Batik berusia 160 tahun. Terbayang peristiwa apa saja yang telah mengiringi usianya. Keindahan lembaran kain-kain batik itu tak lekang. Di dalamnya tertuang kisah tentang perjuangan, semangat, dan kebanggaan.
Di dalam kotak kaca, terhampar batik berusia 160 milik Uswatun Hasanah bermotif kembang setaman. Batik dengan warna indigo itu terlihat cemerlang. Beberapa bagian yang mulai menguning seolah menunjukkan usia batik yang panjang. Ada juga motif benang lawe pintalan berusia 150 tahun. Semua batik ini warisan orangtua Uswatun.
Di rumahnya dia menyimpan sekitar 600 lembar batik berusia 100 tahun. Sebagian dari batik-batik yang disimpan dalam peti itu kini dipajang manis di Bentara Budaya Jakarta, tempat pameran batik Selisik Batik Pesisir yang diselenggarakan harian Kompas dan Bentara Budaya Jakarta, 4-9 Oktober. Setelah sekian lama menumpuk di peti, batik-batik itu menyapa pengunjung pameran.
Ada kain batik dari tiga daerah yang menjadi sorotan utama pameran, yakni Madura, Tuban, dan Bengkulu. Koleksi dari Pulau Madura yang dipamerkan berjumlah sekitar 40 lembar, koleksi Ketua Komunitas Batik Jawa Timur (Kibas) Lintu Tulistyantoro. Lintu sengaja mengumpulkan batik-batik tua langka dari Pulau Madura yang saat ini sudah sangat jarang diproduksi pembatik di pulau tersebut.
Salah satu batik langka yang dipamerkan adalah batik lurup asal Kabupaten Pamekasan, yang biasanya dipakai untuk penutup mayat. ”Batik lurup ini sebelumnya dimiliki tiga generasi sebuah keluarga di Pamekasan. Umur kain bisa sekitar 100 tahun,” ujar Lintu.
Ada pula selendang gedong bayi dari Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan, yang biasanya dibuat nenek untuk diwariskan kepada cucu-cucunya. Motif batik selendang ini disebut bangompay dengan teknik kuno duri. Motif batik langka lainnya adalah batik tongcentong atau batik bektebek dan kembang gadung.
Selain kain tua koleksi Museum Negeri Provinsi Bengkulu, batik bengkulu yang ditampilkan merupakan motif kreasi baru. Salah satu yang mencolok adalah batik karya Dudung Alie Syahbana berupa kain batik sepanjang 5 meter warna hitam putih. Di sana tertoreh naskah Gurindam XII dalam huruf Arab. ”Pengerjaannya sekitar 3 bulan,” kata Lily Martiani, istri Gubernur Bengkulu.
Rebutan di pasar batik
Beberapa batik dari 18 wilayah yang diliput Tim Selisik Batik Kompas juga ditampilkan dengan anggun oleh Putra Putri Batik Nusantara. Mereka membalutkan kain batik motif tase melajhe (Madura), papringan (Banyumas), sido luhur (Klaten), gajah oling (Banyuwangi), tiga negeri (Lasem), cupat manggu (Garut), panji ori (Tuban), pelo ati (Batang), pangko burung (Cirebon), dan besurek (Bengkulu) sehingga terlihat anggun dan modern.
Batik-batik yang berusia 100 tahun bersanding dengan batik yang baru seumur jagung. Mereka sama-sama menarik. Mereka beradu cantik.
Sesaat seusai acara pembukaan, para undangan menyerbu pasar batik tempat para pembatik dari sejumlah daerah menjajakan dagangannya. Di antaranya terlihat para desainer kondang, yakni Edward Hutabarat, Susan Budiardjo, Musa Widyatmodjo, Didiet Maulana, Iwet Ramadhan, serta sastrawan Agus Noor. Para undangan seolah tak sabar untuk mendapatkan batik terbaik. Dalam hitungan menit, sebagian telah antre di kasir untuk menebus bon pembelian dan sebagian lainnya tenggelam dalam pilihan batik yang demikian beragam.
”Ini sudah laku sembilan. Masih ada beberapa yang sudah ditandai. Besok mau dibayar,” kata Sari (42), seorang perajin dengan semringah.
Salah satu yang kalap membeli batik adalah Ibu Tumbu Ramelan, kolektor batik, yang beberapa kali membolak-balik batik tiga negeri dari Batang, Jawa Tengah. Beberapa kali, Ibu Tumbu yang ditemani suaminya sempat berdiskusi tentang lembaran batik yang ternyata juga sama-sama diincar oleh Edward dan Didiet. ”Saya enggak kuat iman lihat batik,” kelakar Ibu Tumbu.
Gerakan membanggakan
Dalam sambutannya pada pembukaan Pameran dan Pasar Batik Selisik Batik Pesisir, Selasa (4/10) malam, mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mengatakan, dalam 10 tahun terakhir telah terjadi gerakan yang membuat orang Indonesia, bahkan anak muda sekalipun yang semula enggan memakai batik, mengenakan batik dengan bangga.
”Artinya tercipta nilai tambah yang menggerakkan sektor batik di mana-mana,” kata Mari, yang malam itu mengenakan batik besurek khas Bengkulu.
Berdasarkan data yang dia himpun, Mari memaparkan, ada 916.783 orang yang tergerak kehidupannya karena batik. Nilainya mencapai Rp 5 triliun.
”Dari batik ini berkembang suatu pekerjaan sektor kreatif. Itulah sebabnya, kita jangan lagi memakai kata pekerja kepada para pembatik karena karya mereka tidak dihitung berdasarkan upah per jam, tetapi nilai seninya,” tutur Mari.
Pameran dibuka oleh Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti yang mengatakan bahwa batik besurek kini menjadi semacam pintu gerbang bagi provinsinya agar semakin dikenal. Menurut dia, selama ini Bengkulu masih tertinggal dibandingkan banyak wilayah di Indonesia dan belum menjadi tujuan wisata.
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy menegaskan, batik dari 18 wilayah yang diliput dalam Selisik Batik tidak melulu soal filosofi, patron, dan budaya adiluhung, tetapi juga cerita tentang akulturasi antarbangsa. Dari 18 daerah itu, ada sejumlah daerah, seperti Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Banyumas, yang seperti tidak tersentuh gairah atas gegap gempita warisan budaya ini.
”Pameran ini terdiri atas karya jurnalistik di media cetak, video, dan konten digital. Kami harapkan gemanya membuat masyarakat paham dan cinta batik,” ujarnya.
Kegiatan lain yang digelar dalam rangkaian Selisik Batik Pesisir adalah bincang-bincang ”Memberdayakan Batik dari Tradisi Menjadi Industri”, Bedah Selisik Batik dan nonton bareng film dokumenter Selisik Batik, Rabu (5/10). Selanjutnya ada lokakarya membatik pada Sabtu (8/10). (WKM/MHF/FRO)