KOMPAS/HASANUDIN ASSEGAF

Kepulangan Awak Ammana Gappa

Sukses Ammana Gappa dan Masa Depan RI

·sekitar 5 menit baca

SUKSES AMMANA GAPPA DAN MASA DEPAN RI

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

KEBERHASILAN kapal pinisi Ammana Gappa untuk mencapai Madagaskar, dengan awak kapal yang semuanya putra Indonesia, membuka perspektif baru bagi bangsa Indonesia.

Sejak sirnanya kerajaan Demak pada abad ke-16, bangsa Indonesia sudah tidak lagi menguasai lautan, meskipun menjadi bangsa yang mendiami negara kepulauan. Memang suku bangsa Bugis, Buton, dan Madura masih dapat mempertahankan diri sebagai pelaut. Tetapi, suku bangsa Jawa yang merupakan jumlah terbesar bangsa Indonesia, sudah meninggalkan lautan. Memang sukar dimengerti, mengapa kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan Demak, tidak melihat pentingnya penguasaan laut.

Itu berbeda sekali dari Sriwijaya dan Majapahit, kedua-duanya merupakan kekuatan maritim di Asia Tenggara. Dan angkatan laut Demak membuktikan dapat memukul kekuatan laut Portugal yang berusaha menguasai lautan Nusantara. Akan tetapi, Mataram berbeda sekali sikapnya, karena menjadikan diri satu kekuatan darat semata-mata. Padahal tidak ada satu titik pun di pulau Jawa yang letaknya lebih dari 100 km dari laut utara atau selatan. Dan penguasa Mataram secara legenda mempunyai istri Nyai Loro Kidul, ratu Laut Kidul atau Samudera Hindia.

Karena sikapnya yang terbatas itu, Mataram tidak pernah menjadi kekuatan yang melampaui pulau Jawa. Dan kemudian malah tidak mampu mengusir Jan Pieters Zoon Coen dari daerah Jakarta yang relatif kecil, sekalipun Mataram sudah mengumpulkan kekuatan darat yang besar. Itulah permulaan dari keunggulan VOC Belanda dan permulaan pula dari masa penjajahan Belanda di Indonesia, yang dimulai dengan pulau Jawa.

SELAMA kemerdekaannya, bangsa Indonesia belum menunjukkan diri sebagai bangsa Nusantara, sekalipun mendiami wilayah kepulauan atau archipelago yang terbesar di dunia. Meskipun suku bangsa Bugis, Buton dan Madura tetap memelihara tradisi kelautannya, namun masih amat banyak manfaat kelautan yang tidak terjeramah oleh kegiatan bangsa.

Memang, kemudian disusun konsep Wawasan Nusantara yang menyatakan, bahwa daratan dan kepulauan Indonesia merupakan satu keutuhan yang tidak terpisahkan. Pulau-pulau besar dan kecil dihubungkan oleh perairan yang terdapat di antaranya. Perkataan tanah air Indonesia adalah tepat sekali, karena wilayah nasional kita terdiri dari tanah atau daratan dan air atau lautan, yaitu 1,9 juta kilometer persegi dartan dan 3 juta kilometer persegi lautan.

Namun, dalam kenyataan, wilayah lautan yang demikian luasnya dan penuh aneka potensi belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Mungkin sekali sebagai akibat dari kerajaan Mataram, manusia Jawa dan Sunda yang merupakan bagian sekitar 60 persen penduduk Indonesia, telah menjadi manusia daratan, tanpa menyadari, bahwa mereka berdiam di satu pulau yang relatif kecil. Itu antara lain dapat dilihat dari makanannya yang kurang sekali mengkonsumsi ikan laut, berbeda dari manusia Bugis umpamanya.

Kehidupan nelayan di Jawa merupakan yang paling miskin, lebih miskin dari kaum petani yang sudah dianggap amat miskin. Juga lautan yang demikian luas kurang sekali dimanfaatkan untuk lalu lintas dan transportasi. Itu berbeda sekali dari orang Jepang, orang Eropa, dan bahkan orang Cina, yang semuanya memanfaatkan setiap sungai dan laut di negara mereka untuk lalu lintas dan angkutan. Lautan sebagai jalan- jalan ciptaan Tuhan sebenarnya paling murah bagi kita, tetapi malahan kurang sekali dimanfaatkan.

Karena sifat manusia Jawa dan Sunda itu, maka hampir seluruh rakyat Indonesia juga menjadi manusia ‘daratan’, kecuali manusia Bugis, Buton dan Madura. Kalau sekarang dalam Indonesia merdeka, bangsa Indonesia hendak mencapai kesejahteraan dan keamanan dalam kehidupannya, maka itu harus berubah. Manusia Indonesia harus menjadi manusia Nusantara, yang tidak saja pandai memanfaatkan daratannya, tetapi juga lautannya. Tetapi, itu baru dapat terwujud, kalau suku bangsa Jawa dan Sunda menjadi manusia Nusantara, meninggalkan tradisi Mataram dan kembali ke sikap hidup Majapahit dan Demak.

