Bukanlah dongeng yang mengangkat pamor kopi Ulee Kareng. Tiga generasi telah berjuang menjaga citra kopi tradisional itu hingga mendunia. Sang ahli waris melanjutkan pengolahan yang sama demi aroma dan cita rasa terbaik.
Wangi kopi robusta menyeruak dari sebuah bangunan di Desa Ie Masen, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Kamis (21/12/2017) pagi. Semakin kami mendekat, kian tebal wanginya tercium. Sungguh membangkitkan selera.
Terdengar pula dari balik bangunan suara tumbukan alu bertalu-talu. Terdengar bagaikan musik. Letaknya di bagian belakang bangunan utama.
Sewaktu kami melongok ke belakang, tampaklah sejumlah perempuan paruh baya tengah menggenjot ujung balok kayu tua yang mengait alu. Genjotan itu menciptakan tumbukan kayu yang kuat ke dalam lesung. Dengan cepat biji-biji kopi yang telah disangrai pun berubah jadi bubuk.
Inilah tempat produksi bubuk kopi tertua di sentra kopi tradisional Ulee Kareng. Usaha itu dirintis almarhum Hasan, lalu diwariskan kepada anaknya, Said Ali (86). Sejak lima tahun terakhir, usaha diturunkan kepada sang cucu, Ida Arifin (49).
Meski sudah berganti generasi, cita rasa bubuk kopi tidak berubah. Dengan menghirup aromanya saja, kopi Ulee Kareng sudah bisa dinikmati, apalagi hasil seduhannya. ”Kopinya benar-benar matang tanpa gosong. Tebal khas robusta, tetapi tidak pahit,” ujar Ida.
Bagaimana kekhasan itu tetap terjaga? Ida menyebut, kuncinya ada pada pengolahan. Sehari-hari, Ida memproduksi kopi dengan cara tradisional. Peralatan yang digunakan sejak usaha itu dibangun tahun 1955 masih berfungsi hingga kini.
Salah satunya, jeungki, instalasi penumbukan kopi secara tradisional, yang terdiri atas sebuah balok penggenjot yang ditopang pada dua tiang kayu. Pada ujung balok itu dipasang alu untuk menumbuk biji kopi di dalam lesung.
Dekat situ, sejumlah pekerja pria menyangrai biji kopi di atas tungku batu. Proses sangrai pun masih cara lama. Biji kopi yang masuk ke dalam tabung besi dipanaskan pada api.
Mengolah kopi, katanya, harus dengan sepenuh jiwa.
Tabung itu diputar perlahan di atas bara. Putaran tabung tidak boleh terlalu lambat karena bisa membuat biji kopi hangus.
Ayah Ida, Said, masih sesekali mengecek pengolahan di belakang rumah. Ia pun kerap mengingatkan pekerja untuk hati-hati dalam menyangrai.
Mengolah kopi, katanya, harus dengan sepenuh jiwa. ”Sangrai kopi tidak boleh main-main. Cara sangrai yang tepat membuatnya berbeda dengan kopi lain,” lanjut Said.
Setelah biji kopi mencapai kematangan sempurna, harus segera diangkat. Kopi lalu dipindahkan ke dalam lesung. Selagi masih panas, biji sangrai dicampur dengan sedikit gula pasir. Tujuannya agar kopi lebih awet alami. Rasanya pun lebih gurih.
Setelah campuran gulanya merata, barulah kopi ditumbuk dengan jeungki. Bubuk kemudian disortir. Yang masih kasar diayak untuk mendapatkan bubuk halus. Baik bubuk kasar maupun halus punya manfaat dan pasar berbeda.
Bubuk yang halus biasanya untuk dijual dalam kemasan di toko-toko, sedangkan yang kasar untuk memasok kebutuhan bubuk di kedai kopi. Bubuk yang halus untuk membuat minuman kopi tubruk. Yang kasar untuk seduhan kopi saring.
