Batik dari tanah Priangan adalah simbol daya hidup dan keuletan. Pernah mengantarkan Priangan menuju kejayaan, tetapi nyaris lenyap digulung serbuan tekstil motif batik. Meski demikian, generasi penerusnya tetap keras kepala mempertahankan eksistensi batik dari gigitan kepunahan.
Hampir setengah abad setelah keruntuhan batik di Ciamis, daya hidup dan keuletan kini kembali muncul dari sebuah sudut tak terlihat di Ciamis, Jawa Barat. Di sebuah tempat pembuatan batik di kompleks Koperasi Rukun Batik di Jalan Raya Ciamis, pembatik berjibaku demi kebangkitan batik.
Di sana, ada Jojoh (49), warga Sindangsari, yang bersama tiga orang lainnya, khusyuk membatik ditemani dakwah ustazah lewat siaran radio lokal. Panas dan kepulan asap pembakaran malam membuat keringat menetes tanpa henti, tetapi tak pernah menghentikan semangat mereka.
Bagi Jojoh dan kawan-kawannya, apabila batik ciamis menggeliat, maka tak hanya kembali menghidupkan tradisi, itu juga berarti harapan bagi penghidupan yang lebih baik. ”Saya tak paham sejarah batik ciamis. Saya dan teman-teman baru belajar membatik enam tahun lalu dibantu Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB),” kata Jojoh, pertengahan April lalu.
Bagi Jojoh, awalnya sangat sulit karena ia belum sekali pun memegang canting. Tetesan malam kerap membakar kulitnya. ”Saya pernah kerja di pabrik sepatu di Tangerang. Setelah suami meninggal, saya pulang kampung, tetapi tak punya pekerjaan. Sekarang batik satu-satunya pendapatan saya,” katanya.
Rohimah (45) juga belum lama belajar membatik. Karena itu, batik buatannya masih jauh dari sempurna. Ia menunjukkan garis malam yang keluar jalur dari motif merak ngibing yang ia buat. ”Belum terlalu ahli. Kualitasnya jauh dibandingkan batik yang dibuat di Bandung,” katanya.
Di Koperasi Rukun Batik, tumpukan batik itu menanti pembeli. Jumlahnya terbatas dengan motif seperti galuh pakuan, parang sontak, barong, dan pisang bali. Warna setiap motif belum terlalu banyak, dengan pengerjaan yang belum sempurna.
Di Toko Alya Busana, satu-satunya toko yang menerima penitipan pun, batik ciamis ibarat tamu asing di rumah sendiri. Tak banyak pembeli yang melirik. Warga setempat justru lebih tertarik pada batik dari daerah lain.
”Batik ciamis belum lama muncul lagi sehingga masih awam di mata orang Ciamis. Konsumen masih memilih kain motif songket atau batik pekalongan seharga Rp 65.000-Rp 85.000 per helai ketimbang batik tulis ciamisan yang dijual seharga Rp 145.000-Rp 165.000 per helai,” ujar Manajer Alya Busana Asnur Fauzan. Imbauan Pemerintah Kabupaten Ciamis agar aparat pemerintah menggunakan batik tak cukup kuat mengangkat batik ciamisan.
”Harus diakui, secara kualitas dan pilihan warna, pembatik Ciamis kalah bersaing dengan batik asal Pekalongan. Motif batik ciamis kebanyakan berputar pada ciung wanara, galuh pakuan, dan parang sontak dengan pilihan warna yang terbatas. Ini membuat pilihan konsumen terbatas,” katanya.
Seniman tari Ciamis, Rahmayati Nila Kusumah, merasakan keterbatasan itu saat membutuhkan batik berwarna terang untuk melengkapi kreasi tari kele, tarian selamatan air di Ciamis karyanya. Karena tidak tersedia warna cerah, ia akhirnya membeli batik cetak yang variasi warnanya lebih banyak.
Persaingan
Persaingan itu seperti mengulang peristiwa 25 tahun lalu. Saat itu, batik tulis dan batik cap ciamisan dipaksa ”bertarung” dengan serbuan modal besar lewat kedatangan tekstil motif batik dari Tiongkok atau yang sengaja dibuat di Jakarta.
