Hujan lebat mengguyur Pare, kota kecil di Jawa Timur, 6 Maret 2016. Tak ada payung. Banjir menggenangi kota yang sepi. Bekas Stasiun Trem Uap Pare, di mana gerangan? Peta jalur kereta milik Belanda menunjuk satu titik di Jalan Panglima Besar Sudirman.
Dua pencinta kereta api dari Komunitas Kereta Anak Bangsa, Aditya Dwi Laksana dan Gurnito Rakhmat Wijokangko, mencermati peta. Mereka lalu berjalan kaki menyusuri kampung tidak jauh dari Jalan Panglima Besar Sudirman.
Adapun Kompas bersama Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Semarang, bertanya kepada penduduk. Beberapa warga menunjuk tempat yang salah. Memang tak mudah mencari jejak rel dan stasiun kereta nonaktif jika sebelumnya tidak mendatangi kantor PT KAI.
Bekas stasiun, yang kini menjadi warung sate milik suami-istri Sugiono dan Widi, akhirnya kami temukan. Ada tulisan kecil di spanduk: Sate Kambing Ayam dan Gule Stasiun Pare.
Bangunan stasiun tidak berubah. Loket karcis masih ada. Di etalase kaca, tertempel foto Sugiono, Widi, bersama dua wajah Belanda. ”Itu cucunya pegawai perusahaan kereta yang pernah tinggal di sini, zaman penjajahan dulu. Beberapa bulan lalu, ia datang ke sini. Katanya ingin tahu sejarah hidup kakeknya,” ucap Widi menunjuk dua wajah asing itu. Ia bercerita, sementara kami menyantap gule kambing yang rasanya luar biasa pada sore yang dingin itu.
”Gerombolan semut”
Semua karena gula. Perusahaan-perusahaan kereta api bak gerombolan semut yang mengerumuni kebun tebu dan pabrik-pabrik gula di Jawa Timur.
Tercatat 10 perusahaan milik Pemerintah Hindia Belanda dan swasta beroperasi di provinsi itu. Masing-masing menguasai satu-dua wilayah, seperti Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) yang menguasai Jombang dan Kediri; Modjokerto Stoomtram (MSM) yang beroperasi di Mojokerto dan sekitarnya; serta Babat-Djombang Stoomtram (BDSM), Probolinggo Stoomtram (PbSM), dan Pasoeroean Stoomtram (PsSM).
Trem-trem uap milik KSM di rel-rel sepanjang total 125 kilometer menyediakan angkutan bagi pabrik-pabrik gula. Ada 12 pabrik gula di Kediri-Jombang waktu itu, antara lain PG Tjoekir, Blimbing, Djombang, Menang, dan Tegowangi.
Di Mojokerto terdapat 15 pabrik gula, seperti PG Pandaan, PG Dinoyo, PG Brangkal, dan PG Modjoagoong. Di wilayah Pasuruan setidaknya ada tujuh pabrik gula, antara lain PG Kedawoeng yang masyhur dan PG Wonoredjo. Di Probolinggo, 10 pabrik gula besar juga mendapat akses angkutan kereta, antara lain PG Phaiton dan PG Padjarakan.
Merujuk pada buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 karangan Imam Subarkah tahun 1992, KSM adalah perusahaan pertama yang membangun jalur rel Pesantren-Wates sepanjang 14 kilometer pada 1897. Namun, jalur ini juga yang ditutup paling awal, yakni pada 1943, ketika berlangsung pendudukan Jepang. Jalur-jalur lain yang merajut kota-kota kecil, seperti Papar, Kencong, Pulorejo, Ngoro, dan Gurah, dibuka pada 1898 dan 1899. Tahun penutupan jalur-jalur itu variatif, yaitu pada 1943, 1972, 1981, dan 1984.
Frekuensi tinggi
Untuk pengangkutan barang, KSM memiliki 216 gerbong. Jumlah ini tergolong sangat banyak. ”Frekuensi perjalanannya tinggi. Ada 74 rangkaian trem dan ada 27.010 pegawai pada 1932. Jadwal kereta penuh tanpa libur. Bisnis saat itu luar biasa,” kata Aditya, merujuk buku karya Jan de Bruin, Het Indische Spoor in Oorlogstijd (2003).
Frekuensi perjalanan kereta yang dikelola MSM juga padat. Perjalanan Mojokerto-Bangsal-Japanan-Porong dan sebaliknya bisa berlangsung tiga kali sehari. Trem tujuan Pandaan-Bangil PP dan trem Bangsal-Pohjejer PP bisa melaju empat kali sehari.
Pada puncak produksi gula, Juli dan Agustus, perjalanan trem ditambah. Karena trem sering berhenti untuk langsir, perjalanan angkutan barang dan penumpang menjadi sangat lambat. Perusahaan pun bisa mengubah jadwal sesuka hati. Media massa waktu itu, menurut Jan de Bruin, melabeli MSM sebagai ”meestal stoppen maatschappij” atau perusahaan sangat sering berhenti.
Selain MSM dan BDSM, ada perusahaan Staatsspoorwegen (SS) dan Oost Jawa Stoomtram Maatschappij (OJS) yang memiliki jaringan kereta di Mojokerto. SS membuka jalur dari Surabaya ke Kediri pada 1881, melintasi Mojokerto. Adapun OJS membuka jalur Mojokerto-Mojoagung-Ngoro pada 1889 dan 1890. Jalur kereta di Pasuruan dan Probolinggo juga berada di sekitar jalur utama SS, terutama jalur Surabaya-Jember-Banyuwangi. Jaringan-jaringan kereta di Jatim saat itu memang saling bersinggungan.
Djoko Setijowarno menuturkan, rencana pengaktifan kembali beberapa jalur di Jatim termuat dalam Peta Rencana Jaringan Perkeretaapian Pulau Jawa Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Tahun 2030 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan pada 2011. Jalur itu adalah Jombang-Pare-Kediri; Mojokerto-Mojosari-Gempol; dan Probolinggo-Paiton. ”Bisa dibayangkan jika semua jalur kereta aktif seperti dulu. Semua terhubung. Beban tak hanya di jalan raya. Kalau soal kereta yang lambat itu, kan, dulu, kini bisa diselesaikan dengan teknologi. Jadi, transportasi kita ini maju atau mundur?” kata Djoko.