KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Arca Sri Vasudhara yang tersimpan di Museum Jawa Tengah Ronggowarsito, Semarang, diperkirakan berasal dari abad ke-9 Masehi.

Batik Batang-Pekalongan

Batik Batang dalam Lintasan Waktu * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Belum dapat dipastikan kapan batik mulai dikenal di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Namun, jejak ragam hias sebagai salah satu produk seni sudah ditemukan di Batang sejak masa pra-Hindu Buddha. Ada puluhan artefak kuno yang ditemukan sebagai petunjuk adanya kebudayaan dan peradaban pada masa Batang kuno.

Ragam hias, di antaranya motif gringsing ditemukan pada arca Sri Vasudhara yang kini disimpan di Museum Jawa Tengah Ronggowarsito, Semarang. Arca yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 Masehi ini ditemukan di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang. Perwujudannya berupa dewi memegang untaian padi dan duduk di atas alas bermotif gringsing.

”Sri Vasudhara adalah cakti atau istri dari Dewa Wisnu yang menjadi lambang kemakmuran seperti halnya dewi padi yang dikenal di Jawa,” kata Laela Nurhayati Dewi, arkeolog dari Museum Jawa Tengah Ronggowarsito.

Meski gringsing sejak lama dikenal sebagai motif batik di Batang, di Kecamatan Gringsing saat ini tidak ditemukan pembatik. Motif gringsing juga dikenal di beberapa daerah pesisir lainnya, seperti Pekalongan, Semarang, dan Tuban. Termasuk juga dalam khazanah batik mataraman dan tenun dobel ikat di Tenganan, Bali, yang dikenal dengan tenun gringsing.

Belum dapat dipastikan apakah ornamen gringsing pada arca Sri Vasudhara mengacu pada kain batik. Namun, GP Rouffaer dan HH Juynboll dalam bukunya De Batik-Kunst In Nederlandasch-Indie En Haar Geschiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda dan Perkembangannya) terbitan 1914 menyebutkan, pola gringsing kemungkinan dibuat oleh canting. Keduanya mengacu pada kitab Pararaton yang mengisahkan pada tahun 1275 Raden Wijaya pernah membagikan celana (lancingan) batik gringsing kepada para prajuritnya sebelum pergi menyerang Daha.

Raden Wijaya, raja Majapahit pertama, digambarkan mengenakan kain beragam hias kawung pada arca di Candi Ngrimbi, Jawa Timur. Kain ini bisa saja dibuat dengan teknik lukis, prada, sungkit, atau batik. Namun, melihat motifnya yang halus dan detail, diperkirakan corak ini dibuat dengan teknik batik. Dengan demikian, teknik batik dengan canting sudah berkembang di masa itu.

Jejak peradaban dan interaksi dengan kebudayaan asing di Batang setidaknya sudah ada sejak abad ke-7 Masehi dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban. Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno dan berhuruf Pallawa serta menyebut tokoh bernama Dapunta Syailendra. Boechari, arkeolog dari Universitas Indonesia yang pernah meneliti prasasti ini, menyebutkan, Syailendra adalah pendiri Wangsa Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

”Jika Jateng dan Yogya disepakati sebagai pusat pertumbuhan peradaban Mataram kuno, Batang sebagai awal pertumbuhan Mataram Kuno. Dinamika kebudayaan Batang kuno berlangsung mulai dari masa pra-Hindu, transisi ke masa Hindu hingga masa kejayaan Mataram Kuno dari abad ke-8 hingga ke-10,” kata Sugeng Riyanto, arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta.

Pengaruh

Berdasarkan pengaruh dan ciri khas warna, batik di Batang dapat dibedakan menjadi batik batangan, yakni batang dengan warna soga atau coklat yang merupakan hasil pengaruh dari Mataram. Dikenal pula batik tiga negeri, yakni batik dengan warna-warna merah, biru, dan soga serta batik rifa’iyah, yakni batik tiga negeri dengan motif hewan yang bagian kepala terpisah dari tubuhnya.