Akibatnya sungguh mematikan. Banyak pembatik gulung tikar, sebagian beralih ke printing. Padahal, seperti disebut dalam buku The Dancing Peacock, Colours and Motifs of Priangan Batik, pada masa jayanya tahun 1960-an hingga awal 1980, di Ciamis terdapat sekitar 1.200 perajin batik.
Salah satu yang beralih ke printing adalah Otong Kartiman. Otong yang meneruskan pembuatan batik tulis dari orangtuanya tahun 1956 itu, 24 tahun kemudian beralih pada printing. ”Saya ditawari mesin oleh pengusaha batik cetak. Saya terima karena ingin mempertahankan motif batik ciamisan,” katanya.
Hingga pertengahan 2000, Otong berhasil menjaga motif ciamisan tetap eksis. Saat itu, produksi perusahaan Otong mencapai 250 kodi (5.000 potong) kain batik per hari. Omzetnya Rp 75 juta-Rp 150 juta per hari.
Sayang, setelah berpuluh tahun, mesin itu kini tak lagi berproduksi sebab pasar batik cetak pun tak lagi menjanjikan. Otong terpaksa jatuh bangun mempertahankan usahanya. ”Saya rindu batik ciamisan berjaya lagi,” katanya.
Maryamah (73), mantan pembatik dari Cikoneng, menyimpan kerinduan yang sama. ”Dulu ayah, Haji Marzuki, pembuat batik. Di rumah itu dari pagi hingga malam selalu ada yang membatik,” kata Maryamah menunjuk rumah berdinding tebal tak jauh dari tempatnya berdiri.
Kini, sisa kejayaan batik ciamis itu teronggok di antara kebun dan kolam ikan di halaman belakang rumah. Tempat melukis batik hanya tersisa fondasinya. Kolam bekas pencucian menjadi kolam ikan dan tempat menyimpan batik menjadi pot yang ditumbuhi pohon besar.
Optimistis
Pengurus harian YBJB, Komarudin Kudiya, mengutarakan, dibandingkan Tasikmalaya dan Garut, apalagi Cirebon, perbatikan di Ciamis paling memprihatinkan. Ibarat mati segan hidup tak mau. Padahal, Ciamis memiliki jejak panjang kejayaan batik.
”Tahun 1960-1980-an, batik ciamis masih bagus ragam hiasnya dengan teknik tulis. Perajinnya juga banyak. Menjelang 1980-1990-an, pembatik beralih dari tulis menjadi cap. Ketika menjadi printing, kondisinya berubah drastis. Hingga kini Ciamis tak ada suaranya karena perajin habis dan sulit sekali lakukan revitalisasi,” ujar Komar.
Namun, Komar optimistis. Banyak hal bisa dilakukan, asal ada kemauan kuat untuk mempertahankan tradisi membatik di Ciamis. Selain dari sisi kreativitas dan inovasi, Komar mengatakan, peran dan dukungan pemerintah untuk mengangkat kembali batik ciamis. ”Jangan sampai printing sudah tak ada, batik ciamis tetap tergerus,” ujarnya.
Tekad untuk mengembalikan kejayaan batik ciamis itu kini juga berada di pundak Ketua Koperasi Rukun Batik Ciamis, Toha. Bersama Jojoh, Rohimah, dan perajin lain, Toha berupaya agar batik ciamis hidup kembali. ”Meski sulit, kami tak ingin batik ciamis punah,” tuturnya.
Seniman dan budayawan Ciamis, Godi Suwarna, menambahkan, masyarakat Ciamis sejatinya teruji benar mengembalikan ingatan sejarah. ”Mulai kesenian bebegig yang dilupakan lalu jadi juara nasional, hingga ayam sentul dan sapi rancah, hewan plasma nutfah asli Ciamis yang hampir punah, tapi kini mengisi ceruk ekonomi masyarakat,” katanya.
Api kecil dari Ciamis semoga terus menyala. Seperti harapan yang disemaikan Godi melalui Sajak Samping Kebat (Sajak Kain Batik)-nya. Kebat lalampah samping/Ngajaring dapuran kembang/Ngabandung nu ngesang jeung cimataan/Milu imut jeung nyegruk silihbaganti (Berlanjutlah perjalanan kain batik/Menumbuhkan perdu kembang/Menyaksikan keringat dan air mata/Ikut senyum dan nangis silih berganti).