***

KEBERHASILAN Ammana Gappa amat membanggakan dan membesarkan hati kita sebagai bangsa Nusantara. Memang, itu adalah prestasi putra Bugis, tetapi hendaknya prestasi itu merangsang putra Indonesia lain, ketika kita menghadapi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1991 ini. Pemuda Indonesia harus berorientasi kepada Indonesia dan menjadi manusia Nusantara, bukan menjadi pemuda Jawa yang berorientasi ke pulau Jawa belaka.

Kita ingin melihat lautan Indonesia penuh dengan kapal dan perahu Indonesia, baik untuk penangkapan ikan, untuk pencarian hasil laut lain maupun untuk mengangkut orang dan barang. Adalah aneh sekali, bahwa antara Banjarmasin dengan Surabaya dan Semarang, demikian pula antara Ujungpandang dengan Surabaya, begitu sedikit hubungan kapal ferinya. Padahal cukup banyak orang hendak bergerak dari Jawa ke Kalimantan dan Sulawesi dan sebaliknya, sedangkan tidak semua orang cukup mampu untuk membeli tiket pesawat terbang.

Demikian pula tidak dapat dimengerti, mengapa tidak ada kapal atau perahu yang mengangkut barang antarkota pantai di Jawa, padahal jalan darat begitu penuh truk. Lain sekali dengan di Eropa, Jepang dan Cina, di mana banyak sekali barang diangkut melalui air, karena memang angkutan air paling murah untuk jarak jauh. Baru setelah itu, secara berturut-turut adalah angkutan kereta api, angkutan bermotor, dan paling mahal angkutan udara.

Bilamanakah kita bisa melihat pihak swasta Indonesia mengambil prakarsa untuk meningkatkan angkutan laut itu, sehingga meringankan beban jalan darat, khususnya di Jawa dan Sumatera. Tentu itu pada permulaannya memerlukan bantuan pemerintah, umpamanya dalam keringanan pajak.

Kegiatan angkutan barang dan orang yang lebih hidup antarpulau akan sangat besar pengaruhnya kepada perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hankam. Sebab itu, pemerintah harus mendukung usaha swasta ke arah itu.

Kita juga tetap menyarankan dan melihat pentingnya perluasan jaringan dan perjalanan kereta api di Jawa dan Sumatera, serta diperluas dengan di Sulawesi dan Kalimantan. Namun, tidak kalah pentingnya adalah perkembangan angkutan laut dan feri.

Adalah tetap penting, bahwa kita meningkatkan kemampuan penangkapan ikan. Sekarang boleh dikatakan, bahwa orang-orang Indonesia memiliki perusahaan perikanan besar. Akan tetapi, orang- orang yang menjalankannya dan bahkan pemilik kapalnya bagian terbesar adalah orang asing, khususnya Taiwan. Mudah-mudahan pemuda Indonesia tidak cukup puas dengan memperoleh pemasukan uang melalui perusahaan perikanan itu, tetapi juga ingin menjadi penangkap ikannya dan pemilik kapalnya.

Mengapa rakyat Indonesia begitu rendah konsumsi ikan lautnya, padahal menurut ilmu gizi, ikan laut jauh lebih besar faedahnya bagi kesehatan dibandingkan daging hewan. Kalau konsumsi ikan laut dapat mendekati keadaan di Jepang, maka nelayan kita akan lebih besar penghasilannya, dan hasil penangkapan ikan laut tidak terlalu bergantung pada ekspor.

Ini semua akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kalau jumlah penduduk Indonesia yang hidup dari laut (sebagai nelayan atau perusahaan ikan, awak kapal atau perahu) atau pekerjaan yang bersangkutan dengan laut (bekerja di perusahaan perkapalan, perikanan, dan lain-lain) bisa mencapai angka yang cukup tinggi, umpamanya 10 persen, maka kesejahteraan rakyat akan jauh lebih tinggi.

Itu dapat dilihat pada Norwegia, yang bagian terbesar penduduknya hidup dari laut atau pekerjaan yang bersangkutan dengan laut. Dengan penduduk 4.1 juta orang, Norwegia mempunyai GDP sekitar 82 milyar dolar AS, yaitu sama dengan Indonesia yang berpenduduk 170 juta orang. Padahal tanah Norwegia adalah melulu pegunungan.

Semoga Hari Sumpah Pemuda tahun ini dapat mengingatkan hal itu kepada pemuda Indonesia sebagai penanggung jawab masa depan bangsa.

* Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhannas

Artikel Lainnya