KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Proses melorod lilin batik tulis betawi/jakarta di Kampung Batik Setu Babakan, Jakarta, Selasa (16/8). Motif ondel-ondel adalah salah satu motif kontemporer batik betawi yang dikerjakan di Setu Babakan.

Batik Jakarta-Papua

Luwes Menyerap Perubahan Zaman * Selisik Batik

·sekitar 6 menit baca

Dinamika usaha batik betawi berjalan seiring perkembangan kota Jakarta. Industri pembuatan batik sempat menjadi pilar usaha sandang di Jakarta dan sekitarnya, namun kemudian terpaksa menyingkir ke pinggiran. Kini, upaya membangkitkan kembali batik betawi terus dilakukan.

Kutipan dari koran ini di tahun 1973 menyebutkan, ”batik Jakarta lebih laku daripada batik Pekalongan. Dari 440 perusahaan batik dengan jumlah karyawan kurang lebih 20.000 orang diproduksi 80.000 kodi per bulan atau 1,6 juta lembar batik. Dengan harga rata-rata Rp 500,-, pemasukan per bulan Rp 800 juta”.

Usaha perbatikan di Jakarta cukup ramai pada periode 1960-an sampai 1970-an. Ratusan perusahaan batik yang beroperasi tersebut tersebar di beberapa sentra usaha batik, seperti Karet Tengsin, Karet Semanggi, Setiabudi, Palmerah, dan Kebayoran Baru. Bahkan, usaha batik tersebut mampu membuat Jakarta mengirim produk batiknya ke sejumlah daerah di Nusantara ataupun mengekspornya ke luar negeri.

Kala itu, usaha batik marak, antara lain karena Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ikut mengampanyekan pemakaian baju batik sebagai pakaian resmi, baik bagi pegawai pemerintah maupun warga Jakarta, dan juga pakaian tak resmi. Ali Sadikin bahkan mengeluarkan surat keputusan gubernur bertanggal 12 Juli 1972 untuk memberi landasan hukum langkah tersebut. Saat itu disebutkan bahwa motif-motif batik yang umum digunakan adalah djlamprang dan parang rusak.

Tionghoa dan Betawi

Pabrik batik di Jakarta saat itu umumnya dikelola secara tradisional sebagai usaha kecil rumahan. Para pemilik umumnya orang-orang keturunan Tionghoa yang sudah lama tinggal di Jakarta. Pekerjanya bisa para kerabat pemilik usaha batik atau warga sekitar yang menyatakan diri sebagai orang Betawi.

Lokasi usaha batik itu umumnya di dekat sungai. ”Dulu kalau buat batik harus dekat kali. Bikin batik, kan, butuh banyak air untuk nyelup warna. Air bekas celupan dibuang ke kali,” ujar Hartono Sumarsono (63), kolektor dan pengusaha batik yang tinggal di Karet, Kuningan, Jakarta Selatan.

Karet Kuningan dan Karet Semanggi menjadi salah satu sentra pabrik atau usaha batik yang dikelola secara tradisional. Menurut kliping berita Kompas, pabrik batik di kawasan ini sudah beroperasi sejak 1910. ”Yang punya pabrik-pabrik batik orang Tionghoa,” kata Hartono.

Umumnya mereka memanggil saudara atau teman di kampung halaman di negeri asal untuk bekerja di pabrik itu. Setelah punya cukup uang, para pekerja dari Tiongkok itu akan membuka pabrik sendiri. Pekerjanya juga berasal dari negara asal. ”Begitu rotasi orang-orang Tionghoa,” ucap Hartono.

Salah satu pekerja pabrik batik yang kemudian beralih jadi pemilik pabrik batik adalah Lie Cit Tian (alm), ayah Inggrid Arlienata (68), pengusaha sekaligus pemilik Batik Sunan. ”Dulu ayah saya kerja di pabrik batik saudaranya waktu datang dari Tiongkok tahun 1940-an,” kenang Inggrid.

Awalnya sang ayah tidak mengerti sedikit pun tentang batik dan hanya mampu berbahasa ibu. Setelah mencapai jabatan mandor, sang ayah berhenti dan mendirikan pabrik sendiri di rumahnya di Jalan Jenderal Sudirman. ”Tempat kantor-kantor bank sekarang, sebelum akhirnya pindah ke Karet,” lanjut Inggrid.

Di masa awal Orde Baru, tahun 1965, industri rumahan batik kerap dimanfaatkan masyarakat untuk mencari tambahan. ”Di tahun itu kondisi ekonomi, kan, sulit. Untuk menambah penghasilan, enyak sama emak-emak lain di Kampung Gandaria Selatan pergi ke tauke ngambil empat sampai lima kain, dibawa pulang. Nembok, istilahnya,” kata Yahya Andi Saputra (55), Ketua Keluarga Batik Betawi.

Gandaria Selatan, tempat tinggal keluarga Yahya, adalah daerah pertanian. ”Babe saya bertani. Enyak jualan kue. Kalau udah habis, terus nembok,” ujarnya.

Para tauke itu memberi kain untuk dibatik, beberapa potong lilin, dan canting. Konon cantingnya bernomor 1 sampai nomor 3, ada juga yang memberi canting nomor 7. Sehelai kain biasanya akan selesai dibatik dalam tiga minggu.

Nembok atau nyanting dikerjakan hingga tahun 1970-an saat kondisi politik dan perekonomian sudah lebih kondusif,” ungkap Yahya mengenang masa-masa tersebut.