Dataran tinggi
Kecamatan Ulee Kareng selama ini dikenal sebagai sentra pengolahan bubuk kopi. Meski tak memiliki perkebunan kopi, perajin kopi Ulee Kareng memperoleh pasokan kopi dari perkebunan kopi di tanah Gayo, Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Kopi robusta dataran tinggi setempat memiliki mutu yang baik. Itu disempurnakan dengan keistimewaan cara olah tradisional.
Citra kopi robusta Ulee Kareng pun kian tersohor. Bodi kopinya tebal, bukan gosong. Dengan campuran sedikit gula pasir sebagai pengawet, bubuk kopi yang sudah tersaji di kedai-kedai tidak perlu lagi ditambahkan gula.
Sangrai tradisional menciptakan aroma dan rasa lebih kuat.
Saat ini setidaknya ada 20 lebih unit pengolahan kopi tradisional di Ulee Kareng. Sebagian besar usaha itu tidak lagi benar-benar tradisional. Mereka mulai mengganti peralatan dengan mesin modern.
Namun, Ida dan Said tetap mempertahankan usaha produksi bubuk kopi tertua itu. Mereka bertahan dengan metode sangrai manual. Hasilnya jelas beda. Sangrai tradisional menciptakan aroma dan rasa lebih kuat.
Keahlian mengolah
Ida bercerita, keahlian mengolah bubuk kopi diperoleh kakek dan orangtuanya. Ia masih ingat kisah pertama kali kakeknya berdagang kopi.
Adapun ayahnya yang kala itu masih berusia 18 tahun bekerja di usaha sangrai kopi milik seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Lokasinya di kawasan Lamnyong, sekitar 5 kilometer dari Ulee Kareng.
Pada tahun 1952, situasi keamanan di Aceh tidak kondusif, menyusul pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Tempat Said bekerja kerap didatangi pemberontak. Mereka meminta upeti, mulai dari uang hingga pakaian.
Warga Tionghoa pun merasa terancam. Usaha berjalan tersendat. Pengusaha itu pun gulung tikar dan kembali ke China.
Said akhirnya melanjutkan usaha pengolahan bubuk kopi bekas majikannya. Peralatan kerja tabung dan sepeda dibawa pulang ke Ulee Kareng.
Sejak itulah, bubuk kopi produksi setempat lebih dikenal dengan nama kopi Ulee Kareng. Padahal, baik almarhum Hasan, Said, maupun Ida tidak pernah menabalkan merek apa pun pada produk itu.
Kemasan bungkus kopi dibiarkan kosong tanpa nama. Para pedaganglah yang kerap menabalkan merek buatan mereka sendiri.
Mereka yang telanjur menyukai aroma dan cita rasa robusta itu sulit beralih.
Di wilayah Ulee Kareng, bubuk kopi Said dan Ida lebih banyak digunakan untuk kopi saring. Disebut kopi saring karena proses penyajian dengan penyaringan menggunakan kain berbentuk kerucut. Di Aceh, warung kopi saring bertebaran di mana-mana.
Dalam sepuluh tahun terakhir mulai ada perubahan pola konsumsi kopi pada masyarakat perkotaan Aceh. Peminat kopi arabika bertambah.
Namun, ujar Ida, kondisi itu tidak mengurangi pesanan kopi robusta Ulee Kareng. Mereka yang telanjur menyukai aroma dan cita rasa robusta sulit beralih.
Pengolahan tradisional justru mudah menggaet pasar. Dalam sehari, produksi kopi setempat mencapai 250 kg hingga 280 kg. Harga jual kopi bubuk Rp 60.000 per kg.
Pasarnya pun cukup luas. Sebagian besar bubuk dipasok ke kedai-kedai di seputaran Aceh. Sisanya ke Jakarta, Bandung, Papua, dan sejumlah negara di Eropa.
Pengolahan tradisional, lanjut Ida, juga menarik kunjungan wisatawan. Mereka penasaran ingin melihat langsung pembuatan kopi dengan cara kuno serta mencicipi minuman kopinya.
Lebih dari enam dekade telah dilewati. Mulai dari masa kemerdekaan, reformasi, hingga demokrasi. Kesetiaan sang pemilik akhirnya berhasil melestarikan identitas kopi Ulee Kareng. (ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN)