Mewarisi budaya Keraton Mataram, pola batik yang berkembang di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta diletakkan dalam posisi yang sangat tinggi. Batik tak sekadar kain, tetapi juga menjadi alat untuk mengukuhkan kekuasaan. Dalam lembaran batiknya, hierarki sosial hingga identitas sebagai kawula Yogyakarta atau kawula Surakarta pun dipertegas.
Sejarah mencatat bahwa, Sunan Paku Buwono III menandatangani perjanjian damai dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengku Buwono I pada 1755. Perjanjian di Desa Giyanti, Karanganyar, Jawa Tengah, ini menciptakan perdamaian di Keraton Mataram. Namun, wilayah kekuasaan kemudian dibagi dua: Surakarta dan Yogyakarta. Tak hanya wilayah yang dibagi, perjanjian itu diikuti pembagian benda pusaka, termasuk batik!
Thomas Stamford Raffles dalam buku History of Java mencatat: ”sebuah pertemuan di lakukan di Ginganti, sebuah desa yang tidak jauh dari SuraKerta, yang dihadiri oleh Susunan (Paku Buwono III), Mangkubumi, dan Gubernur pantai timur laut Jawa, ketika perjanjian itu ditandatangani.” Sebelum hadirnya perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari, Mataram memang diwarnai dengan banyak perang saudara sejak dinasti ini didirikan oleh Panembahan Senapati.
Perjanjian Giyanti kemudian diikuti dengan perjanjian di Jatisari terkait pewarisan busana dari Kerajaan Mataram. Paku Buwono III mengizinkan seluruh busana keraton termasuk batik-batiknya dibawa Sultan Hamengku Buwono I ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya Paku Buwono III meminta pengembangan corak baru batik surakarta. Akibat kesepakatan itu, hingga kini, batik yogyakarta dan batik surakarta mencoba tampil beda sebagai penguat identitas.
Di rumahnya di samping Keraton Yogyakarta dengan beberapa pembatik keraton sibuk membatik di teras rumah, Putri Sultan Hamengku Buwono IX, GBRAy Murdokusumo (70) menunjukkan perbedaan batik yogyakarta dan batik surakarta lewat lembaran batik peninggalan HB IX. ”Ada abdi dalem yang pakai babaran Surakarta yang kuning ketika siraman keris di keraton dan langsung ditegur. Di Keraton Yogyakarta, ya, harus batik yogyakarta, babarannya harus putih,” kata Murdokusumo.
Pembeda paling mencolok antara batik yogyakarta dan batik surakarta memang terletak pada warna latar belakang batiknya. Batik yogyakarta harus putih bersih, sedangkan batik surakarta melalui proses pewarnaan soga sehingga memunculkan rembesan warna latar kuning gading. Meskipun mencoba berbeda, banyak motif yang sama namanya, seperti parang, sidomukti, sidoluhur, sidoasih, truntum, dan wahyu tumurun, tetap ada bagian motif yang sengaja dibuat berbeda.
Di antara lembaran batik milik HB IX itu, tampak batik parang seturun yang berhiaskan motif parang dari ukuran paling besar ke yang terkecil dalam satu lembar batik. ”HB IX sangat suka pakai parang. Ukuran parang untuk raja sepanjang 25 sentimeter. Untuk pangeran atau putri raja boleh pakai yang sepanjang 15 cm. Untuk cicit dan cucu kira kira 7 cm. Untuk abdi dalem: 5-6 cm yang disebut parang klitik,” kata Gusti Murdokusumo menerangkan tentang beragam ukuran dalam batik motif parang seturun.
Pembatik halus
Jika Yogyakarta punya parang seturun, Keraton Surakarta juga punya parang adik kakak. Bentuk parangnya sama dengan corak garis-garis miring, hanya berbeda di bagian mlinjon atau hiasan berbentuk belah ketupat. Rangkaian mlinjon di antara dua bidang lajur pada batik yogyakarta berbentuk agak segitiga, sedangkan mlinjon pada parang batik solo berbentuk persegi. Perempuan Surakarta memakai parang serong dari kanan atas ke kiri bawah, sedangkan perempuan Yogyakarta dari kiri atas ke kanan bawah.
Pemilik Batik Danar Hadi, Santosa Doellah, merangkum perbedaan batik yogyakarta dan batik surakarta itu di Museum Batik Danar Hadi di Surakarta yang secara lengkap menyajikan koleksi batik Keraton Yogyakarta dan batik Keraton Surakarta, bahkan koleksi batik dari dua kadipaten lain yang muncul beberapa saat setelah perjanjian Giyanti, yaitu batik dari Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman.
Santosa menyebut pola batik yogyakarta sangat teratur dan ditata geometris dengan perpaduan warna yang sangat tegas sehingga sering kali memberikan kesan kaku. Sementara batik surakarta lebih luwes. ”Yang jelas cara penyogaannya sangat berbeda. Warna batik yogyakarta coklat kemerahan dengan latar pasti putih. Batik solo lebih coklat kekuningan dan pasti ada rembesan soga sehingga berlatar kuning gosong,” kata Santosa.
