KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Martina Iwo menerakan malam cair pada kain batik buatannya.

Batik Jakarta-Papua

Selisik Batik: Masa Depan di Ujung Canting

·sekitar 5 menit baca

Nun jauh di Papua yang tak memiliki tradisi membatik, batik lahir menjadi sebuah cara berkesenian baru. Kala modernitas mulai menggerus ruang-ruang berkesenian yang sejak dulu telah menjadi bagian hidup orang Papua, batik dibangun sebagai oase yang memberi harapan baru.

Harum bau malam yang dipanaskan di atas kompor minyak kecil menyusup di antara temaram sore yang berganti petang. Wanginya mengiringi jemari tua Martina Iwo (68) menuntun ujung canting, seperti detik yang tengah melukis senja.

Tenang ia menarik napas, mengembuskannya perlahan sambil terus memandangi lembar kain putih yang sebagian telah dilukisnya dengan malam. ”Membuat batik tulis motif khas Papua tak berbeda dengan membuat batik motif-motif lain di Jawa. Kami tak hanya dituntut teliti, tetapi juga sabar. Sabar, seperti sehari-hari hidup dalam keluarga,” kata Martina.

Meski bukan khas hasil berkebudayaan di Papua, membatik bagi Martina tak ubahnya bagian dari cara berkesenian warga kampungnya. Jimmy Afaar (59), keponakan sekaligus pemilik galeri Port Numbay tempat Martina bekerja, adalah orang yang membukakan jalan pada cara berkesenian baru itu.

Jimmy mengawali usahanya tahun 2005, saat belajar pada sejumlah perancang busana di Jakarta. Saban kali melihat mentornya memesan batik dari Pekalongan atau Solo, Jimmy melihat ada ruang untuk menyalurkan hidup berkesenian warga Papua.

”Keluarga-keluarga di Papua, setidaknya keluarga saya, hidup dalam suasana berkesenian, seperti melalui tari, lagu, ukiran, lukisan di tiang-tiang rumah, serta coretan-coretan entah di kaki, tangan, atau tubuh. Setiap keluarga memiliki ornamen berbeda dan masing-masing memiliki arti dan makna khas. Sayangnya, mulai banyak ditinggalkan,” katanya.

Modernitas, kata Jimmy, perlahan-lahan menggerusnya sehingga membuatnya cemas. Namun, apa yang diamatinya saat belajar di Jakarta membuatnya percaya diri. ”Setelah melihat batik dan banyak daerah di Indonesia juga memunculkan motif mereka, mengapa tidak Papua yang kaya motif juga memanfaatkannya. Mulai timbul pemikiran, kenapa tidak menyimpan motif-motif khas Papua lewat batik,” kata pemilik galeri batik di kawasan Cigombong, Kelurahan Vim, Distrik Abepura, Kota Jayapura, itu.

Jimmy yakin, dengan cara itu, ia dapat melestarikan motif khas seperti gambar rumput laut, fow atau persekutuan, dan lukisan-lukisan muka perahu yang banyak dimiliki keluarga atau marga di pesisir Papua. Ia ingin generasi Papua pada masa depan tetap dapat memilikinya, mengetahui dari kampung mana motif itu berasal, dan apa maknanya.

Apresiasi warga

Memulai dari keluarga sendiri, dibantu promosi dan publikasi, perlahan-lahan batik Port Numbay yang diawalinya mendapat apresiasi dari warga. Padahal, saat Jimmy mulai memperkenalkan batik dan prosesnya pada 2005 hingga 2007, relasi politik Papua-Jakarta tengah menghangat, terutama terkait isu otonomi khusus yang memicu rasa saling tak percaya makin kuat.

Menurut dia, warga tak melihat batik sebagai bentuk invasi budaya. Sebaliknya, mereka justru meminatinya. Bahkan, satu per satu keluarga datang sambil membawa motif milik mereka untuk dipatrikan lewat malam. ”Ada dari Mamberamo, Fakfak, Nabire, Serui, dan Asmat. Mereka mengatakan ini dari suku ini, tolong dibuatkan batik supaya orang tahu,” kata Jimmy.

Dalam dua-tiga tahun terakhir, permintaan terhadap batik Papua semakin banyak. Peminatnya tak hanya warga Papua, tetapi juga dari luar Papua, membuat Jimmy kewalahan. Sering ia tak punya persediaan batik jadi. Bahkan, batik yang tengah digarap pun kerap telah dibeli sebelum selesai.

