KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para mantan buruh migran menyeleksi kain batik yang siap dipasarkan di Desa Papringan, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (12/5).

Batik Banyumas-Cilacap-Banjarnegara

Selisik Batik: Keindahan di Kantong Buruh Migran * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Menjadi pembatik di wilayah eks Karesidenan Banyumas adalah jalan terakhir. Banyak perempuan muda memilih merantau ketimbang menjadi pembatik. Setelah letih dimakan usia dan menua, barulah mereka kembali melirik batik. Batik tak memberi harapan. Lantaran itulah, mereka memilih menjadi buruh migran.

Sesungguhnya batik secara turun-temurun menjadi bagian dari irama napas keseharian di pedesaan banyumasan. Rominah (44) pernah merantau ke Pulau Pinang, Malaysia, sebelum kembali menekuni profesi lama sebagai pembatik di Desa Papringan, Banyumas. Kala itu, krisis ekonomi sedang berkecamuk dan berimbas pada kehidupan rumah tangganya. Meski takut, ia memilih meninggalkan batik, lalu bekerja sebagai pekerja rumah tangga selama dua tahun di negeri tetangga.

Ketika ditemui di Galeri Kelompok Usaha Bersama (KUB) Pringmas di Desa Papringan, Banyumas, yang dikelola sesama warga desa dengan bantuan modal awal dari Bank Indonesia, Rominah sibuk menjemur lembaran batik yang baru saja diwarnai. Ia menjemur batik bersama Soimah (39) dan Naryuti (35) yang kini juga membatik. Sebelumnya, mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia, Singapura, dan Hongkong.

”Saya belajar membatik dari SD. Sudah tamat SD, jadi pembantu ke Bandung. Selanjutnya, saya menikah, lalu punya anak. Setelah anak masuk taman kanak-kanak, baru pergi ke Malaysia,” kata Rominah.

Soimah juga memilih menjadi pekerja rumah tangga di Malaysia selama dua tahun karena terbelit kesulitan ekonomi. Ia sudah belajar membatik sejak usia 10 tahun, tetapi membatik tak sanggup memenuhi aneka kebutuhan keluarga, terutama biaya sekolah anak. ”Habis kontrak, kangen sama keluarga. Sejak itu, tinggal di rumah. Suami juga enggak mengizinkan pergi jadi TKI lagi. Di sana rumah mewah, tetapi bukan rumah sendiri,” katanya.

Jika Rominah dan Soimah sudah belajar membatik turun-temurun dari kecil, Naryuti mulai membatik setelah pulang dari perantauan lima tahun ke Singapura dan dua tahun di Hongkong. Ia merantau ke Singapura sejak sebelum menikah, lalu kembali bekerja sebagai buruh migran di Hongkong setelah anaknya berusia 2 tahun. ”Anak enggak ada yang urus. Pulang dari Hongkong langsung belajar membatik. Enggak ada kerjaan lain. Lumayan buat jajan anak,” katanya.

Di Jawa Tengah, wilayah eks Karesidenan Banyumas, di antaranya Cilacap, Banjarnegara, dan Banyumas, menjadi daerah pemasok terbesar tenaga kerja Indonesia (TKI). Dari data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI terlihat bahwa pada periode 2013-2015, Cilacap memberangkatkan 44.358 TKI, Banjarnegara (4.182 TKI), dan 16.004 TKI dari Banyumas.

Budaya pengobeng

Upah membatik memang tak bisa disetarakan dengan pendapatan sebagai buruh migran. Gaji bersih buruh migran di Hongkong bisa mencapai Rp 6 juta per bulan. Bandingkan dengan hasil penjualan batik yang rata-rata Rp 400.000-Rp 500.000 per bulan per orang di KUB Pringmas. Hasil menjual batik di galeri batik Pringmas ini sedikit lebih besar dibandingkan jika mereka menjadi pengobeng atau buruh batik dengan pendapatan Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan.

Sebagai pengobeng dengan seluruh bahan baku dari juragan, Rominah dan sekitar 300 pembatik di Desa Papringan mampu menyelesaikan 10 lembar batik per pekan. Hasil kerja keras mereka dihargai Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per lembar batik kasar. Batik halus dihargai Rp 40.000-Rp 50.000 yang setiap lembarnya bisa diselesaikan dalam 2-3 hari. ”Membatik masih tetap sambilan. Kadang nandur (menanam) padi, panen jagung. Kalau sudah enggak ada pekerjaan di ladang, baru membatik,” ujar Rominah.

