KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para ibu rumah tangga yang tergabung dalam Jamaah Rifa’iyah menyelesaikan pembuatan batik tulis di Desa Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Jumat (1/4). Batik rifa’iyah merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda pada masa penjajahan.

Batik Batang-Pekalongan

Selisik Batik Batang: Perlawanan Lewat Selembar Batik * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Khazanah batik batang menyimpan energi perlawanan yang menggelora sejak zaman penjajahan Belanda. Perlawanan itu paling kentara terangkum dalam batik rifa’iyah. Para pengikutnya memelihara tradisi konsolidasi lewat batik yang bertahan hingga sekarang.

Lembute rambut pinoro pitu

Landepe pitung pinyukur tamtu

Ngisore iku jahanam kang mulat mulat

Yen ora rikat mesti njur kedilat

Wong urip neng ndonyo mung sedelo

Seng suwe mbesuk no alam baqo

Elingo pati iku bakale teko

Yen wes teko ra keno semoyo.

Begitu nukilan syair berbahasa Jawa yang ditembangkan Miftakhutin (38) bersama adiknya, Maslikha (36), saat membatik di rumah mereka di Desa Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Syair itu berisi gambaran tentang alam sesudah mati. Sarat ajaran moral soal pentingnya berbuat baik kepada sesama sebagai bekal di kehidupan selanjutnya. Sebab, hidup di dunia hanya sesaat, yang bakal lama kelak di alam baka. Kematian pasti datang dan tak bisa ditunda.

Syair-syair itu ditembangkan para pembatik rifa’iyah setiap mereka membatik. Dengan cara itu, membatik bukan hanya menyelesaikan pesanan atau menggambar motif, melainkan mendalami ajaran agama. Membatik menjelma menjadi aktivitas sarat makna, bahkan mendekati sakral karena pada saat itu mereka lebih banyak mengingat Tuhan, mendalami nilai-nilai kemanusiaan.

Syekh Rifa’i

Utin, panggilan akrab Miftakhutin, belajar membatik sejak usia delapan tahun yang pada saat itu juga belajar mendalami ilmu agama. Pelajaran agama itu banyak ditulis dalam bentuk nadhom atau syair oleh Syekh Ahmad Rifa’i, ulama panutan kelompok Rifa’iyah, yang telah menghasilkan 64 judul buku dan 500-an artikel pendek. Para siswa kala itu kerap diberi tugas menghafal syair. Ketika membatik, mereka pun terus menghafal sehingga menjadi kebiasaan.

Dalam konteks lain, menghafal syair saat membatik juga sebagai wujud perlawanan kaum pribumi terhadap Belanda pada masa pra-kemerdekaan. Sebab, saat itu, kelompok Rifa’iyah menjadi salah satu kelompok yang dilarang Belanda.

Adalah Syekh Ahmad Rifa’i, ulama kelahiran Kendal, Jawa Tengah, tahun 1786, yang pernah belajar Islam di Mekkah dan Mesir selama 20-an tahun dan kemudian membangun pesantren di Jawa. Selain menulis kitab-kitab ajaran Islam, dia juga gemar membuat syair. Kitab dan syairnya banyak menyiratkan perlawanan terhadap kolonialisme sehingga Belanda geram.

Mukmin adil milih anger tinemu merdeka ketimbang ngawulah ing wong durhoko. Mukmin bungkuk luwih utomo nandur jagung tinimbang mukmin bengkuk ngawulo tumenggung. Begitu ajaran Syekh Ahmad Rifa’i,” kata Ketua I Pengurus Pusat Rifa’iyah KH Ali Nahri (68) menjelaskan tentang pilihan hidup susah, tetapi merdeka; daripada hidup makmur, tetapi tunduk kepada penguasa zalim.

Oleh karena keberaniannya melawan Belanda, dia diasingkan ke Kali Salak, Limpung, Batang, yang kala itu masih berupa hutan dan sangat sepi. Di sana, Rifa’i meneruskan perjuangan membangun pesantren sembari menyemai semangat perlawanan. Belanda geram dan kembali membuangnya ke luar Jawa pada 1869. Pesantrennya diacak-acak dan banyak santrinya pulang.

