KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para remaja membatik di sentra batik gedhog di Desa Gaji, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Selasa (2/8).

Batik Tuban

Membangun Optimisme dengan Keunikan * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Langit masih gelap. Waktu baru menunjukkan pukul 04.30, tetapi lima dari 30 kios di sepanjang jalan sempit menuju makam Sunan Bonang sudah beroperasi. Mereka memajang baju dan kain batik, selain berjualan makanan untuk peziarah yang ingin mengisi perut.

Makam Sunan Bonang yang berada di seberang Alun-alun Kabupaten Tuban, Jawa Timur, memang telah lama menjadi salah satu tujuan wisata ziarah.

Kehadiran wisata religi dan batik sudah saling mengait di titik ini. Kompleks Makam Sunan Bonang menjadi etalase yang menonjol untuk menemukan batik lokal. Menurut Wiwik (60), salah satu pemilik kios, kain dan baju batik tulis dan cap berbahan kaus yang harganya terjangkau menjadi suvenir favorit.

Batik yang dijual di sekitar makam Sunan Bonang selama ini dipasok oleh usaha kecil batik di Kabupaten Tuban. Batik merupakan pilar utama industri di wilayah ini bersama dengan pengolahan makanan dan minuman. Menurut catatan BPS Kabupaten Tuban, industri pengolahan telah menyumbang 28,3 persen dari seluruh kegiatan ekonomi Tuban sepanjang 2015. Proporsi ini lebih besar dibandingkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Data Dinas Perekonomian dan Pariwisata Kabupaten Tuban memperlihatkan, saat ini usaha batik Tuban dihidupi oleh lebih dari 900 perajin yang tersebar di enam kecamatan dan memberi pekerjaan kepada 2.086 orang. Nilai investasi pada 2016 ini mencapai Rp 7,03 miliar dengan kapasitas produksi hampir 300.000 lembar kain batik.

Dinamika

Semarak batik Tuban telah mewarnai kabupaten di bagian utara Jawa Timur ini sejak 1970-an. Menurut Karsam, konsultan ahli batik Dinas Perindustrian Jawa Timur, di masa itu usaha batik tulis rumahan di Tuban sudah berkembang, bahkan lebih semarak ketimbang saat ini. Kala itu, perajin batik masih mudah ditemukan di banyak pelosok Tuban. Di Kecamatan Kerek, hanya batik tulis dari tenun gedhog yang diproduksi.

Pertengahan 1980-an, batik tulis tenun gedhog tak hanya dikonsumsi masyarakat lokal Kerek. Pemilik toko batik tulis di pusat kota Tuban mulai mengambil batik tulis tenun gedhog di Pasar Kerek dan memajangnya di toko mereka. Menjelang tahun 1990, kain selain tenun gedhog mulai diperkenalkan dan dipakai untuk membatik. Pada tahun 1990-an, Haji Amat, pengusaha di Kecamatan Widang, mulai menggunakan bahan kaus untuk batik tulis. Inovasi ini diikuti banyak pengusaha di Kerek. Industri batik tulis Tuban mengalami masa puncak sebelum krisis moneter 1998 datang. Saat krisis, permintaan pasar lesu sehingga kegiatan produksi ikut melemah.

Ketika UNESCO mengeluarkan pengakuan resmi terhadap batik pada tahun 2009, usaha batik di Tuban yang meredup mulai bersemi lagi. Usaha batik dengan aneka segmen pasar tumbuh. Setahun kemudian, perajin mulai mengenal batik cap.

Batik cap diminati oleh banyak pengusaha batik berskala kecil. Liswati (32), salah satunya. Bersama suaminya, Liswati menekuni batik cap di Desa Mandirejo, Kecamatan Merakurak. Bermodalkan Rp 10 juta dan dibantu sekitar 10 pegawai, ia mencoba memproduksi batik cap dari bahan kaus.

Liswati memilih batik cap karena hemat waktu dalam proses pengerjaan. Cetakan cap cukup membeli di sekitar Tuban dengan harga lumayan murah, Rp 80.000-Rp 90.000 per cetakan. Saat ini, ia sudah mempekerjakan 25 orang. Dalam satu hari, Liswati dan pekerjanya mampu menghasilkan 500 potong baju, mulai dari baju anak-anak hingga dewasa.

Keunikan

Tuban memiliki keunikan yang tak dimiliki oleh tempat lain. Batik tulis tenun gedhog hanya dihasilkan di Kecamatan Kerek. Batik jenis ini merupakan cerminan masa awal pengembangan batik Nusantara. ”Teknik batik yang pertama itu main di cecek dan garis, bukan main di blok. Ini luar biasa menurut saya,” kata Lintu Tulistyantoro, Ketua Komunitas Batik Jawa Timur.

