Menikmati sepoi angin petang di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, terasa nostalgik. Bukan hanya teringat ”Teluk Bayur”-nya Ernie Djohan, lagu lawas era 1970-an ciptaan Zaenal Arifin. Cerita warga turut memunculkan bayangan keriuhan di sini, dulu, ketika lokomotif menyeret gerbong-gerbong kereta berisi batubara, melaju 115 kilometer dari Sawahlunto hingga Teluk Bayur.
Selama 109 tahun, sejak jalur kereta api (KA) Teluk Bayur-Sawahlunto dibuka pada 1 Januari 1894, kereta tidak hanya mengangkut batubara Ombilin di Sawahlunto, tetapi juga melayani penumpang yang turut naik bersama muatan batubara. Pada kesempatan lain, terutama hari libur, lokomotif hanya menarik gerbong penumpang. ”Ramai sekali dulu di sini, sampai 2003,” kata Suherman, penilik jalan di PT KAI (Persero) Divisi Regional II Sumatera Barat.
Mestinya ada stasiun kereta api di seputaran Emmahaven, nama Belanda untuk Pelabuhan Teluk Bayur. Namun, tak terlihat sedikit pun bekasnya saat Kompas bersama Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana menyambangi Teluk Bayur, pekan lalu. Kami mengelilingi pelabuhan dan menyusuri rel kereta yang menyembul di jalan. Tiba-tiba jalur terputus. ”Stasiunnya sudah rata dengan tanah,” kata Irwandi, Manajer Operasi PT KAI (Persero) Divre II Sumbar.
Dari Bukit Putus, stasiun terdekat dari Teluk Bayur, terdapat percabangan. Satu jalur menuju tempat pengantongan Semen Padang, jalur lain menuju pembongkaran batubara. Pada 2003, ketika angkutan batubara dihentikan, jalur pun mati. Kini, seputaran jalur itu dimanfaatkan warga untuk tempat parkir truk dan menjemur pakaian.
Suherman dengan bersemangat menunjukkan bekas jalur batubara dari Bukit Putus. Ia menjelaskan cara gerbong-gerbong didorong naik ke bukit kecil, tempat pembongkaran batubara. ”Tiap lima gerbong didorong oleh loko ke atas. Batubara dijatuhkan ke tempat penampungan,” katanya, menunjukkan tempat pembongkaran yang kini tertutup pagar dan tanaman liar.
Dengan memanfaatkan Stasiun Bukit Putus, Pemerintah Indonesia membangun jalur sepanjang 14 km, melewati stasiun Kampung Juar, Pauh Lima, dan berakhir di Indarung. Jalur KA yang dioperasikan pada 1979 ini mengantarkan semen curah dari pabrik Semen Padang di Indarung menuju Teluk Bayur.
Jalur penting
Jalur Sawahlunto-Teluk Bayur, yang melewati 16 stasiun besar dan lebih dari 30 halte itu, masih aktif atau bisa dipakai. Jika butuh perbaikan, bukan hal besar, seperti penguatan jembatan atau bantalan rel. Ruas ini jadi jalur transportasi penting bagi Pemerintah Belanda setelah ditemukannya tambang batubara berkalori tinggi di daerah Ombilin Sawahlunto oleh geolog Belanda, Willem Hendrik de Greve, tahun 1868 (Yonni Saputra: Jejak de Greve dalam Kenangan Sawahlunto, Penerbit Ombak, 2012).
Dengan perkiraan cadangan batubara hingga 200 juta ton, mustahil Belanda mengabaikannya. Untuk mengangkut hasil bumi, transportasi sungai bisa menjadi alternatif, dari Batang Kuantan di Muaro Sijunjung menuju sungai-sungai besar yang bermuara ke timur Sumatera, seperti Siak, Kampar, dan Indragiri. Sempat diwacanakan sistem kereta gantung atau kereta kabel, tetapi kereta api dirasa paling masuk akal.
Aditya mengatakan, JL Cluysenaer menyusun studi perencanaan pembangunan rel kereta api di Sumbar pada 1874. Setelah penambangan batubara pertama di Sungai Durian pada 1891, jalur KA pun dibangun. ”Pada masa itu, di Jawa, di Aceh, dan Sumatera Utara telah terbangun jalur kereta. Ahli perkeretaapian Jan Willem Ijzerman sempat mengkaji jalur KA ke arah pantai timur Sumatera, tetapi tak direalisasikan karena nilai ekonomisnya kurang,” ujarnya.
Pulau Air, ruas pertama
Upi (66) asyik menceritakan ramainya Pulau Air, Padang Selatan, saat dilintasi kereta api hingga 1980-an. Ia mengisahkan suaminya, pensiunan pegawai stasiun KA Pulau Air yang meninggal setahun lalu. Rumah dinasnya masih asli dengan rangka kayu. Upi larut dalam obrolan saat mendadak berseru, ”Ya Allah, saya kira kereta api.”
Rupanya, suara mesin truk hitam yang tengah melaju mundur di belakangnya, membuat Upi menengok. Sontak ia terperanjat melihat bokong truk hitam itu. Ia pun tertawa setelah tersadar sambil mengelus dadanya. Maklum.
”Stasiun seperti pasar. Memang rasanya belum lama,” kata Iwa (58), tetangga Upi, menegaskan. Persis di depan rumah Iwa, beberapa puluh meter dari stasiun Pulau Air, percabangan rel masih utuh. Wesel atau alat pengubah jalur juga utuh. Sayang, stasiun sangat tak terawat. Satu ruangan dimanfaatkan oleh gelandangan yang siang itu tertidur pulas di atas kasur tipis yang kotor dan bau. Puluhan puntung rokok teronggok.
Beberapa warga mengatakan, dua tahun lalu, lebih dari 30 rumah yang didirikan di lahan milik PT KAI digusur. Namun, karena dibiarkan, tanah kosong kini seperti kebun tanaman liar. Hampir semua orang girang jika kereta beroperasi lagi.
Jalur Pulau Air-Padang Panjang sejauh 68 km merupakan ruas pertama yang dioperasikan pada 1 Juli 1891. Ruas kedua, yakni Padang Panjang-Solok-Muara Kalaban (sejauh 76 km) dan ruas Padang-Teluk Bayur (sepanjang 7 km), dioperasikan pada 1 Oktober 1892.
Jika dihidupkan, Pulau Air dan Teluk Bayur bisa terhubung kembali dengan jalur kereta penumpang Padang-Pariaman sejauh 52 km yang awet beroperasi hingga kini. Jalur Pulau Air-Pariaman-Naras niscaya makin semarak dengan beroperasinya KA ke Bandara Internasional Minangkabau yang saat ini sedang digarap.
”Dari Pariaman pernah dioperasikan jalur ke stasiun Naras dan Sungai Limau sejauh 14 km pada 1911. Sayang, Pariaman-Naras ditutup pada 1990, dan Sungai Limau hancur saat banjir pada 1916. Bagus jika jalur ini dihidupkan,” kata Aditya.
Padang-Pariaman adalah gambaran betapa hidup kampung-kampung yang dilewati KA. Setiap stasiun adalah ”pasar”. Di Lubuk Alung, jalan keluar stasiun bahkan tertutup dagangan, mulai sandal jepit hingga bawang merah. Hanya perlu sedikit penataan agar penumpang bisa melenggang nyaman.
Kalau sudah begini, lirik lagu ”Teluk Bayur” bolehlah dibikin versi lain, Selamat datang Teluk Bayur Permai….