Kisah perjuangan perempuan-perempuan yang bangkit dari ketertindasan ekonomi terekam dalam lembaran batik. Di situ juga terjejak kisah tentang etos santri yang selalu patuh kepada junjungannya. Etos yang setia merawat daya hidup para perempuan Lasem, yang mencoba bertahan di tengah laju zaman yang gemuruh.
Selasa (17/5) siang di Jalan Karangturi Gang 6, Lasem, Rembang, Jawa Tengah, tujuh perempuan pengobeng (buruh batik) sedang bertekun dengan kesibukan masing-masing. Jari-jari mereka yang mengapit canting lincah menari-nari di atas lembar-lembar kain batik yang baru setengah jadi.
Dalam hitungan yang konstan, kira-kira setiap 1 menit, terdengar suara cairan malam panas yang ditiup dengan halus. Ffffsss… bau malam panas yang khas menguar di udara.
Sesekali, terdengar suara mereka bercakap. Tak lama. Setelah itu para pengobeng bertekun lagi dengan kesibukan masing-masing.
Di batik Nyah Kiok itu, konon para pengobeng hanya membuat satu motif batik, yaitu motif gunung ringgit pola wit pring (pohon bambu). Motif gunung ringgit pola wit pring adalah motif menyerupai gunungan keping koin ringgit, variasi wit pring. Warnanya didominasi coklat dan merah khas Lasem. ”Dari dulu ya itu. Namanya pola wit pring,” kata Suti (64), pengobeng.
Dalam satu bulan, mereka bisa menyelesaikan 40 lembar kain. Begitu selesai, semuanya langsung dikirim ke Semarang oleh Lasinah (62), pengobeng yang bertugas mengawasi seluruh aktivitas di sana. Tak ada juragan di tempat tersebut.
Sejak Nyah Kiok meninggal, usaha batik itu diteruskan keponakan Nyah Kiok yang tinggal di Semarang. Hanya sesekali, keponakan Nyah Kiok datang ke Lasem, mengirim bahan-bahan batik. Pencampuran warna yang rahasia pun dikerjakan pengobeng, yaitu oleh Rumini (52) dan Marni (50).
Para pengobeng biasa mengatur diri sendiri. Mulai bekerja pukul 08.00 dan pulang pukul 15.30. Bersepeda pergi-pulang lebih kurang 30 menit dari rumah mereka yang umumnya di daerah Pancur dan Karanglo.
Di Batik Bu Sutra (66), kondisinya relatif sama. Bedanya, setelah pemiliknya, Subroto (Liem Sian Hiem), meninggal, usaha itu dihibahkan kepada Bu Sutra (66) yang semula adalah pengobeng di sana. Tak ada anak atau kerabat Pak Broto yang mau meneruskan usaha batik tersebut.
”Saya asli Pancur. Mbatik di sini sudah 30-an tahun. Dulu buruh batik. Setelah Pak Broto meninggal, temurun ke saya. Katanya gini yo wis tho, kalau memang aku ke Jakarta, batik iki teruske awakmu wae,” ujar Bu Sutra mengutip Pak Broto, sepuluh tahun lalu.
”Ya, saya teruskan. Biar rumah ini ada orangnya. Sebelum meninggal tujuh tahun lalu, Pak Broto sudah ninggal-ninggali. Wis aku ora ngehaki, dagangane terusin kamu saja,” lanjutnya.
Bentuk kepatuhan
Tokoh masyarakat Lasem, H M Zaim Ahmad Ma’shoem (Gus Zaim), menuturkan, yang ditunjukkan para pengobeng Lasem yang tetap bekerja tanpa keberadaan juragan bukan semata alasan ekonomi. ”Kalau soal ekonomi, jelas. Kalau di sini pertanian maju, pasti batik kalah,” katanya.
Lebih dari itu, yang ditunjukkan para pembatik Lasem, menurut Gus Zaim, adalah cerminan etos santri yang menunjukkan kepatuhan kepada atasannya. ”Dalam hal kepatuhan, santri sama seperti TNI dan polisi, bahkan lebih. Kalau TNI diperintah komandannya, polisi diperintah atasannya, dia akan push-up karena terpaksa. Tapi, yang namanya santri, patuh karena wibawa pimpinannya. Dan Islam mengatur itu dengan kuat,” ujar Gus Zaim, pengasuh Pondok Pesantren Kauman Lasem.
”Mereka yang mbatik-mbatik itu kan orang Islam, santri. Kalau malam Sabtu pengajian di sini, orang-orang Pancur yang perempuan pembatik ada yang ikut ngaji di sini. Yang mau saya tekankan adalah mereka ini santri. Mereka tidak harus berada di pesantren, tak harus mondok. Ada juga santri, yang penting dia ikut tokohnya,” tambah Gus Zaim.
Sejarawan Rembang, Edi Winarno, menambahkan, kepatuhan buruh batik di Lasem kepada majikannya muncul lantaran kebanyakan dari mereka bekerja dengan cara ngawulo. Dulu, banyak buruh batik ikut tinggal di rumah juragannya yang jadi tempat pembatikan. Dari situ terjalin ikatan buruh dan majikannya meski dulu pola relasi semacam itu memicu eksploitasi.
Para buruh yang umumnya Muslim juga bekerja efisien karena mereka berusaha mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungan pesantren. Selain itu, para pembatik biasanya juga mampu memegang rahasia. Inilah mengapa selama berabad-abad batik lasem tetap dikuasai etnis Tionghoa. Salah satunya lantaran rahasia proses batik yang tak pernah bocor.
Pelestarian
Pada beberapa contoh, banyak pengobeng menunjukkan etos santri dengan patuh mengabdi berpuluh tahun di tempat yang sama. Jumasih (54) telah bekerja dan mengabdi di Batik Maranatha sejak umur 12 tahun, saat usaha itu dipegang nenek Priscilla Renny yang kini melanjutkan Batik Maranatha. Hal serupa terjadi di banyak tempat pembatikan di Lasem.
Kelonggaran dalam bekerja, bisa absen jika ada perlu dan bisa membawa pulang batik untuk dikerjakan di rumah, membuat mereka betah. ”Biasanya saya mbatik di rumah habis shalat Magrib. Di sela-sela makan dan shalat Isya, pukul 22.00 selesai,” kata Rusmini (41), pembatik di Batik Beruang milik Santoso di Karasjajar.
Menurut penulis Lasem Kota Tiongkok Kecil, Munawir Aziz, kelonggaran semacam itu menunjukkan batik lasem tak berwajah industri. ”Batik lasem lebih pada pelestarian. Tidak terkapitalisasi,” ujarnya.
Meski begitu, batik lasem tetap memiliki nilai ekonomi karena orang masih memburu batik lasem. ”Orang mencari batik lasem karena masih mempertahankan ciri khas tulis dan merah getih pithik-nya,” kata Aziz.
Di Kudus dan Demak yang juga kental pengaruh Islam, semangat pelestarian ditunjukkan sejumlah pembatik. Di Kudus yang kini makin sulit mencari pembatik, muncul generasi baru yang bersemangat menghidupkan kembali batik kudus, seperti Ummu Asyiati, Yuli Astuti, dan M Fadloli. Prinsip mereka, jangan sampai batik kudus punah. Demikian pula di Demak yang masih tertatih-tatih menghidupkan kembali kejayaan batik demak.