, yakni Wiyogo Atmodarminto, sekitar 1984-1985. Menurut warga, sosok yang dikenal doyan inspeksi mendadak itu datang ke Sebira dengan helikopter China National Offshore Oil Corporation, perusahaan minyak dan gas bumi asal Tiongkok yang mengoperasikan sejumlah kilang pengeboran di Laut Jawa yang dekat dengan Sebira.

”Saya berharap Pak Ahok menyempatkan diri menengok dan mendengarkan kami,” kata Hartuti menyebut panggilan akrab Gubernur DKI saat ini, Basuki Tjahaja Purnama.

Jangan-jangan, kita pun sering lupa bahwa Sebira masih bagian dari Ibu Kota. (AMBROSIUS HARTO)

Artikel Lainnya