Di ufuk timur Pulau Jawa, industri batik kembali terbit. Tak hanya menyambung kembali goresan malam yang terputus, industri batik banyuwangi kini bertransformasi.
Bicara batik banyuwangi tidak bisa dilepaskan dari Temenggungan, suatu wilayah di jantung kota yang merupakan sentra batik paling tua di Banyuwangi. Konon, ketika terjadi perpindahan pusat pemerintahan Kadipaten Blambangan dari daerah Ulupampang/Muncar ke hutan Tirtaganda pada tahun 1774, Temenggungan adalah kampung pertama yang dibangun. Kampung ini terletak di belakang Kadipaten Blambangan saat itu. Kampung Temenggungan merupakan tempat bermukimnya para pejabat pemerintahan pada masa itu.
Menurut penuturan beberapa pebatik Banyuwangi, sejak tahun 1950-an di Temenggungan banyak ditemui perajin batik. Hampir setiap rumah di situ adalah perajin batik. Di situlah usaha batik banyuwangi berawal.
Jejak Temenggungan sebagai kampung batik pada masa lalu saat ini bisa dilihat pada beberapa pebatik di lokasi itu yang telah membatik selama beberapa generasi. Salah seorang di antaranya Kulsum (86), nenek yang dipanggil Mbah Sum ini mewariskan keahlian membatik dari orangtuanya.
Ia menekuni membatik sejak kelas V SD pada zaman pendudukan Jepang. Kini hidupnya hanya untuk membatik. Dari pagi hingga sore, Mbah Sum terus membatik di samping rumahnya dengan peralatan sederhana. Semua dikerjakan sendiri, mulai dari membuat pola, mencanting, sampai mewarnai.
Sesepuh lainnya adalah Asmah (74). Generasi ketiga pebatik dari Temenggungan ini sejak dua tahun lalu sudah tidak membatik karena alasan kesehatan. Namun, usahanya dilanjutkan putrinya, Umi Sukasih (46), yang mempunyai usaha batik yang dinamai Batik Seblang. Meskipun lokasi usahanya kini pindah ke daerah Mojopanggung, Kecamatan Giri, Umi Sukasih tetap membuat batik tulis khas Temenggungan.
Seiring berjalannya waktu, usaha batik rumahan di Temenggungan berangsur surut. Usaha yang masih tersisa di Temenggungan saat ini hanya dua. Keduanya tetap membuat batik tulis khas Banyuwangi bermotif gajah oling, kangkung setingkes, dan paras gempal.
Geliat
Batik banyuwangi mulai bergeliat kembali sekitar tahun 1980-an setelah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memberi kesempatan pelatihan kepada beberapa individu yang tertarik menggeluti batik, khususnya di Kelurahan Temenggungan. ”Pelatihan itu untuk mengembangkan embrio baru dan menunjukkan identitas batik banyuwangi, terutama gajah oling,” kata Tri Djoko Putranto (57), Kepala Seksi Industri Logam, Mesin, Elektronika, Tekstil dan Aneka Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pertambangan Kabupaten Banyuwangi.
Pelatihan itu membuahkan beberapa usaha batik baru di Temenggungan, seperti usaha batik Sritanjung dan Sayu Wiwit. Dengan ketekunan dan kerja keras serta kepeduliannya untuk melestarikan batik banyuwangi, Ibu Anna Nemi (61), pemilik usaha batik Sritanjung, berhasil mengembangkan usaha yang dirintis dari nol hingga mencapai puncaknya sekitar 1985-1987. Sementara usaha batik Sayu Wiwit mulai dirintis tahun 1999 oleh Soedjojo Dulhaji (alm) dengan mengumpulkan pebatik-pebatik di Temenggungan yang mengikuti pelatihan dalam satu wadah Kelompok Kerja Pembatik.
Tak hanya di Temenggungan, usaha batik pun mulai muncul di daerah lain yang dipelopori Mohammad Suyadi (51). Pemilik usaha batik Virdes ini pernah merantau ke Bali dan menjadi pekerja tekstil tahun 1985, lalu pulang ke Banyuwangi dan mendirikan usaha batik di Desa Tampo, Kecamatan Cluring, tahun 1988.
Upaya pemerintah mengembangkan batik dilakukan terus-menerus hingga tumbuh beberapa usaha batik di luar Temenggungan. Selain itu, batik banyuwangi juga semakin mendapat peluang besar ketika batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbenda oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2 Oktober 2009. Beriringan dengan itu, pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan pemakaian seragam batik khas Banyuwangi bagi pegawai pemerintah.
Sejumlah pengusaha asli Banyuwangi yang merantau ke Bali melihat peluang tersebut. Mereka lalu hijrah ke kampung halaman dan mendirikan usaha batik. Salah satunya adalah Firman Sauqi (46). Firman, yang sebelumnya menjadi pekerja tekstil di Bali, lalu mendirikan usaha Godho Batik tahun 2010. Godho Batik fokus memproduksi batik tulis dan batik cap, dengan kekhasan menggunakan pewarna alam.
Diversifikasi
Saat ini di Banyuwangi terdapat 35 usaha batik skala kecil dan menengah yang tersebar di 18 desa dari 12 kecamatan. Jumlah usaha terbanyak ada di Kecamatan Cluring dan Kabat. Sebagian besar merupakan usaha baru yang muncul setelah penetapan oleh UNESCO dan mendapat sokongan pemerintah melalui berbagai pelatihan, peluang pameran, dan konsultasi usaha dalam bentuk klinik UMKM.
Tak berhenti di situ, sejumlah pengusaha batik menyiasati pengembangan usahanya dengan melakukan diversifikasi produk. Selain memproduksi batik tulis, mereka juga membuat batik cap, kombinasi cap dan tulis, batik lukis, hingga kain bermotif batik yang dibuat dengan mencetak malam dingin. Hal ini dilakukan Amrin (48), pemilik Batik Nozzah, setelah ia memindahkan usahanya dari Bali ke Banyuwangi pasca penetapan UNESCO.
Pengusaha lain pun tak mau kalah. Ade Rendra (29), pemilik Batik Tropikal, sampai merekrut karyawan dari Solo dan Yogyakarta untuk mengajarkan pembuatan batik. Sekarang, produksi terbesar Ade adalah tekstil bermotif batik. Meskipun demikian, Batik Tropikal masih mempertahankan produk awalnya di Bali, yaitu kain pantai yang telah menembus pasar ekspor ke Hawaii dan Las Vegas.
Selain diversifikasi produk, upaya mengembangkan batik banyuwangi pun dilakukan dengan kreasi motif, desain, dan pewarnaan. Selain memodifikasi motif gajah oling, kreasi desain baru pun berlomba-lomba dibuat. Ada motif kebo-keboan yang terinspirasi upacara adat. Ada pula motif durian merah, kreasi Edi Fitriyanto (29) bersama sesama pebatik lainnya yang didasarkan pada bentuk buah khas Banyuwangi. Pewarnaan batik miliknya, Tatsaka Batik, menggunakan pencampuran dua jenis pewarna.
Batik banyuwangi kini bertransformasi. Pebatik individu yang awalnya mengerjakan satu dua pesanan kini sudah beralih menjadi usaha batik skala kecil-menengah dengan ragam produk dan jaringan pemasaran. Tak hanya melulu menuruti desain yang sudah ada, para pebatik kini mulai mencipta motif baru. (MB DEWI PANCAWATI/AYU SIANTORO/LITBANG KOMPAS)