Demi mengakhiri kuasa ijon, petani berjuang menciptakan pasar sendiri. Panen kopi diolah kreatif, menghasilkan beragam produk bernilai tinggi.

Ini era baru kopi rakyat.

Ihsyan Fauzi (41) akhirnya melepas baju dokter. Sejak dua tahun terakhir, ia memutuskan fokus mengelola kopi keliling alias mobile coffee. Setiap sore ia berkeliling Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.

Di mana saja ada keramaian, Ihsyan menghentikan mobilnya. Lalu kedai dibuka. Bangku dan meja disusun di atas lantai trotoar.

Keputusan membuka kedai kopi keliling berawal dari kegelisahan. Ihsyan yang dibesarkan di kebun merasakan miris hidup sebagai anak petani kopi.

Bagian belakang mobil dimanfaatkan menjadi bar. Di situ tersusun stoples-stoples berisi biji kopi sangrai. Ada pula mesin giling dan mesin espresso mini.

Setiap kali pengunjung datang memesan, biji kopi langsung digiling. Semuanya serba baru dan segar. Saat diseduh, aroma kopi menguar ke udara. Hmm… wanginya….

Ihsyan adalah salah satu perintis usaha mobile coffee di Dataran Tinggi Gayo. Kawasan itu membentang di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, Provinsi Aceh.

Kompas/Priyombodo

Ihsyan Fauzi, Pengusaha Gayo One Coffee Mobile

Usaha kopi keliling sangat diminati dua tahun terakhir. Kini, lebih dari 50 unit mobile coffee beroperasi di Gayo. Usaha ini dinilai mudah dan murah. Modalnya tak besar, ada di kisaran Rp 30 juta hingga Rp 50 juta.

Keputusan membuka kedai kopi keliling berawal dari kegelisahan. Ihsyan yang dibesarkan di kebun merasakan miris hidup sebagai anak petani kopi.

Harga jual kopi selalu rendah. Hasilnya sulit mencukupi seluruh kebutuhan hidup dan pendidikan di keluarganya. Ayahnya berjuang keras sampai Ihsyan berhasil menyelesaikan studi dan membuka praktik dokter.

Ironi itu semakin membakar kesadaran Ihsyan. Satu ketika, ia mampir di sebuah kedai kopi di Jakarta. Ia terkejut mengetahui harga kopi arabika mencapai Rp 40.000 per gelas.

Ia bandingkan harga kopi di Aceh begitu rendah. Aceh adalah surga kopi, tetapi harga biji hijau kopi (greenbean) sangat rendah. Saat itu hanya Rp 60.000 per kilogram.

Satu kilogram bubuk kopi dapat diseduh untuk 100 porsi. Jika harga minuman kopi Rp 40.000 per gelas, hasil penjualan mencapai Rp 4 juta per kilogram bubuk kopi.

”Dengan modal sedikit, pemilik kedai bisa mendapatkan keuntungan berlipat-lipat,” katanya.

Kembali ke Gayo

Ihsyan akhirnya memutuskan kembali ke Gayo. Tabungan dari hasil praktik dokter digunakan untuk memodifikasi sebuah mobil pikap bekas.

Lalu, ia membeli dua mesin penyeduh kopi, rak kopi, meja, dan kursi. Desain interior dapur kafe dibuat semenarik mungkin agar banyak tamu yang mampir.

Ihsyan bertekad mengolah kembali kebun kopi ayah dan pamannya seluas 2 hektar. Ia pun belajar mengolah komoditas hilir kopi.

Hasil usaha kopi keliling sungguh di luar dugaan. Ia bisa menjual sedikitnya 100 gelas per hari dengan omzet Rp 1,5 juta per hari.

Sebagian hasil kopi dari kebun disangrai sendiri, lalu dijajakan di mobil kopi. Selain biji, ia juga menyiapkan minuman seduh kopi hitam, kopi susu, cappuccino, atau espresso.

Hasil usaha kopi keliling sungguh di luar dugaan. Ia bisa menjual sedikitnya 100 gelas per hari dengan omzet Rp 1,5 juta per hari. Harga kopi bervariasi, mulai dari Rp 8.000 hingga Rp 15.000 per gelas.

Belakangan, semakin banyak bertebaran usaha serupa di Takengon. Jumlahnya kini 50-an unit usaha. Semaraknya usaha kopi keliling sedikit mengurangi penjualannya.

”Namun, hasilnya masih cukup tinggi. Kira-kira Rp 1 juta per hari,” katanya.

Meski mengelola langsung usaha kopi keliling, Ihsyan masih tetap berkebun. Ia berjualan pada Senin hingga Jumat, lalu mengurus kebun pada Sabtu dan Minggu.

Kompas/Priyombodo

Ihsyan Fauzi dengan kopi kelilingnya, Gayo One Coffee Mobile, mangkal di pinggiran Danau Laut Tawar, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Minggu (17/12/2017). Tak sedikit dari pedagang kopi keliling ini menawarkan kopi dengan biji kopi arabika Gayo yang ditanam dari kebun mereka sendiri.

Ia juga mendampingi para petani untuk bertani kopi organik, mengolah hasil panen, dan membantu memasarkan. Tujuannya agar petani mendapat nilai tambah lebih besar.