Setiap keluarga bangga motif mereka dikenal banyak orang. Riset motif pun kemudian dilakukan untuk memperkaya motif-motif dasar meski proses itu pun tak mudah.

Tak semua keluarga ”rela” menyerahkan motif yang mereka miliki. Mereka harus berembuk dengan anggota keluarga lainnya. Meskipun begitu, banyak juga yang dengan segera membagikan motif khas keluarga mereka.

Dicaplok

Tantangan tak berhenti di situ karena tatkala pasar batik Papua membesar, sejumlah pemilik pabrik batik di Jawa ”mencaploknya”. Mereka mendatangi marga-marga pemilik motif lalu memproduksinya secara massal.

Jimmy menyayangkan itu, karena sebenarnya para pemilik motif dapat melestarikannya dengan cara membuat batik mereka sendiri. ”Sayang, kan? Sekarang ini banyak drop-dropan kain ke penjahit di pinggir jalan. Kain-kain itu didatangkan dari Makassar atau Jawa,” kata Jimmy.

Namun, persaingan yang kian kuat tak menyurutkan usaha batik lokal Papua. Ajakan untuk berpameran terus berdatangan. Salah satunya dari kantor Wali Kota Jayapura yang memesan sejumlah batik untuk dibawa ke pameran di Bali. Begitu pula dengan pesanan batik.

Meski ada banyak gerai batik di Jayapura, setiap orang yang berminat dengan batik tulis khas Papua, mereka merujuk pada batik Port Numbay. Salah satunya karena harga yang relatif terjangkau, Rp 750.000-Rp 950.000 per lembar. Karena itu, Jimmy tak khawatir usahanya meredup.

Saat harga-harga bahan dasar menjadi lebih mahal Rp 15.000-Rp 20.000 per kilogram karena semua bahan baku masih diambil dari Jawa, Jimmy mencoba memakluminya. ”Pasar batik Papua memang tengah berkembang,” kata Jimmy ringkas.

Saat ini, Jimmy telah mengembangkan lebih dari 49 motif khas Papua. Motif itu diadopsi dari berbagai lukisan milik sejumlah marga, motif muka perahu, lukisan pada tifa, lukisan pada perisai Asmat, dan motif-motif alam, seperti burung cenderawasih dan buah merah.

Jimmy juga menyediakan galerinya sebagai pusat pelatihan batik bagi warga dari sejumlah kampung di Jayapura atau dari kota-kota lain di Papua. Kegiatan itu sekaligus membuka peluang kerja baru bagi perempuan di Papua, khususnya di bidang usaha ekonomi mikro. Mereka, antara lain, berasal dari Kota Jayapura, Sentani, Paniai, Fakfak, hingga Raja Ampat.

”Biasanya, dalam satu kali pelatihan, kami bisa menerima 50 peserta. Kami mengajarkan cara pembuatan batik tulis beserta dengan menggambar motif-motif khas Papua,” kata Martina.

Martina berharap adanya dukungan Pemerintah Provinsi Papua agar kebudayaan batik tulis khas Papua tetap terjaga dengan gencarnya sosialisasi kepada generasi muda. Dia juga berharap usaha batik tulis Papua mendapat dukungan modal karena telah membuka peluang kerja bagi masyarakat ekonomi menengah bawah seperti dirinya.

”Apabila banyak pembeli, saya bisa mendapat penghasilan hingga Rp 5 juta per bulan. Dengan biaya ini, saya sudah berhasil menyekolahkan anak-anak ke jenjang perguruan tinggi,” kata Martina dengan mata berbinar.

Itulah cara berkesenian baru orang-orang Papua. Mereka kini menyimpan motif khas milik suku masing-masing. Selain pelestarian, mereka mengasah kesabaran sembari menumpukan harapan meraih kehidupan baru.

Batik sendiri sejatinya juga tidak murni seni tekstil yang muncul di Nusantara begitu saja, tetapi dipengaruhi dari negeri lain, terutama India. Dengan begitu, tak ada salahnya juga ketika batik diadopsi oleh daerah mana pun di Indonesia sebagai saluran berkesenian sekalipun tidak memiliki tradisi membatik.

Artikel Lainnya