Pabrik Danar Hadi mempekerjakan sekitar 200 pembatik tulis dan terus memproduksi batik dengan kiblat tradisi lebih condong ke batik surakarta sejak 1967. Seluruh motif batik, termasuk batik larangan yang dulu tidak boleh dipakai rakyat kebanyakan, seperti parang barong, kini diproduksi secara pabrikan di Danar Hadi. ”Biasanya orang Solo, ya, maunya pakai batik solo. Orang Yogyakarta, ya, batik yogyakarta,” katanya.
Pengusaha batik surakarta, Siti Sendari, yang sudah 50 tahun membatik dan batiknya pernah menjadi langganan Ibu Tien Soeharto sering kali juga mendapat pesanan batik yogyakarta. Meskipun membuat batik yogyakarta dan merasa batik yogyakarta itu cantik, ia merasa canggung untuk memakainya. ”Dari segi rasa memang beda. Kurang sreg kalau pakai batik yogyakarta karena saya orang Solo. Sudah diwiru mau pakai rasanya enggak sreg,” kata Siti.
Dari segi proses, pembuatan batik yogyakarta dan solo juga berbeda. Selain berbeda pada proses pewarnaan dan motif, malam yang dipakai untuk batik yogyakarta lebih lengket untuk memunculkan latar yang harus benar-benar putih. Untuk memunculkan warna latar kekuningan, batik surakarta harus dicelup soga sebagai pewarna alami hingga 35-40 kali. ”Membatik butuh ketelatenan. Untuk satu lembar batik melibatkan 9-10 perajin dengan kemampuan masing-masing,” ujarnya.
Buku identitas
Jika saat ini pembatik banyak bertumbuhan justru di luar tembok keraton, dulu, pembatik adalah pekerjaan prestisius yang banyak dikerjakan oleh istri dan putri raja. Di Keraton Surakarta, tradisi membatik di dalam tembok keraton sudah benar-benar hilang. ”Regenerasi terhenti setelah keraton enggak punya abdi dalem di dalam yang membatik. Dulu keraton punya pabrik batik. Minimal ada 12 upacara adat dalam setahun yang mengharuskan pakai batik di keraton,” kata Putri Sunan Paku Buwono XII, GKR Koes Moertyah Wandansari.
Di Keraton Yogyakarta, Gusti Murdokusumo menyebut dirinya sebagai pembatik terakhir dari lingkungan kerabat raja yang masih membatik. Gusti Murdokusumo pula yang kini mempekerjakan pembatik-pembatik keraton di Bangsal Tamanan yang memproduksi batik, termasuk untuk batik Sultan Hamengku Buwono X.
Pada masa HB IX, menurut Gusti Murdokusumo, istri-istri Sultan masih gemar membatik. ”Ibu saya membatik. Nanti yang bagian sebaliknya dibatik lagi oleh para pembantu. Saya suka ngrusuhi. Ya dimarahi, tapi kalau enggak gitu, ya, enggak bisa membatik. Satu satunya dari keraton yang masih bisa membatik, ya, tinggal saya,” kata Murdokusumo.
Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada PM Laksono menyebut batik sebagai salah satu kode atau media untuk membedakan identitas perbedaan kawula Surakarta atau Yogyakarta. ”Lebih rumit lagi, perbedaan geografis Yogyakarta dan Surakarta itu bisa sangat dekat. Ada perbedaan yang tumpang paruk antardesa. Dibutuhkan media kompleks agar orang bisa mengatakan tentang identitasnya. Batik tidak ubahnya dengan buku sejarah tentang identitas orang,” kata Laksono.
Dalam mengidentifikasikan diri itu, orang Solo lebih condong ke budaya Barat, seperti terlihat dari busana beskap yang mirip jas Eropa. Orang Yogyakarta lebih memilih memakai surjan peranakan yang lebih merakyat. ”Batik bisa dianalogikan dengan budi bahasa. Media untuk mengatakan mengenai perbedaan siapa saya, kamu, dia. Orang kemudian meletakkan dirinya di dalam batik. Batik bukan manusia, tetapi dianggap sama dengan yang memakai. Ketika memakai motif tertentu merasa inilah aku,” katanya.
Sejarawan UGM, Sri Margana, menambahkan sesudah Kerajaan Mataram pecah menjadi beberapa kerajaan, terjadi sopistikasi atau penguatan identitas di masing-masing kerajaan. Penguatan identitas itu terjadi pada berbagai produk kebudayaan, misalnya tari, wayang, karawitan, dan batik. ”Kenapa terjadi sopistikasi? Karena masing-masing kerajaan ingin mengembangkan identitas sendiri yang berbeda satu sama lain, sekaligus ingin mengklaim sebagai pewaris asli dari kebudayaan Jawa,” katanya.
Keinginan itulah yang kemudian memunculkan perumitan motif dan gaya dalam produk budaya yang dihasilkan, termasuk batik. Margana menuturkan, sopistikasi itulah yang kemudian menghasilkan keragaman pada budaya Jawa. ”Jadi, Jawa tidak lagi tunggal,” ujarnya. Batik yogyakarta maupun batik surakarta menjadi cerminan utuh dari Jawa yang tak lagi tunggal.