Sawahlunto. Kota dengan kandungan batubara berkalori tinggi mahabesar itulah alasan dibangunnya jalur kereta api di Sumatera Barat. Demi menghubungkan Sawahlunto dengan kota lain, dibangunlah terowongan menembus bukit berbatu. Orang menyebutnya lubang kalam.
Geolog Belanda, William Hendrick de Greve, menemukan kandungan batubara yang diperkirakan mencapai lebih dari 200 juta ton pada 1868 saat sedang riset di sepanjang sisi Sungai Batang Ombilin. Empat tahun kemudian, pada 22 Oktober 1872, De Greve tewas terhanyut Sungai Kuantan di Indragiri ketika tengah menyurvei kemungkinan pengangkutan batubara melalui sungai (Saputra, Yoni. Jejak de Greve dalam Kenangan Sawahlunto: 2012).
Foto-foto lawas koleksi Museum Gudang Ransum Sawahlunto di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, menggambarkan beratnya penggalian tambang batubara. Cerita dimulai dari foto para tenaga paksa yang didatangkan dari sejumlah daerah di Indonesia dan dikirim ke Sawahlunto dengan berjalan kaki pada 1890-an. Mereka dipaksa bekerja dengan bertelanjang dada dan kaki dirantai di lokasi penambangan Sungai Durian. Kulit mereka tampak hitam dan terbakar (The Picture of Mining Town of Sawahlunto in the Past: 2012).
Batubara diangkut menggunakan lori-lori yang ditarik oleh kerbau sebelum masuknya lokomotif ke Sawahlunto. Seiring makin masifnya penambangan batubara, dibangunlah jalur kereta api mulai Pelabuhan Teluk Bayur di Padang menuju Sawahlunto, secara bertahap, yang beroperasi mulai 1891.
Jalur Solok-Muara Kalaban sejauh 24 kilometer beroperasi mulai 1892. Adapun Muara Kalaban-Sawahlunto menyusul kemudian, pada 1894.
Butuh waktu dua tahun untuk membangun jalur dari Muara Kalaban ke Sawahlunto sepanjang hanya 4 kilometer, mengingat tingkat kesulitannya. ”Makanya, selama dua tahun dari 1892 hingga 1894, batubara dari Sawahlunto ke Muara Kalaban diangkut oleh kuda. Sampai Muara Kalaban, barulah dimasukkan gerbong kereta untuk dibawa ke Teluk Bayur,” kata Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana saat menemani Kompas menyusuri jalur kereta api di Sumatera Barat dan Riau, Desember 2015.
Lubang kalam
Kendala terbesar dalam pembangunan rel sejauh 4 kilometer dari Muara Kalaban ke Sawahlunto ialah penggalian lubang kalam atau terowongan sepanjang 835 meter dengan 33 lubang perlindungan di dalamnya. Terowongan itu menembus bukit berbatu yang cadas.
Lubang kalam menjadi terowongan terpanjang dari empat terowongan yang dilalui kereta api di Sumatera Barat. Dua terowongan lain berada di Lembah Anai, Padang Panjang, dan satu terowongan di Muara Kalaban bernama terowongan Kupitan, sejauh 545 meter.
Lubang kalam mau tidak mau harus dibangun karena rute itulah yang paling efektif untuk menghubungkan Sawahlunto dengan dunia luar. Bayangkan jika kereta api harus memutar atau mendaki dan menuruni bukit.
Sesuai data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, Kota Sawahlunto memang terletak di dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan. Sekitar 26 persen dari total luas Sawahlunto (273,45 kilometer) ialah kawasan perbukitan yang ditutup hutan lindung. Bentang alam memiliki ketinggian bervariasi antara 250 meter dan 650 meter di atas permukaan laut.
Lubang kalam tampak suram pada Desember tahun lalu. Untuk menuju terowongan, kami harus berjalan sekitar 1 kilometer melalui jalan datar dari ujung perempatan jalan, tidak jauh dari Stasiun Sawahlunto yang kini menjadi Museum Kereta Api di Kelurahan Pasar, Kecamatan Lembah Segar. Kondisi rel tampak baik di sepanjang jalan menuju lubang kalam. Hanya semak-semak tinggi yang menjadikan suasana tampak seram.
Dari ujung lubang tampak cahaya dari ujung lubang lain. Mulanya kami berniat menyusuri terowongan, tetapi urung.
”Jalannya berlumpur, ada lumutnya,” kata seorang remaja setempat yang dulu kerap keluar-masuk terowongan untuk bermain dan bersembunyi. Kami pun kembali, melalui jalan pintas, yakni mendaki bukit. Fiuuuhh…. kemiringannya sangat curam sehingga beberapa kali kami terpeleset. Napas tersengal-sengal sesampai di atas.
Mengelilingi Sawahlunto seperti membaca sejarah perjuangan para pekerja paksa yang diperbudak untuk menambang batubara dan membangun rel kereta. Sawahlunto sempat mati setelah penambangan dihentikan, tetapi kini menjadi kota cagar budaya yang telah didaftarkan menjadi warisan dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Stasiun Sawahlunto resmi menjadi museum sejak 17 Desember 2005. Di sana, masih teronggok beberapa loko, termasuk lokomotif E 1060 Mak Itam yang pernah menjadi kereta wisata.
Stasiun percabangan
Stasiun Muara Kalaban merupakan stasiun percabangan menuju Sawahlunto dan Muaro Sijunjung-Pekanbaru, Riau. Seperti stasiun-stasiun lain sebelumnya, Kacang dan Singkarak, misalnya, Muara Kalaban masih berdiri kokoh, tetapi merana. Kabel sinyal dan wesel menjadi tempat nyaman bagi jemuran, kemeja hingga celana dalam.
Aditya menyebut jalur Muara Kalaban-Padang Sibusuk-Tanjung Ampalu-Muaro sejauh 26 kilometer sebagai jalur yang terlupakan. Jalur itu dioperasikan pada 1 Maret 1924 dan dihentikan pada 2003. Terowongan Kupitan yang dibangun pada 1922 terletak antara Muara Kalaban dan Padang Sibusuk, tepatnya menembus bukit di perbatasan Sawahlunto-Sijunjung.
”Hingga 2003 masih ada kereta dari Indarung ke Padang Sibusuk yang membawa semen. Setelah itu, jalur ini mati. Ruas Padang Sibusuk-Muaro Sijunjung bahkan telah lebih dulu mati pada 1945. Mungkin banyak orang yang bahkan tidak tahu bahwa pernah ada jalur kereta api hingga ke Muaro Sijunjung,” kata Anggi dari Masyarakat Peduli Kereta Api Sumatera Barat.
Sulit menyusuri rel setelah terowongan Kupitan hingga Muaro Sijunjung. Rel-rel (kalaupun masih ada), menembus perbukitan yang dibatasi sungai. Di seputaran Stasiun Muaro, barulah bongkahan rel terlihat.
Stasiun Muaro Sijunjung terletak di ujung paling timur dari seluruh jaringan kereta api di Sumbar untuk pengangkutan kayu yang berasal dari pedalaman hutan Sumatera bagian tengah. Kayu-kayu itu juga dibawa menuju tambang batubara di Ombilin, Sawahlunto, untuk digunakan sebagai penguat konstruksi atap dan dinding tambang.