Takengon menjelma menjadi jantung peradaban kopi Gayo. Kedai-kedai penjual minuman kopi bertebaran di berbagai sudut kota. Sementara jutaan tanaman kopi mengisi keajaiban alam sang negeri di atas awan.
Udara terasa dingin menyeruak di sepanjang perjalanan menanjak menuju bukit tertinggi tepi kota Takengon, Aceh. Butuh hanya sekitar 15 menit, perjalanan itu pun berakhir di salah satu puncak, yakni Puncak Pantan Terong. Ketinggiannya 1.800 meter di atas permukaan laut.
Begitu tiba di sana, Permana (28), wisatawan asal Banda Aceh, langsung memarkirkan mobil di tanah lapang. Sejurus kemudian dia sudah berada di lapangan kecil yang menjorok seperti beranda, lengkap dengan kamera di tangan. “Mataharinya cantik sekali,” katanya, Desember 2017. Ini pertama kali dia singgah di Pantan Terong. “Duduk di sini, kalau ada kopi espresso arabika, tambah mantap,” lanjutnya.
Pemandangan begitu luas di depan mata. Awan yang semula pucat berubah kuning keemasan seiring dengan datangnya sang surya. Dari puncak itu tampak Danau Laut Tawar yang masih tertidur. Belum tampak kesibukan nelayan pencari ikan. Bukit-bukit tinggi berbaris di belakangnya.
Hamparan hijau perkebunan kopi menyelimuti seputaran danau. Terus naik hingga ke punggung bukit. Terkadang hamparan hijau itu diwarnai kemerahan acap kali musim panen raya tiba.
Mengelilingi perkebunan itu adalah hutan-hutan perawan bernama ekosistem Leuser. Rimba raya yang mengisi perbukitan dan pegunungan setempat merupakan sumber keragaman hayati negeri ini.
Kota kopi
Produksi biji kopi arabika Aceh Tengah dalam setahun mencapai 29.250 ton. Luas tanamnya 48.320 hektar yang tersebar di empat kabupaten, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Sekitar 90 persen kopi Gayo diekspor. Sisanya dipasarkan di kedai-kedai kopi di Banda Aceh, Takengon, dan kota lain di Indonesia.
Gudang Kopi Aman Kuba di Jalan Lebe Kader, Kecamatan Bebesen, Takengon, menjadi salah satu sasaran wisatawan Dataran Tinggi Gayo. Selain menjual bubuk kopi dan menyediakan tempat bersantai, wisatawan juga dapat melihat proses pengolahan kopi mulai dari buah, gabah, biji, proses sangrai, hinga penggilingan kopi.
Gudang kopi yang berdiri tahun 1958 serta masih mempertahankan bangunan tua dan mesin tua itu juga menjadi saksi sejarah perjalanan kopi arabika Gayo mulai dari masa penjajahan hingga kini sudah berkembang.
Kesadaran untuk mengolah biji kopi muncul sejak anak-anak muda Gayo merasakan kenikmatan kopi itu di tanah rantau, ketika mereka bersekolah di luar daerahnya.
Ikrar (38), generasi ketiga pewaris usaha Gudang Kopi Aman Kuba, menuturkan, masyarakat Gayo semakin sadar membangun Gayo sebagai pusat pariwisata kopi. Padahal, sebelum tahun 2007, Dataran Tinggi Gayo adalah sebuah ironi dari sudut pandang pariwisata. Kopi yang menjadi potensi terbesar untuk kepariwisataan setempat tidak dikelola.
“Dulu, tidak ada tempat untuk membeli kopi sebagai oleh-oleh dari Gayo. Yang ada justru nanas dan alpukat,” katanya.
Kesadaran untuk mengolah biji kopi, ujar Ikrar, muncul sejak anak-anak muda Gayo merasakan kenikmatan kopi itu di tanah rantau, ketika mereka bersekolah di luar daerahnya. Sewaktu kembali ke Gayo, mereka pun terlecut untuk menghidupkan kota itu sebagai pusat wisata kopi.
Kini, hampir di setiap sudut Takengon bisa ditemukan kedai kopi dan pusat oleh-oleh kopi. Ada pula kafe yang berada di tengah kebun yang merupakan terobosan baru oleh anak pemuda. Sentuhan tangan kreatif anak muda membuat kopi Gayo tidak hanya masyhur di negeri orang, tetapi juga kian berharga di tanah sendiri.
Sadikin (40), pemilik Cafe Seladang di Jalan Bireuen-Takengon, Kabupaten Bener Meriah, mengatakan, kini kedainya menjadi ikon tempat wisata bagi pemerintah setempat. Seladang berada di tengah kebun kopi, menawarkan pengalaman baru bagi pengunjung. Selain menyesap kopi, mereka juga dapat memetik kopi di kebun.
Keindahan senja
Setelah puas menyesap kopi, wisatawan dapat menghabiskan senja di tepi Danau Laut Tawar. Salah satu lokasi bernama Pantai Ujung Paking merupakan posisi paling pas untuk menyaksikan matahari tenggelam. Dari kejauhan, di tengah danau, tampak perahu-perahu nelayan berlayar pulang disinari semburat jingga.
Di sekitar Pantai Bintang, sebelah timur danau, anak-anak kerap berlatih menunggang kuda. Pada bulan Agustus, balapan kuda tradisional juga menjadi tontonan yang menarik.
Kunjungan wisatawan ke Gayo memang terus meningkat. Hal itu tidak terlepas dari kemudahan akses transportasi. Kehadiran Bandara Rembele di Kabupaten Bener Meriah membuat Gayo (Bener Meriah dan Aceh Tengah) kian berkembang. Saat ini telah dibuka penerbangan dari Bandara Kualanamu menuju Rembele.
Melalui jalur darat, perjalanan dari Banda Aceh menuju Takengon sepanjang 315 kilometer memakan waktu tempuh 8 jam. Bisa pula dari Kota Medan, tetapi jarak tempuhnya lebih panjang, yakni 750 kilometer. Pemandangan indah berpegunungan di sepanjang perjalanan tak terasa berat meski harus menempuh waktu sekitar 18 jam.
Pesta kopi dan budaya kini digelar rutin di kawasan Gayo setiap pengujung tahun. Pada 2017, Festival Panen Kopi berlangsung pada 16-17 Desember. Festival itu menggelar sejumlah atraksi budaya, seperti tradisi lisan didong, ritual menolak bala tulak bele, hingga Jazz Kopi. Peserta festival juga diajak berkunjung ke kebun kopi dan berbincang langsung dengan petani serta menikmati seduhan kopi khas setempat.
Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah, yang juga putra Gayo, mengatakan, pemerintah mulai mengembangkan kopi sebagai komoditas wisata. Kopi bersama dengan kebudayaan Gayo dikemas menjadi paket wisata yang kreatif. Selama ini kopi hanya menjadi komoditas perkebunan.
Pemerintah akan menggelar Gayo Alas Mountain International Festival pada September 2018. Kuliner kopi menjadi salah satu subsektor yang akan ditawarkan kepada pengunjung. (ZULKARNAINI/NIKSON SINAGA/IRMA TAMBUNAN)