Buku Lurik, Garis-garis Bertuah oleh Nian S Djoemena tahun 2000 menyatakan, batik tulis dari Tuban memiliki keistimewaan dan keunikan sehingga menarik orang asing untuk menjadikannya cendera mata. Kain batik gedhog dibuat menjadi rompi, topi, tas, dan sebagainya. Dari sisi harga, batik cap dan tulis asal Tuban juga sebenarnya bisa bersaing. Dibandingkan batik dari wilayah lain, harga produk batik Tuban cukup miring.

Keunikan batik tulis tenun gedhog berujung pada segmen pasar yang berbeda. Sebanyak 85 persen pasar batik tulis jenis ini dikirim ke luar Tuban, yakni Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Dari daerah ini, batik bisa jadi kemudian diekspor ke mancanegara.

Dengan kapasitas produksi tenun gedhog mencapai 3.500 potong dan batik tulis tenun gedhog 600 potong per tahun, Nanik Hariningsih (41), pengusaha batik dan tenun gedhog asal Desa Margorejo, Kerek, mengirimkan produknya ke luar Tuban. Hampir semuanya berupa kain. Baru di tangan pelanggan, kain-kain tenun gedhog ini dikreasikan menjadi baju, material interior, hingga tas.

Jejaring

Dari batik, rezeki juga mengalir kepada penyedia alat kerja dan aneka bahan kimia untuk produksi batik tulis dan cap. Salah satunya adalah Afni Riza (30), pemilik Toko Bonang Jaya. Ayahnya menjadi orang pertama yang membuka toko alat produksi batik di Tuban pada tahun 1990-an. Cukup menunggu di toko, pelanggan akan datang sendiri karena minimnya persaingan. ”Pada tahun 2004-2005, omzet sampai Rp 20 juta per hari,” kata Afni.

Saat ini, persaingan makin ketat. Tak kurang 10 pesaing bermunculan. Afni yang kini punya pelanggan sekitar 100 perajin sering mengirimkan alat-alat produksi ke Kecamatan Kerek, Tuban, dan Semanding dengan total transaksi hanya Rp 3 juta per hari. Untuk bertahan, ia bekerja sama dengan pemerintah daerah dan sekolah sebagai pemasok perlengkapan membatik. Pembelian boleh berutang.

Pengusaha batik memperoleh bahan baku batik langsung dari sumbernya di sejumlah kota. Bahan kain dan pewarna kimia didatangkan dari Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Canting, wajan, dan kompor berasal dari Surakarta dan Yogyakarta. Sementara bahan malam, selain dari Surakarta dan Yogyakarta, juga dari Karanganyar dan Pekalongan, Jawa Tengah.

Sementara itu, jejaring pemasaran terjalin hingga ke luar Jawa. Batik cap berbahan kaus dikirim ke sejumlah kota di Jawa Timur, Pulau Madura, hingga Kalimantan. Separuh omzet bulanan Liswati yang mencapai Rp 180 juta berasal dari pengiriman batik cap ke Madura, termasuk batik cap bahan kaus untuk suvenir di Jembatan Suramadu. ”Harga batik cap saya lebih murah daripada yang di Madura,” kata Liswati.

Batik tulis masih disukai penduduk Tuban. Seragam pegawai negeri dan anak sekolah memakai batik tulis karya perajin lokal. Batik dengan motif klasik punya pasar yang sedikit berbeda, yakni penduduk di pinggiran Tuban yang membutuhkannya untuk acara sunatan, pernikahan, dan lain-lain. Batik motif ini laris pada bulan Syawal.

Tantangan

Sayangnya, keistimewaan tenun gedhog belum mampu mengangkat peran Tuban lebih signifikan di kancah perbatikan Nusantara. Motif batik yang dikuasai perajin tak banyak berkembang. Elaborasi dan pengembangan motif baru perlu dibantu kolaborasi dengan desainer berpengalaman.

Kendala pelestarian batik tulis tenun gedhog ada di depan mata. Ketersediaan kain tenun gedhog sangat tergantung pada kapas yang menjadi bahan utama yang lebih banyak menjadi tumpang sari di persawahan. Akibatnya, jika terjadi gagal panen, stok kapas akan berkurang.

Tantangan lain adalah konsistensi produktivitas. Pasalnya, pekerjaan membatik masih menjadi sambilan.

Namun, para pelaku usaha batik optimistis dengan masa depan batik Tuban. Keunikan batik tulis tenun gedhog yang tak dimiliki tempat lain sudah menjadi modal tersendiri. Variasi batik tulis dan cap dalam satu wilayah menjadikan batik di daerah ini kaya warna. Pasar batik tulis dan cap serta harganya yang kompetitif membuat perajin merasa mantap dengan nasib batik Tuban ke depan. (RATNA SRI WIDYASTUTI/SUGIHANDARI/LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Salah satu gerai batik di kawasan wisata religi Maulana Ibrahim Asmoro Qondi, Palang, Tuban, Jawa Timur, Jumat (5/8).

Artikel Lainnya