Salah satunya adalah Ilham yang pulang ke Kalipucang. Dia melihat banyak orang di sana membatik. Dia lalu berinisiatif membatik dengan memasukkan ajaran-ajaran Syekh Rifa’i ke dalam motif-motif tersebut, seperti pelo ati yang bermakna bahwa manusia itu harus menjaga kebersihan hati dan membuang sifat-sifat buruk. Tradisi yang dikembangkan Ilham inilah yang kemudian diikuti Utin dan pembatik rifa’iyah lainnya sembari melanggengkan ajaran Kiai Rifa’i.

Penanda

Ada banyak motif rifa’iyah, tetapi hanya 24 jenis yang masih diingat dan sering dibuat. Ciri khas motif rifa’iyah adalah memisah kepala dengan tubuh saat penggambaran makhluk hidup berupa hewan. Motif-motif ini beredar terbatas di kalangan Rifa’iyah dengan pola distribusi yang unik.

Biasanya, pembatik Rifa’iyah membawa kain batik jadi saat mengikuti pengajian ke daerah lain, seperti Cirebon atau Demak. Di sana, mereka menjual batik sembari menimba ilmu. Tradisi ini mempererat hubungan antar-pengikut Rifa’iyah. Konsolidasi organisasi pun semakin kokoh berkat batik.

Batik rifa’iyah juga menjadi penanda. Ketika berada di pasar atau tempat baru, Utin kerap mengamati batik yang digunakan orang. Ketika menemui kain batik rifa’iyah dikenakan seseorang, Utin tak segan menyapanya. Dari situ, mereka kemudian saling kenal dan akrab, irisannya jelas, ajaran Rifa’iyah dan batik rifa’iyah.

Itu juga dialami pembatik rifa’iyah lainnya, Umriyah (72), yang lebih dikenal dengan panggilan Mak Sium di Desa Kalipucang Wetan. Dia membatik sejak belia. Kesibukan lainnya adalah ke sawah. Seperti siang itu, dia mereda di tengah sawah dan kemudian pulang ketika kami datang. Mak Sium lalu membatik beberapa pesanan.

Pembatik yang masih segar di usia senja ini tergolong unik karena mampu menyulap sketsa-sketsa sederhana pemberian pelanggan menjadi motif batik yang menarik. ”Saya tidak mencatat, hanya melihat gambarnya sekilas saja,” kata Mak Sium yang menjadikan batik sebagai salah satu sumber nafkah.

Seperti halnya Mak Sium, Utin pun menjadikan batik sebagai sumber penghasilan meskipun sebenarnya tidak begitu menjanjikan. Satu batik tulis rifa’iyah bisa sampai tiga bulan baru rampung dengan harga jual Rp 1 juta-Rp 1,7 juta per potong. Itu dialami juga oleh pembatik selain pembatik rifa’iyah.

Sebutlah Dainah (75) yang tinggal di Dusun Boresan, Desa Karangasem, Kecamatan Batang. Dia hidup di rumah sederhana dengan listrik menumpang tetangga. Dainah membatik sejak kecil dengan motif klasik, seperti materos, boketan, pisan bali, dan sekar jagad. ”Kalau laku, ya, dijual. Kalau enggak, ya, disimpan saja,” katanya ringan.

Dainah menyimpan belasan batik lawas yang berusia 15-25 tahun. Batik-batik yang masuk kategori batik tiga negeri ini tidak ia jual betapapun butuh uang karena kain-kain ini menjadi pegangannya dalam membatik. Jika ada yang berminat, dia akan membuatkan replikanya yang jadi dalam waktu 1-2 bulan karena memang rumit memproduksi batik tulis dengan motif itu. Selain itu, semua dikerjakan sendiri, mulai dari sketsa, membatik, mewarnai, sampai ngrolod. ”Hasilnya tidak banyak. Sehari paling dapat Rp 10.000. Yang penting hati senang, he-he-he,” kata Dainah, yang menjual kain batik tulis buatannya Rp 700.000 per lembar.

Begitulah kisah-kisah lembaran batik. Jika dahulu batik-batik rifa’iyah bertahan melawan kolonialisme, pembatik-pembatik seperti Dainah kini bertahan melawan nasib. (MOHAMMAD HILMI FAIQ/SRI REJEKI)

Artikel Lainnya