KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Sarpi, petani sekaligus pembatik, memetik kapas di ladang di Desa Gaji, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kapas itu nantinya akan dipintal menjadi benang sebagai bahan batik gedhog.

Batik Tuban

Sejarah: Kupasan Kapas dan Torehan Biru Nila * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Kapas dan indigo adalah dua hal tak terpisahkan dalam khazanah batik gedhog tuban. Kapas digunakan sebagai bahan baku kain tenun gedhog, sedangkan indigo yang di daerah setempat disebut nilo (nila) hingga kini digunakan sebagai bahan pewarna. Tanaman kapas dan indigo menjadi saksi penderitaan rakyat pada masa tanam paksa.

Diperkirakan, kapas dan indigo sudah ditanam di Tuban, Jawa Timur, setidaknya sejak masa tanam paksa (cultuurstelsel) oleh Belanda yang berlangsung paling tidak pada rentang 1830-1870. Kedua tanaman ini, selain kopi, teh, tebu, dan tembakau, menjadi andalan Belanda untuk diekspor ke pasar dunia. Saat itu, Belanda hampir bangkrut setelah digempur Perang Diponegoro 1825-1830 dan Perang Paderi (1821-1837). Tuban yang kala itu berada di bawah Karesidenan Rembang tak luput menjadi daerah sasaran lokasi tanam paksa.

Robert van Niel dalam bukunya, Sistem Tanam Paksa di Jawa, menyebutkan, tanam paksa yang diperkenalkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan sedikitnya 20 persen lahan desa di 11 karesidenan ditanami komoditas ekspor, seperti tebu, kopi, nila, teh, tembakau, dan kapas.

Hasil panen harus diserahkan kepada Belanda dengan nilai yang telah ditetapkan. Ini dianggap sebagai pembayaran utang pajak tanah desa kepada penguasa. Penduduk yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja 75 hari selama setahun. Dalam praktiknya, sistem ini menciptakan kemiskinan dan kelaparan petani, para pemilik sejati lahan pertanian tersebut. Tidak hanya menanam, petani juga bertanggung jawab hingga proses pasca panen dan pengiriman, seperti indigo yang harus diproses hingga menjadi lempengan-lempengan warna.

Kini, hampir dua abad setelah masa tanam paksa, ladang tanaman kapas sudah jarang ditemukan di Tuban, kecuali di Kecamatan Kerek. Kapas masih kerap ditanam di sana karena masih dibutuhkan sebagai bahan baku benang dan kain tenun.

Kapas diperlakukan sebagai tanaman tumpang sari atau selingan setelah palawija sambil menunggu hujan turun sebelum mulai menanam padi. Tanah Kerek yang kurang subur ditambah sifatnya yang tadah hujan hanya menghasilkan paling banyak dua kali panen padi dan satu masa palawija. Kadang-kadang terjadi masa kosong tanam jika kemarau berlangsung lebih panjang.

Di daerah batik lainnya, seperti Kecamatan Tuban, Palang, Semanding, dan Merakurak, tanaman kapas sudah ditinggalkan. Tanah yang relatif lebih subur di ketiga wilayah tadi memungkinkan ditanami padi sepanjang tahun yang memberi nilai ekonomi lebih tinggi. Para pembatik di sana lebih memilih menggunakan kain keluaran pabrik ketimbang kain tenun gedhog.

Saat ini, luasan lahan kapas pun sebenarnya sudah jauh menyusut sejak berdirinya pabrik-pabrik di Kerek. Bagi juragan tenun, seperti Zaenal Abidin, kebutuhan yang besar mendorongnya mendatangkan kapas dari kota lain, seperti Banyuwangi dan Malang. Produksi utamanya berupa kain tenun alat tenun bukan mesin (ATBM).

