Chatarina Sri Pujiastuti (50) terenyuh melihat petani kopi di Desa Baturetno, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, tak berdaya menghadapi pengepul kopi. Ia pun menghimpun petani untuk berjuang lewat koperasi. Dengan cara itu, kini petani yang menentukan harga kopi, bukan pengepul.
Chatarina Sri Pujiastuti, biasa dipanggil Katrin, sebenarnya tidak lahir sebagai anak petani. Ayahnya seorang guru asal Yogyakarta yang pada 1960 pindah ke Baturetno untuk membantu membuka SD perintis. Ayahnya lantas menetap di desa yang masuk wilayah Malang Selatan, Jawa Timur.
Selama di Dampit, Katrin tumbuh di antara hijaunya kebun-kebun kopi. Kawasan Baturetno dan sekitarnya merupakan salah satu kawasan perkebunan dan pabrik kuno kopi zaman Belanda.
Ia menyaksikan bagaimana suka duka keluarga dan tetangganya dalam bertani kopi. Ada yang bertani kopi sekenanya karena hanya meneruskan warisan keluarga. Ada yang bersungguh-sungguh menggarap kebun, tetapi ujung-ujungnya merana karena kopi tidak ada harganya.
Satu hal dicermati Katrin dalam perjalanan hidupnya, bahwa warga Desa Baturetno kala itu sudah maju dalam pertanian kopi. Tahun 1989, mereka sudah memiliki peraturan desa (perdes) mengenai kopi petik merah. Dalam perdes tersebut dibuat aturan bahwa kopi harus petik saat buahnya berwarna merah. Jika kopi tidak dipetik merah (misalnya petik hijau), si pemilik kebun akan dikenai sanksi atau dirampas kopinya. Hal itu dilakukan untuk menjaga kualitas kopi dari Baturetno tetap bagus, seperti saat pabrik kopi Belanda masih aktif di sana.
Perdes petik merah juga membuat jam kerja di kebun pada musim panen terjadwal seperti kerja kantoran. Ada sistem buka tutup kebun kopi. Kebun mulai dibuka pukul 06.00 dan ditutup pukul 15.00. Ada petugas hansip desa yang bertugas mengawasi dan menjaga sistem buka tutup kebun kopi. Sistem buka tutup berlangsung selama 10 hari. “Tujuannya saat itu adalah agar tidak ada kopi siap panen yang hilang dicuri,” kenang Katrin.
Dari semua usaha itu, kenyataan pahit tetap saja diterima petani kopi. Mereka tidak kuasa menentukan harga. Usai panen, mereka harus bertanya kepada pengepul kopi di pasar Dampit tentang harga kopi yang mereka panen.
Bergantung pengepul
“Saya mengamati, setiap panen kopi, ayah dan petani lainnya sangat bergantung kepada pengepul di pasar. Mereka harus bertanya, laku berapa harga kopi mereka. Dari situ saya berpikir, apa tidak bisa petani sendiri menentukan harga. Biarkan pembeli kopi yang bertanya, harga kopi berapa?” tutur Katrin.
Berbekal pengalaman masa kecil itulah, Katrin mulai berusaha mendobrak nasib sial petani. Berbekal warisan lahan kebun kopi dari orangtuanya dan lahan kopi milik sendiri seluas 2 hektar, Katrin menekuni pertanian kopi hingga kini. Ia aktif ikut kegiatan pelatihan dan penyuluhan pertanian.
Tahun 2009, Katrin diundang mengikuti kegiatan Aliansi Petani Perempuan Indonesia (APPI) di Kota Malang. Di sana, Katrin seperti mendapat pencerahan, sebagai perempuan petani, dirinya bisa mengubah keadaan. Salah satunya adalah dengan mendorong praktik bertanam kopi dengan baik agar kopi berkualitas bagus sehingga layak dijual dengan harga bagus pula.
Sejak itu, Katrin mulai menyuarakan budidaya kopi yang baik, yaitu petik merah. Selanjutnya, proses pengolahannya juga didorong dengan baik, misalnya memakai pupuk organik, tidak asal jemur, dan proses pengolahan lainnya yang berkualitas. Di setiap kegiatan, seperti acara jemaat gereja atau kumpul ibu-ibu PKK, Katrin menanyakan apakah petani yang ditemuinya melakukan petik merah.
Gerakan koperasi
Tahun 2010, Katrin kembali ikut dalam kegiatan perguliran koperasi dari Gubernur Jatim. Inti kegiatan ini adalah mengajak petani untuk berkoperasi agar mereka tidak sulit mencari modal untuk budidaya tanaman. Saat itu, Katrin didorong untuk mengajak para istri petani (perempuan petani tidak banyak) berhimpun dalam koperasi wanita. Tujuannya, agar petani bisa mendapat modal dan bisa menabung dalam koperasi yang dikelola sendiri.
Awalnya istri petani Baturetno yang mau diajak ikut koperasi oleh Katrin hanya 20 orang. Katrin terus melakukan pendekatan personal, mendatangi mereka dari rumah ke rumah, untuk mengajak mereka bergabung. Semua dilakukan Katrin sendiri karena suaminya meninggal pada tahun 2011.
“Awalnya banyak yang menolak karena merasa tidak ada manfaatnya. Mereka takut aktivitas di koperasi mengganggu tugas membantu suami di kebun. Namun, lama-lama mereka sadar aktivitas itu tidak mengganggu, justru bermanfaat,” ucap Katrin.
Selang waktu berjalan, anggota koperasi wanita tani bertambah menjadi 69 orang. “Modal awal dari gubernur tahun 2010 itu Rp 25 juta. Dua tahun kemudian, koperasi kami diberi suntikan modal tambahan Rp 25 juta lagi. Kini, total aset kami sudah Rp 151 juta dengan anggota mencapai 69 orang,” tutur Katrin yang menjadi ketua koperasi wanita Baturetno tersebut.
Katrin tidak hanya mengurusi koperasi wanita di desanya. Aktivitasnya meluas ke dua desa lain, yaitu Srimulyo dan Sukodono. Bersama petani petik merah lain, mereka berkumpul dalam asosiasi petani kopi Sidonoretno (Srimulyo, Sukodono, dan Baturetno) atau SDR.
Upaya Katrin dan teman-teman mulai berbuah manis. Mereka mampu menjual kopi petik merah dengan harga Rp 46.500 per kilogram saat ini. Jauh jika dibandingkan dengan harga kopi asalan yang hanya dihargai Rp 26.000 per kilogram.
Saat ini, jumlah kopi SDR produksi asosiasi masih 7 ton setahun (dari 125 petani), padahal potensinya bisa mencapai 500 ton. Di sanalah Katrin dan teman-teman terus berjuang mendorong petani menang. Ia terus turun ke kebun setiap pagi dan pulang saat siang demi mengangkat nama kopi SDR Dampit.
Chatarina Sri Pujiastuti
Lahir: Malang, 17 Februari 1968
Anak: Damarwulan Prasetya
Pekerjaan: Petani kopi
Organisasi:
– Ketua Koperasi Wanita Usaha Baru Baturetno (2010-sekarang)
– Sekretaris Gapoktan SABC Baturetno (2014-sekarang)
– Pengawas Koperasi Sridonoretno Makmur Bersama (2017-sekarang)
– Anggota asosiasi petani kopi Sridonoretno (2016-sekarang)
– Pengawas kelompok wanita tani Mahkota Dewi Baturetno (2017-sekarang)