Konsisten

Sejalan dengan perkembangan kota, kawasan pabrik batik di DKI Jakarta mulai dipadati penduduk. Keberadaan pabrik-pabrik batik di wilayah permukiman itu mulai menimbulkan masalah bagi lingkungan. Pembuangan air limbah industri batik di sekitar Karet, Jakarta Selatan, misalnya, menyebabkan warna air yang diolah instalasi mini Muara Karang menjadi agak merah. Saat musim kemarau, pencemaran itu sangat mengganggu pengolahan air bersih.

Selain itu, dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta1985-2005, peruntukan kawasan Karet, Setiabudi, dan Kuningan, yang sebelumnya terkenal sebagai sentra perbatikan di Jakarta, ditetapkan sebagai permukiman dan perkantoran. Kawasan itu kini termasuk dalam area ”segitiga emas” sehingga industri kecil di sana harus hengkang ke kawasan industri.

Sebagian pengusaha batik di Jakarta tersebut terpaksa memindahkan usaha ke tempat lain, sementara sebagian lainnya tutup pabrik. Perlahan tapi pasti usaha batik di Jakarta mulai surut. Jakarta beralih menjadi sentra perdagangan batik dari sejumlah daerah di luar Jakarta. Pasar Tanah Abang, Thamrin City, dan gerai-gerai di sejumlah mal di Jakarta menjadi tempat memajang produk batik dari luar Jakarta.

Namun, ada pemilik usaha batik yang tetap konsisten dengan usahanya, yaitu Lie Cit Tian. Setelah memindahkan produksi batiknya ke Karet pada 1974, Lie meneruskan usaha batik yang dirintisnya. Keluarga Lie yang memiliki 12 anak membuat dan memasarkan produknya ke sejumlah pasar dan pengecer di seputar Jakarta, terutama di daerah Glodok, Pasar Senen, dan Pasar Jatinegara. Ketika ia meninggal tahun 1976, pabrik batiknya sempat vakum.

Sebagai anak tertua, Inggrid Arlienata akhirnya meneruskan usaha batik ayahnya. Setelah pindah ke pabrik di Cikarang tahun 1994, Inggrid mulai mengembangkan batik cap bersama adiknya, Lie Ping Kim (59). Kini, di lahan seluas 2.500 meter persegi, mereka mempekerjakan sekitar 75 orang dan menghasilkan 14.000-16.000 lembar kain batik cap per bulan. Jawa dan Sumatera menjadi pasar utamanya, selain Kalimantan dan Sulawesi.

Regenerasi

Di tempat lain, Yahya Andi Saputra sebagai warga Betawi asli berusaha menghidupkan kembali kegiatan membatik seperti yang dilakukan ibu dan orang-orang di kampungnya dulu di Gandaria Selatan. Pencariannya terhadap situs Betawi membawanya bertemu dengan sesama pemerhati kebudayaan Betawi.

”Kami ketemuan. Kenapa enggak kami bikin kampung-kampung batik sebagaimana dulu orang Betawi melakukan pekerjaan ini,” kata Yahya. Maka, jadilah pelatihan-pelatihan di Kampung Bulak Turi, Marunda, dan Kebon Bawang di Jakarta Utara; Gandaria, Terogong, dan Setu Babakan di Jakarta Selatan; Kebon Kosong, Jakarta Pusat; dan Cipanas, Bogor.

Pelatihan batik yang diadakan oleh Lembaga Kebudayaan Betawi bekerja sama dengan Jakarta Islamic Center melahirkan organisasi yang dinamai Keluarga Batik Betawi (KBB) pada 12 Desember 2012. Kini, KBB memiliki dua sanggar kerja, yakni di Kampung Muara Tawar, Marunda, Jakarta Utara, dan Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pemasaran batik hasil karya para pembatik yang tergabung dalam KBB dilakukan para anggota sendiri melalui galeri di Marunda, Setu Babakan, dan Thamrin City.

Di samping KBB, terdapat pula Kampung Batik Palbatu di Jalan Palbatu IV, Tebet. Menurut Hari, salah seorang pendiri, kampung batik yang didirikan pada Mei 2011 ini meniru konsep Kampung Batik Laweyan, Solo. Kampung batik ini diarahkan untuk menggali minat masyarakat mengenali batik. Warga direkrut, dilatih untuk membatik, kemudian memasarkan sendiri hasil karya mereka.

Batik yang dihasilkan tidak diklaim sebagai batik betawi, tetapi batik jakarta. Bahkan beberapa motifnya diberi nama motif palbatu. Kelompok ini berusaha terus berkreasi melahirkan motif-motif baru batik jakarta. Motif yang sudah dihasilkan antara lain topeng, penari, palawija, rempah, dan kembang api.

Melestarikan usaha batik tradisional di tengah kehidupan metropolitan yang modern membuat usaha batik di Jakarta harus luwes sehingga bisa berkompromi dengan kemajuan zaman. Di samping konsisten berusaha, penciptaan motif-motif baru merupakan bagian dari usaha untuk menciptakan generasi baru batik betawi. (SULTANI/BE JULIANERY/LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Batik cap motif betawi/jakarta dikembangkan pembatik di Marunda, Jakarta Utara, Senin (22/8).

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Batik tulis motif betawi/jakarta dikerjakan pembatik di Kampung Batik Setu Babakan, Jakarta, Selasa (16/8).

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Terogong menjadi salah satu sentra batik di Jakarta Selatan sejak puluhan tahun lalu.

Artikel Lainnya