Pulau Payung jarang terdengar dalam narasi tentang Kabupaten Kepulauan Seribu. Barangkali hal itu disebabkan jumlah penduduknya yang paling sedikit di antara pulau-pulau yang dihuni warga. Ketergantungan dengan pulau lain, terutama Pulau Tidung, tidak terhindarkan lagi. Kondisi ini membuat warga di Pulau Payung harus mengeluarkan biaya kebutuhan hidup yang besar.
Pulau Payung merupakan satu dari empat pulau yang termasuk Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Seribu Selatan. Ada dua nama Payung, yakni Pulau Payung Besar dan Pulau Payung Kecil. Hanya Payung Besar yang dihuni warga.
Tidak banyak penduduk yang bermukim di Payung. Pada pertengahan Mei 2015, tercatat 167 orang tinggal di tempat tersebut. Secara administratif, warga di Payung tergabung dalam RT 006 RW 004 Kelurahan Pulau Tidung.
Pulau ini memiliki luas wilayah sekitar 20 hektar. Namun, hanya sepertiga wilayah yang digunakan untuk permukiman warga. Permukiman warga diapit dengan tanah yang sudah dimiliki orang dari luar pulau ini, dan sebagian tanah dipakai untuk membuat vila.
Meskipun ada vila di pulau ini, dampak kunjungan wisatawan belum sepenuhnya dirasakan warga yang bermukim di Payung. Pada akhir pekan atau hari libur, ada kalanya terdapat wisatawan yang sekadar singgah atau bermalam di pulau ini. Namun, jumlah wisatawan tidak membeludak seperti di pulau lainnya di Kepulauan Seribu.
Banyak wisatawan datang ke pulau ini pada tahun 2010-2011. Salah satu penandanya adalah maraknya warung-warung penjual makanan di tepi pantai. Kira-kira terdapat 10 warung pada saat itu. Kini, tersisa dua warung saja dan salah satunya hanya buka pada akhir pekan atau saat ada wisatawan.
Meski demikian, Pulau Payung tetap berbenah untuk mengharapkan luberan wisatawan dari pulau sekitarnya. Salah satunya yakni dengan adanya rumah yang bisa disewakan untuk wisatawan yang hendak bermalam. Tercatat, ada tujuh rumah yang bisa disewakan.
Selebihnya, warga beberapa kali kecipratan pesanan untuk membawa tamu-tamu yang bermalam di Pulau Tidung ke titik selam dangkal (snorkeling). Karenanya, saat akhir pekan tiba atau saat musim liburan, para nelayan banyak yang menyewakan kapal untuk mengangkut turis. Beberapa di antara mereka bisa membawa turis untuk singgah ke Pulau Payung setelah snorkeling, dan kemudian membawa kembali ke Tidung.
Potensi untuk menyewakan kapal bagi para wisatawan ini menjadi peluang usaha bagi warga Payung karena sebagian besar rumah di pulau ini memiliki 1 kapal. Tercatat sekitar 25 kapal milik warga Payung.
Selain untuk kebutuhan transportasi, kapal juga dipakai untuk mencari ikan. Sayangnya, warga yang menangkap ikan dengan jaring, bubu, atau pancing ini semakin kesulitan mendapatkan ikan lantaran pemancingan skala besar atau menggunakan bom dan racun yang masih sering terjadi.
Dari pulau sekitar
Warga Pulau Payung berasal dari pulau-pulau sekitar, terutama dari Pulau Panggang.
Jauh sebelum pulau ini dihuni secara masif, Pulau Payung lebih banyak ”dihuni” pohon kelapa. ”Dulu baru ada satu-dua rumah saja. Rumah ditempati oleh penjaga pohon kelapa,” kata Nafis (71).
Nafis termasuk penduduk awal di Pulau Payung ini. Bersama orangtuanya, Nafis pindah dari Pulau Panggang pada tahun 1959, dan menetap hingga kini.
Saat itu, menurut kepercayaan keluarga ini, pindah menetap ke pulau lain merupakan cara untuk menyembuhkan penyakit di perutnya. Benar saja, Nafis merasakan sakitnya membaik saat bermukim di Pulau Payung.
Rumah-rumah di Pulau Payung saat itu, menurut Nafis, masih menyebar. Sebab, keberadaan rumah mengikuti lokasi kebun kelapa. Tanah yang ada di pulau ini sudah dimiliki warga yang bermukim di pulau-pulau lain.
Buah kelapa pada masa itu, menurut Nafis, merupakan salah satu sumber ekonomi warga karena dijual untuk bahan pembuatan kopra. Lama kelamaan, Pulau Payung kian banyak dihuni. Ada pula warga yang datang dari pulau lain, seperti Jawa dan Sulawesi. Sanami (53), perempuan kelahiran Cirebon, menetap di Payung sejak 2004.
”Saya menikah dengan orang Tidung yang sudah tinggal di Payung. Tapi, suami saya sudah meninggal tiga tahun lalu,” ucap Sanami, yang memilih terus tinggal di Payung ketimbang kembali ke Cirebon.
Seiring penjualan lahan di pulau ini, permukiman warga lantas terkonsentrasi di satu lokasi yang ada saat ini, yakni di tepi dermaga. Adapun tanah lainnya sudah dimiliki orang dari luar pulau dan sebagian dikelola menjadi penginapan menengah atas.
”Sekarang, tanah yang bisa dihuni warga, ya, hanya seluas ini. Tidak bisa tambah lagi karena tanah di sekitar permukiman ini sudah dimiliki orang lain,” kata Mursalin, Ketua RT 006 RW 004 Kelurahan Tidung.
Kalaupun ada warga yang mendirikan rumah di tanah yang sudah dimiliki orang lain, tanah tersebut hanya bersifat dipinjamkan. Rumah yang didirikan juga berupa rumah kayu. Sewaktu-waktu, tanah dan rumah bisa hilang bila si empunya tanah meminta kembali. (AGNES RITA SULISTYAWATY)