”Batik batangan mendapat pengaruh dari batik mataram atau batik yogya dan batik solo. Ini terlihat pada motif dan warna coklat soganya. Namun, warna soga batik batang jauh lebih gelap atau pekat dibandingkan soga solo atau yogya. Demikian juga untuk motif yang menunjukkan percampuran antara mataraman dan pesisiran,” kata Kwan Hwie Liong atau William Kwan, penulis buku Batik Batang Sogan dan Pesisiran.

Pada tahun 1620, Batang bersama kota-kota lain di pantai utara berada di bawah Kerajaan Mataram pimpinan Sultan Agung. Wilayah pantai utara menjadi pertahanan terpenting Mataram yang pusat pemerintahannya berada di pedalaman. Daerah pertahanan ini digunakan sebagai basis untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dan nantinya menghadapi VOC.

Untuk memastikan kepatuhan terhadap Mataram, pengisi posisi Bupati Batang diambilkan dari pejabat Mataram. Bahkan, salah satu istri Sultan Agung adalah putri dari Adipati Batang yang disebut Ratu Wetan. Dari cucu Ki Juru Martani ini, Sultan Agung beroleh anak yang diberi nama Amangkurat Hagung (Amangkurat I).

Pengaruh juga datang lewat Perang Diponegoro. Kekalahan dalam Perang Diponegoro (1825-1830) memaksa kerabat, prajurit, dan para pengikut Pangeran Diponegoro meninggalkan keraton dan menyebar ke barat dan timur. Dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Beta Paramita, dalam tulisannya The Spread of Urban Lay-Out in Pekalongan, menyebutkan, penyebaran ini berkontribusi pada pertumbuhan batik di luar tembok keraton dan menyentuh daerah-daerah baru, seperti Pekalongan, Banyumas, Ponorogo, dan Tulungagung.

Batik tiga negeri batang menampakkan pengaruh batik pesisiran, seperti Pekalongan dan Lasem. Daerah-daerah di Batang yang kini masih ditemukan batik tiga negeri lokasinya berdekatan dengan wilayah Pekalongan. Meski begitu, batik tiga negeri batang menunjukkan warna yang lebih kuat, tegas, dan lebih tua dibandingkan dengan warna batik tiga negeri dari daerah lainnya. Meski disebut tiga negeri, kini semua proses pewarnaan dilakukan di daerah sendiri, tidak lagi di tiga daerah.

Simpang siur

Sejarah batik tiga negeri masih simpang-siur. Inger McCabe Elliott dalam bukunya Batik Fabled Cloth of Java memperkirakan batik dua negeri dan tiga negeri sudah dibuat 50 tahun sebelum Perang Dunia II dimulai atau sekitar tahun 1889. Namun, ia menduga batik tiga negeri berawal dari Lasem dengan pewarnaan di Lasem (merah), Kudus (biru), dan Yogyakarta (soga). Sementara batik dua negeri berasal dari Pekalongan yang diwarnai di Pekalongan (merah) dan Solo (soga). Sumber lain menyebutkan, batik tiga negeri dicetuskan oleh Tjoa Giok Tjoam dari Solo pada 1910. Batik diwarnai di Lasem (merah), Pekalongan (biru), dan Solo (coklat).

Batik rifa’iyah dikenal di kalangan jemaah rifa’iyah, yakni pengikut Syekh Ahmad Rifa’i. Namun, Kiai Rifa’i, yang meninggal tahun 1870 di pengasingan, tidak diketahui pernah menyebut tentang motif batik. Batik rifa’iyah diperkirakan berkembang setelah meninggalnya Kiai Rifa’i dengan pusat di Kalipucang.

Tradisi membatik diperkirakan sudah ada sebelum atau pada masa awal warga mengenal ajaran rifa’iyah, seperti diungkapkan Miftakhutin (38), tokoh batik rifa’iyah di Kalipucang.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pengunjung menyaksikan aneka batik mataraman yang dipamerkan di Museum Batik Pekalongan, Selasa (29/3). Batik batangan dengan warna soga atau coklat merupakan hasil pengaruh dari Mataram.

Artikel Lainnya