Beberapa kali pula ia mengekspor biji kopi sangrai (roastbean) dalam jumlah terbatas. Dengan kualitas sangrai yang semakin baik, kafe dari Jepang, Korea Selatan, dan Belanda sekarang mulai membuka diri.

”Mereka sudah mau membeli kopi sangrai Gayo. Cita rasanya sesuai dengan selera mereka,” ucapnya.

Pendapatan daerah

Tanah Gayo merupakan sentra terluas perkebunan kopi rakyat—lebih dari 100.000 hektar—yang menghidupi 70.000 keluarga petani.

Kopi Gayo sangat mendunia karena aroma dan cita rasanya yang unik, dengan berbagai perpaduan dan varian. Tingginya produksi kopi bahkan telah mengangkat pendapatan daerah.

Akan tetapi, besarnya potensi tersebut tak seiring dengan kesejahteraan hidup petani. Tekanan ekonomi memaksa petani menjual buah kopi dengan harga murah. Sementara kopi mereka dijual berlipat-lipat tingginya di kedai-kedai ternama.

Pengusaha Oro Kopi, Rasyid, masih ingat betul betapa mirisnya kehidupan keluarganya di masa kecil. Sang ayah memiliki kebun kopi 2 hektar. Namun, meski tanaman itu berbuah hampir sepanjang tahun, sangat jarang ia dapati sang ayah menerima hasil penjualan kopi yang baik.

Justru ayahnya kerap terjerat ijon. Harga buah kopinya selalu dihargai rendah. Harga sepenuhnya dikendalikan oleh tengkulak.

Ketika beranjak dewasa, Rasyid mulai mengerti. Hidup takkan sejahtera selama menjadi petani biasa. Dengan modal seadanya, Rasyid pun mulai melebarkan usaha. Ia belajar mengolah buah kopi menjadi biji hijau.

Meski tetap berkebun, Rasyid menampung dan mengolah buah kopi petani. Seluruh hasil tampungan panen diolahnya menjadi beras biji kopi. Usaha Oro Kopi di Kecamatan Bebesen, Takengon, dengan cepat berkembang.

Harga biji hijau lebih tinggi 2,5 kali lipat dibandingkan buah merah kopi yang harga pasarnya Rp 9.000 per kilogram.

Di tempatnya, harga biji kopi bervariasi, mulai dari Rp 250.000 hingga 500.000 per kilogram. Jenisnya pun beragam, mulai dari premium hingga spesialti. Ada kopi vulkanik, winey, hingga luwak. Kreativitas, kata Rasyid, adalah kuncinya.

Dalam sepuluh tahun terakhir, semakin banyak petani di Gayo merambah sektor hilir kopi. Tak seperti masa lalunya, sebagian petani tidak lagi menjual gelondongan atau buah merah.

Mereka mengelolanya jadi biji dan bubuk. Bahkan, mereka berani membuka kedai sendiri.

Salah satunya Khairi Tuah Miko (28). Ia membuka kedai Rebbe Kupi di Banda Aceh. Kedainya menampung hasil panen kopi milik ayahnya di Aceh Tengah.

Dari hasil kebun seluas 2 hektar, keluarga itu berbagi tugas. Sang ayah mengurus prapanen. Miko pada pascapanen.

Kebun itu menghasilkan 1,5 ton biji hijau per tahun. Sekitar 40 persen diolah menjadi kopi spesial, sisanya jenis premium dan biasa. Sebagian diolah jadi bubuk dan minuman.

”Keuntungan paling besar ternyata dari penjualan bubuk dan minuman,” ujar Miko.

Ketua Aceh Gayo Manual Breewing yang juga pemilik kedai kopi Leuser Kupi, Danurfan, menuturkan, konsumsi kopi arabika spesial di Aceh kian meningkat. Ini menjadi peluang besar bagi petani untuk mengolah kopi pascapanen.

Kedai yang semakin banyak bertebaran di Banda Aceh umumnya telah menjual kopi spesial. Pangsa pasarnya anak-anak muda milenial.

Agrowisata

Lain lagi cara Sadikin (40) mengelola kopi menjadi agrowisata. Petani di Kabupaten Bener Meriah ini membuka kedai kopi di tengah kebun. Di depan kedai, ia pasang tagline seru ”Ngopi di kebun kopi”.

Kompas/Priyombodo

Suasana di Kedai Kopi Seladang di Jalan Bireuen-Takengon Kilometer 86, tepatnya di Desa Jamur Ujung, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Selasa (19/12/2017). Kafe tersebut berada di area kebun kopi seluas 2 hektar.

Kedai Kopi Seladang yang terletak di Jalan Bireuen-Takengon, Kabupaten Bener Meriah, beroperasi sejak 2015. Seladang kini menjadi kebun wisata kopi paling ramai dikunjungi.

”Tak hanya menikmati minuman, pengunjung bisa ikut memanen kopi,” ujar Sadikin.

Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, pemerintah mulai mengembangkan kopi sebagai komoditas wisata. Pemerintah akan menggelar Gayo Alas Mountain International Festival pada September 2018. Kuliner dan wisata kopi ditawarkan kepada pengunjung.

Pengelolaannya masuk ke dalam ekonomi kerakyatan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif. Citra positif kopi Gayo telah memberikan peluang besar bagi masyarakat. ”Petani dapat memanfaatkannya,” ujarnya. (IRMA TAMBUNAN/ZULKARNAINI MASRY/NIKSON SINAGA)