Perjalanan usaha batik di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat, terbentang panjang sejak awal abad ke-20. Melewati masa kejayaan di masa kolonial hingga 1960-an dan meredup selama tiga dekade, kini usaha batik Priangan kembali menggeliat. Dinamikanya telah menempa resiliensi batik Priangan.
Batik Priangan Timur merupakan perwujudan tradisi membatik yang tumbuh di daerah pedalaman Jawa Barat, terutama Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut. Meskipun muncul dan berkembang pada periode yang berbeda-beda, ketiga wilayah di bagian timur Jawa Barat tersebut menjadi saksi jatuh bangun usaha yang menghidupi ratusan orang.
Di wilayah Garut, misalnya, masa-masa kejayaan usaha batik garutan di tahun 1960-an telah menghidupi sekitar 126 unit usaha batik dengan ratusan pekerja. Daerah pembatikan tersebar di beberapa desa, seperti Leles, Banyuresmi, Kadungora, Samarang, dan Karangpawitan. Sebagian pemilik usaha batik pun sempat berhimpun di bawah naungan Koperasi Warga Batik Garut yang didirikan sekitar tahun 1950.
Organisasi sosial ekonomi berbentuk koperasi yang mewadahi para pengusaha batik juga telah didirikan di Tasikmalaya sejak sebelum 1960-an. Koperasi Pangroyong telah berdiri pada 1939 dan merupakan koperasi pertama yang menyediakan kebutuhan para pembatik, seperti arang, minyak cat, dan aci aren. Pada periode 1960-an, di Tasikmalaya telah berkembang usaha batik yang menyebar di sejumlah daerah, yakni Panglayungan, Bojong, Buninagara, Gudang Jero, Martadinata, Cipedes, Ciroyom, dan Sukaraja-Sukapura di Kabupaten Tasikmalaya, serta melibatkan tak kurang dari 200 pembatik.
Namun, masa kejayaan usaha batik di Priangan Timur perlahan meredup ketika kebijakan pemerintah mulai meminggirkan usaha batik tulis dan mendorong munculnya tekstil bermotif batik buatan pabrik.
Kebijakan pemerintah
Surutnya industri batik di Priangan Timur sedikit banyak karena berubahnya kebijakan pemerintah. Ketika Presiden Soekarno memimpin negeri ini, para perajin batik mendapat subsidi untuk bahan baku industri yang didistribusikan lewat koperasi. Kain mori, pewarna kain, malam, minyak, alat membatik, dan sebagainya tersedia di koperasi.
Melalui koperasi, perajin mendapatkan barang-barang subsidi sekaligus menyalurkan produk batiknya. Perajin tidak perlu repot-repot memasarkan produknya sendiri. Cukup menyetorkan ke koperasi dan koperasi akan memasarkannya. Saat itu, pemerintah sedang menggalakkan program kecukupan bahan sandang di seluruh Nusantara dengan harga terjangkau. Batik cap menjadi bahan sandang dalam program itu.
Seiring bergulirnya waktu, setelah presiden berganti di era 1970-an, kebijakan subsidi industri batik dihapus. Dampaknya, perajin batik kesulitan mendapat bahan baku subsidi berharga murah. Selain itu, pengusaha kebingungan jika harus memasarkan produknya sendiri karena sebelumnya tinggal setor ke koperasi.
Faktor lain yang turut memukul industri batik kala itu adalah hadirnya industrialisasi skala besar yang salah satunya menghasilkan kain tekstil bermotif batik. Harga batik menjadi terjun bebas karena bersaing dengan kain tekstil bermotif batik yang berharga murah karena dicetak dengan mesin.
Akibatnya, banyak usaha batik skala rumah tangga gulung tikar dan perajinnya beralih profesi. Kedigdayaan koperasi lambat laun turut terenggut, tak berdaya menghadapi persaingan pasar. Koperasi batik pun beralih tidak lagi fokus pada usaha batik, tetapi membuka peluang-peluang usaha di bidang lain yang menguntungkan.
Di Ciamis, contohnya, Koperasi Rukun Batik di masa jayanya pernah membawahkan hingga 600 perajin batik. Namun, koperasi ini kini hanya menaungi satu perajin semata-mata demi mempertahankan roh batiknya. Pesanan batik per tahun saat ini hanya sekitar 500 kodi. Koperasi ini sekarang tidak hanya fokus pada batik seperti saat koperasi didirikan, tetapi sudah bergerak di bidang lain, mulai dari agrobisnis hingga properti.
Bertahan dan bangkit
Gempuran tekstil bermotif batik tak mampu menghabisi usaha batik tulis Priangan. Di Kabupaten Garut saat ini masih terdapat 14 unit usaha batik yang menaungi 275 pembatik dan pekerja lain. Usaha batik ini tersebar di wilayah Ciledug, Suci, Paminggir, dan Karangpawitan. Ruang pamer berupa toko dan galeri terdapat di kawasan Jalan Ahmad Yani dan Otto Iskandardinata, Tarogong Kaler.
