Orang Kerinci di Provinsi Jambi masih menjalankan tradisi ”ngubat”, sebuah ritual untuk mengundang roh leluhur. Ritual ”ngubat” tak lepas dari masih kuatnya hubungan mereka dengan nenek moyang dan alam sekitar.
Pertengahan Januari 2018, ruang tamu Rustam (64) kebanjiran tamu. Selepas pukul 20.00, tetangga dan warga desa sekitar mulai berdatangan ke rumahnya yang terletak di Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Istri Rustam menyiapkan minuman hangat dari rebusan daun kopi. Warga menyebut minuman itu air kawa (daun kopi).
Air hangat kawa tersaji dalam tabung dari bambu betung berukir. Di sampingnya ada setumpuk tempurung kelapa. Warga menuangkan air kawa dari bambu, lalu meminum dari tempurung kelapa. Di tengah udara yang dingin dataran tinggi Kerinci, minuman kawa terasa segar dan menghangatkan tubuh.
Warga yang bertandang tak semua bermaksud berobat. Sebagian lagi datang untuk menyaksikan ritual memanggil roh nenek moyang sebagai sarana pengobatan. Mereka menyebut ritual itu ngubat.
Prosesi ngubat ditandai dengan dimulainya komunikasi antara dukun dan arwah nenek moyang. Dukun menyiapkan sesaji di atas piring berisi gambir, tanah, dan kemenyan. Di sebelahnya, sebuah bakul dilingkari tali benang tenun. Pada tali dikaitkan dua cincin. Salah satu cincin berwarna perak. Cincin satunya perunggu berbentuk segi enam. Benda-benda itu diyakini menjadi pengantar komunikasi dan penguat ikatan.
Dukun pun mengucap mantra. Proses memanggil itu disebut nyerau. Itulah saat-saat menjelang masuknya roh ke tubuh dukun.
Tangan Rustam mengarah pada bagian tubuh pasien yang sakit. Selama prosesi, tak satu pun warga bicara. Hanya ada suara sang dukun.
Sofian (40), pasien, duduk menghadap Rustam. Lalu, Rustam merapal mantra dengan cepat sehingga sulit dipahami. Kemudian, ia berucap, ”Berkat langait berkat bumoy/Bukeaklah pintaunya/hilanglah penyakitnya/Berkat niniek berkat sakti niniek/Angkeatlah penyakitnya”. Suaranya memecah keheningan.
Mantra itu berarti, ’Berkat langit, berkat bumi/Bukalah pintunya/hilanglah penyakitnya/Berkat nenek moyang, berkat sakti nenek moyang/Angkatlah penyakitnya’. Mata Rustam terpejam. Beberapa saat kemudian ia mengambil segenggam kapur, tiga jeruk nipis, dan dua lembar daun kalisap.
Jeruk nipis dibelah dua, lalu diolesi kapur. Daun kalisap dibakar, lalu diremas sampai layu. Semua bahan dicampur dan dioleskan ke bagian tubuh Sofian yang sakit. ”Gosokkan rutin selama tiga hari. Kita tunggu perubahannya,” ujar Rustam.
Sofian minta pertolongan Rustam karena merasa nyeri terus-menerus di bagian kiri tubuh. Ia baru menjalani operasi batu ginjal dua bulan lalu. ”Kalau malam hari, udara dingin, nyerinya tambah parah,” ucap Sofian.
Meski sudah menjalani pengobatan modern untuk penyakitnya, sebagian warga masih percaya bantuan dukun tradisional guna menyelaraskan fisik dengan alam sekitar.
Hubungan kuat
Ritual ngubat tak lepas dari masih kuatnya hubungan orang Kerinci dengan nenek moyang dan alam sekitar. Masyarakat yang hidup di sekeliling Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi, adalah para penerus peradaban Melayu tua.
Meskipun ajaran Islam sangat kuat memengaruhi peradaban setempat pada awal abad ke-18, ikatan pada nenek moyang tidak lepas. Tahun 1707, Sultan Jambi pernah menulis surat kepada Depati Sanggaran Agung, Kerinci. Dalam surat itu, Sultan memerintahkan kepada Depati, antara lain, agar tidak lagi mengorganisasi penyelenggaraan pesta tari-tarian dan menyembah patung dewa-dewa serta semua perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Surat itu menunjukkan bahwa setelah masuknya Islam ke Kerinci, sisa-sisa kepercayaan lama masih hidup.
Penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan mendapatkan sejumlah peninggalan yang mengungkap kepercayaan komunitas itu akan kekuatan adikodrati yang bersemayam di gunung-gunung. Penelitian yang dipimpin arkeolog setempat, Tri Marhaeni, berlangsung pada tahun 2007.
Dari penelitian di sekitar Danau Kerinci, ditemukan sejumlah peninggalan purbakala berupa tempayan kubur. Bekal kubur dalam tempayan menunjukkan kepercayaan masyarakat akan adanya kehidupan lain setelah kematian.
Untuk menjaga hubungan dengan nenek moyang, orang Kerinci punya sejumlah ritual. Ngubat salah satunya. Komunikasi dengan alam dibuka pula dalam sejumlah ritual, seperti dalam tradisi kenduri sko atau pesta pusaka dan dalam tari-tarian lokal pada upacara asyeik.
Berasimilasi
Pamong budaya Kerinci, Ali Surakhman, mengatakan, baik ngubat maupun asyeik merupakan bentuk primitif masyarakat Kerinci dalam menjaga hubungan dengan alam. Ia mencontohkan, dalam upacara asyeik, masyarakat memberikan persembahan atau sesajian berupa hasil bumi. Sejumlah dukun mengucapkan mantra dan menari tarian magis dalam alunan musik sederhana dan berulang-ulang.
”Selama prosesi, para dukun menyampaikan persembahan dan memohon keselamatan untuk hasil panen yang melimpah,” kata Ali.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan masuknya Islam ke daerah Kerinci, seluruh ritual adat pun berasimilasi dengan tradisi Islam. Dukun, misalnya, memulai mantra dengan mengucapkan ”bismillah.” Terlepas dari itu, prosesi adat menandai masih kuatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga keselarasan hidup dengan alam. Mereka percaya, dengan tetap menjaga keseimbangan dan keselarasan, kehidupan masyarakat akan terjaga dari bala.
Pada masa kini, sejumlah tradisi lisan yang melibatkan komunikasi dengan alam gaib dimanfaatkan untuk meningkatkan gairah pariwisata. Dalam Festival Danau Kerinci yang digelar setiap tahun, hampir selalu diselipkan tari-tarian magis. Prosesi itu mengundang penasaran orang untuk datang. (IRMA TAMBUNAN)