Dengan kehadiran KUB Pringmas sejak 2013, pembatik seperti Rominah bisa langsung menjual batik kepada konsumen. Iin Susiningsih, yang menjadi pembatik generasi kelima di keluarga suaminya, bahkan sudah mulai berkreasi membuat motif baru sendiri. Sempat merantau selama sepuluh tahun sebagai pengasuh anak di Jakarta lalu menjadi pengobeng di beberapa juragan, Iin kini menjadi Wakil Ketua KUB Pringmas.

Selain dijual di galeri, batik-batik karya pembatik di KUB Pringmas juga dipromosikan lewat media sosial dan dibawa merantau para buruh migran ke luar negeri. Lewat tangan mereka pula, mereka berusaha memperluas pasar batik Banyumas. ”Ada yang dibawa ke Hongkong, lalu dijual dan dipamerkan di sana,” kata Sri Subarkah, Sekretaris KUB Pringmas.

Jika pembatik di Papringan berusaha mandiri lepas dari tradisi mengobeng, beberapa pembatik lain, seperti Nadem (43), setia bekerja sebagai pengobeng selepas pulang merantau. Dengan penghasilan Rp 37.500 per hari, Nadem membatik di Perusahaan Batik milik Hadiprijanto di Banyumas. ”Saya membatik dari SD. Di desa saya, tinggal saya satu-satunya yang membatik. Pada malas meski semua bisa membatik,” kata Nadem yang pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Selangor, Malaysia, pada 2004-2006.

Hasil bekerja sebagai buruh migran itu antara lain digunakan untuk menyekolahkan putrinya yang kini baru saja lulus SMA. ”Anak saya enggak mau belajar membatik. Pengin berangkat kerja jadi TKI, tetapi belum boleh sama bapaknya,” ujar Nadem.

Dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Tanto Sukardi, dalam buku Tanam Paksa di Banyumas menyebut wilayah Karesidenan Banyumas dengan lahan pertanian yang subur, bukan hanya berfungsi sebagai basis ekonomi, melainkan juga menjadi basis tenaga kerja. Sejak masa kerajaan, penduduk pedesaan Banyumas sudah mengenal berbagai bentuk kerja wajib. Bahkan, Banyumas menjadi salah satu daerah yang dieksploitasi secara politik, sosial, dan ekonomi oleh pihak kolonial dengan penerapan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa (1830-1870).

Juragan baru

Penghasilan sebagai pengobeng yang tak begitu menjanjikan akhirnya membuat pekerjaan sebagai pembatik menjadi pilihan terakhir dan hanya sambilan. Namun, beberapa di antara pengobeng ternyata sanggup bangkit lalu mengembangkan diri menjadi ”juragan” dan menciptakan pasarnya sendiri. Mirah, pemilik batik Mirah di Banjarnegara, sempat bekerja sebagai pengobeng ke juragan-juragan batik di Banyumas.

Setelah bertahun-tahun bekerja sebagai pengobeng, ia mulai berinisiatif tak sekadar membatik, tetapi juga mewarnai batiknya hingga produk jadi. Dari awalnya mewarnai memakai wajan kecil pada 2004, ia lantas mengembangkan batik Mirah dan mulai merangkul para tetangga sebagai pengobeng. ”Dulu ngobeng, setahun bisa bawa ribuan lembar batik dari pengobeng lain ke juragan di Banyumas. Tetapi, dalam setahun, cuma dikasih batik satu lembar, itu pun yang bolong,” kata Mirah.

Juragan baru lainnya yang langsung meraksasa adalah Anto Djamil di Sokaraja, Banyumas. Anto mengajak 20 juragan batik lain di wilayah Sokaraja bergabung dalam Komunitas Basoka. Pada 2005, Anto banting setir dari semula pengusaha lukisan dan sempat jadi penjaja ikan laut lalu belajar batik ke Cirebon, Lasem, Pekalongan, hingga Madura.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman, Margani Pinasti, yang mulai meneliti batik Banyumas sejak 2012 dan turut merintis lahirnya Paguyuban Batik Jamur Dwipa, menyebut batik Banyumas masih kalah pamor dibandingkan batik dari daerah lain karena ketiadaan pabrik tekstil dan kemampuan manajerial pembatik masih lemah dari sisi pemasaran.

”Masalah ini enggak bisa selesai ditangani sendiri. Harus kolaborasi. Kolaborasi antarkompetitor. Harus ada road map jelas untuk menggiatkan batik,” ujarnya.

Di kantong buruh migran dengan berbagai kisah kelam dan manisnya hidup, batik dicintai, tetapi belum sanggup menghidupi. Batik masih menjadi sambilan, pelarian ketika panggilan merantau sayup-sayup menjauh….

Artikel Lainnya