Salah satu usaha batik yang tetap bertahan adalah Batik RM milik Rubaah Sri Husaodah Muharam (66). Usaha batik ini telah dirintis sejak 1979 dan kini dengan 35 karyawan masih memproduksi batik tulis, cap, dan kombinasi tulis-cap. Para pembatik telah turun-temurun bekerja di sana dan ada yang berasal dari satu keluarga terdiri dari ibu, anak, serta menantu. Omzet per bulan sekitar Rp 60 juta.
Usaha batik lain adalah Batik Tulis Tulen milik Dodah Siti Saodah (66) di Kampung Sisir, Garut Kota. Dibantu 16 pekerja, Dodah mampu memproduksi sekitar 500 helai batik cap setiap bulan. Sementara batik tulis hanya dibuat jika ada pesanan. Batik cap dijual dengan harga Rp 90.000-Rp 275.000 per helai, sedangkan batik tulis dihargai Rp 1,2 juta.
Bagi Rubaah dan Dodah, batik tulis garutan tetap bisa bertahan karena memiliki ciri khas tersendiri, yaitu menorehkan malam di kedua sisi permukaan kain depan dan belakang. Dengan cara ini, batik garutan berbeda dari batik daerah lain. Meski pengerjaannya lebih lama dibandingkan yang ditulis satu sisi, batik garutan tetap digemari.
Cara lain untuk memiliki ciri khas adalah membatik di atas kain sutra. Rajib Nasrudin (41), pemilik Tenun Sutera dan Batik Tulis RPG, mengawali usaha tenun sutra dengan dua alat tenun bukan mesin di tahun 2005. Kini, jumlahnya menjadi 20 unit dan pangsa pasarnya tersebar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Meredupnya usaha batik di Tasikmalaya mengakibatkan tahun 2000 hanya terdapat tujuh usaha batik dari sebelumnya ratusan unit di tahun 1960-an. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya lantas memberikan akses pelatihan desain kepada tujuh usaha batik itu, mengadakan studi banding ke Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, dan mengikutsertakan mereka dalam berbagai pameran.
Tahun 2005, para pemilik usaha batik diarahkan untuk membuat merek sendiri. Pemerintah Kota Tasikmalaya berusaha membalik cara berpikir orang Tasik yang cenderung menawarkan produk ke luar Tasikmalaya. Mereka didorong mampu mendatangkan pembeli ke Tasikmalaya untuk menciptakan peluang tumbuhnya unit usaha baru.
Hasilnya, tidak saja ketujuh usaha batik tersebut tetap bertahan sampai sekarang, tetapi jumlah usaha batik terus bertambah. Tahun 2009 ada 19 usaha batik dan tahun lalu tercatat telah menjadi 41 unit usaha. Bahkan, sejak 2012, Pemerintah Kota Tasikmalaya telah membuat Kampung Wisata Batik di Kampung Cigeureung, Kelurahan Nagarasari, yang menampung 28 usaha batik rumahan.
Di Cirebon
Di ujung utara Jawa Barat, geliat juga berlangsung di usaha batik Cahaya Murni. Sri Agustina (31) dan beberapa rekannya baru tahun lalu bisa mengelola sendiri kios batik di pusat batik Trusmi, Cirebon. Belasan tahun ia hanya mengirim hasil batikannya ke gerai-gerai milik pengusaha lain di sana.
”Dulu saya bikin batik, lalu jual ke toko-toko di Trusmi atau saya jual ke pengeber dan dijual lagi ke orang lain. Harganya rendah. Misalnya harga batik tulis Rp 400.000, saya dapat 30 persen. Itu pun tidak dibayar sekaligus, dicicil tiga kali,” tutur Sri, akhir Juli lalu, di Cirebon.
Sri dan beberapa pembatik pada 2014 memperoleh bantuan dari program Daya yang digagas Bank BTPN berupa permodalan dan pelatihan tentang pewarna alam, keselamatan kerja, pengelolaan keuangan, dan pemasaran. Tak perlu waktu lama, mereka kini bisa mengelola usaha batik sendiri di Cirebon.
Resiliensi batik Priangan sudah terbukti. Melewati masa keemasan, masa surut, dan kini perlahan terus bangkit. Pada akhirnya, resiliensi akan terbentuk ketika kreativitas terus diolah dan siasat dibuat untuk berhadapan dengan berbagai hantaman. (BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO/SANTI AGUSTINA/MG RETNO SETYOWATI/LITBANG KOMPAS & FRANSISCA ROMANA)