Kapas yang kemudian diolah menjadi benang, ditenun menjadi kain, lalu dibatik menjadi ciri khas batik tuban. Di Jawa, hampir tidak ditemukan lagi batik yang dibuat di atas kain tenun tangan yang benangnya dipintal dari kapas yang ditanam sendiri. Produk serupa paling banter berupa batik yang dibuat di atas kain tenun produksi ATBM dari benang pabrikan, seperti yang dibuat di Klaten dan dikenal dengan nama lutik atau lurik batik. Produk ini baru dikembangkan 6-7 tahun terakhir. Sebenarnya, batik lurik sudah lebih dulu dikenal di Tuban.

Tradisi membatik sendiri belum jelas sejak kapan dikenal di Tuban. Namun, jejak motif yang banyak menampilkan pengaruh Tiongkok, seperti motif burung hong atau phoenix, sudah muncul sejak abad ke-13. Satu bukti berupa temuan dari dasar laut Tuban (Laut Jawa), yakni botol porselin bergambar burung hong (fenghuang) berwarna biru putih yang kini disimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.

Botol yang bagian atasnya pecah itu diperkirakan berasal dari Provinsi Jiangxi pada masa Dinasti Yuan. Motif ini dipadu dengan motif bunga peoni. Motif-motif serupa, tetapi digambar pada piring porselin juga terlihat pada pintu gerbang makam Sunan Bonang di Kecamatan Tuban. Motif burung hong atau lok can merupakan salah satu motif paling populer pada batik tuban.

Temuan lain berupa piring celadon dari bahan batu, juga dari dasar laut Tuban, bergambar pasangan burung feng (jantan) dan huang (betina) dari masa Dinasti Yuan abad ke-13.

”Di perairan Tuban banyak ditemukan kapal karam. Beberapa tinggalannya menjadi koleksi museum,” ungkap Rony Firman Firdaus, kurator dan edukator pada Museum Kambang Putih.

Pelabuhan internasional

Menurut Rony, pada abad ke-11, Pelabuhan Kambang Putih sudah menjadi pelabuhan internasional yang menjadi andalan pada masa Kediri, Singosari, lalu Majapahit. Kubilai Khan dan pasukannya, tentara Tar-tar, pernah mendarat di Tuban ketika hendak menyerang Kertanegara dari Kediri pada abad ke-13. Jangkar salah satu kapalnya kini tersimpan di museum. Baru setelah Majapahit runtuh dan Demak jaya, pamor Tuban sebagai pelabuhan besar surut hingga sekarang.

Nama Tuban sendiri muncul pada Prasasti Tuban bertarikh 1277 Caka atau 1355 Masehi yang ditemukan di Desa Bandungrejo, Kecamatan Plumpang, Tuban.

Tinggalan lain yang terkait dengan kain adalah relief pada kusen fragmen Candi Doromukti. Meski detail ukirannya sudah tidak terlalu jelas, masih tergambar sosok tokoh pria yang mengenakan kain sebagai bawahan. Hanya saja, kainnya tidak menampakkan motif.

Artefak lain berupa arca Mahakala yang ditemukan di Desa Caranggantung, Kecamatan Rengel, berupa arca batu perwujudan Dewa Siwa yang mengenakan kain. Ada pula patung dewa mengenakan kain dan tengah duduk bersemedi. Atributnya yang sudah aus menyulitkan identifikasi dewa ini.

Selain di Museum Kambang Putih, batik gedhog juga disimpan di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo. ”Karena posisinya di pesisir, motif yang muncul banyak berkaitan dengan kehidupan pantai, seperti ganggeng, burung sri gunting, dan tanaman waluh. Di Jawa Timur, sebenarnya ada Gresik dan Ponorogo yang juga ditemukan penenun meski tinggal sedikit. Di Tuban, tenun masih bertahan karena dipakai untuk bahan batik,” kata Kepala Seksi Koleksi dan Konservasi Museum Mpu Tantular Sri Edi Tjahyokuntjoro. (SRI REJEKI/M HILMI FAIQ)

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Memintal kapas menjadi benang di Desa Gaji, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Artikel Lainnya