KOMPAS/TRY HARIJONO

Terowongan Wilhelmina sepanjang 1.116 meter di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, merupakan terowongan kereta api terpanjang di Indonesia. Terowongan yang dibangun pada 1911-1914 itu sekarang telantar karena jalur kereta api Banjar-Pangandaran yang melintasinya ditutup dan relnya dijarah.

Susur Rel 2014

Susur Rel KA: Janji Manis untuk Wilhelmina * Liputan Khusus Susur Rel 2014

·sekitar 3 menit baca

Bisa dipahami jika bintang komedian Hollywood kesohor, Charlie Chaplin, berkunjung ke Kabupaten Garut. Pesona alam pegunungan di Jawa Barat ini sangat indah dan memikat hati sehingga disebut ”Swiss van Java”.

Tak cuma sekali. Bintang film berkumis khas pada era film bisu ini datang ke Cibatu, Garut, pada 1927 bersama aktris pemenang Oscar, Mary Pickford. Pesona alam Garut yang menawan kemungkinan membuat Charlie Chaplin terpikat sehingga pada kunjungan kedua, 1935, ia mengajak istrinya, Paulette Goddard. Foto-foto kunjungan Charlie Chaplin ke Cibatu, Garut, masih tersimpan di sejumlah kalangan dan sempat dipajang pada sebuah pameran di Garut.

Namun, Garut bukan cuma alamnya yang menawan. Kabupaten yang terletak sekitar 62 kilometer arah timur Kota Bandung itu juga menyimpan jejak-jejak kemegahan arsitektur bangunan stasiun dan jembatan kereta api yang sangat menawan.

Pemerintah kolonial Belanda yang membangun jaringan rel kereta api Cibatu-Garut sepanjang 19 kilometer, kemudian antara Garut dan Cikajang sepanjang 28 kilometer pada 1928-1930, melengkapinya dengan berbagai stasiun yang unik. Salah satunya Stasiun Cikajang yang merupakan stasiun tertinggi di Tanah Air dengan ketinggian 1.246 meter di atas permukaan laut.

Stasiun megah yang menghadap ke Gunung Cikuray ini sering disamakan dengan terowongan St Gotthard di Swiss, mungkin karena keunikannya. Sayang, stasiun yang dulunya termasuk stasiun sibuk karena melayani kereta api rute Cikajang-Garut empat kali sehari ini kini telantar. Atap bangunan di beberapa titik mulai roboh, sedangkan kayu jendela banyak yang raib entah ke mana.

”Kerusakan stasiun mulai terasa ketika jalur kereta api Cikajang-Garut ditutup 1982,” kata Undang (82) yang dulu bekerja di Stasiun Cikajang. Setelah jalur kereta api ditutup, penduduk juga mulai berani mengambil rel dan bantalan kereta, besi-besi jembatan, bahkan mendirikan rumah di atas jalur rel kereta api yang sudah mati.

Selatan Jawa Barat

Selain membangun lintasan kereta api Garut-Cikajang, sebelumnya pemerintah kolonial Belanda juga membangun lintasan kereta api Banjar-Pangandaran-Cijulang sepanjang 82 kilometer pada 1911-1914. Kedua jalur kereta api tersebut sama-sama berada di Jabar bagian selatan.

”Pembangunan jalur kereta api di Jabar selatan pasti membutuhkan biaya sangat mahal karena Jabar selatan didominasi perbukitan,” kata Deden Suprayitno, anggota komunitas pencinta kereta api yang menjadi Koordinator Wilayah Bandung Indonesian Railway Preservation Society (IRPS).

Meski demikian, pemerintah kolonial Belanda tetap membangun jalur rel kereta api tersebut karena membutuhkannya untuk mengangkut berbagai komoditas alam. Saat itu Jabar bagian selatan terkenal sebagai sentra perkebunan teh, kopi, kina, karet, kopra, dan berbagai komoditas lain yang sangat dibutuhkan pemerintah kolonial di Batavia.

Hanya dalam waktu empat tahun, jalur Banjar-Pangandaran-Cijulang selesai dibangun. Berarti rata-rata 20 kilometer per tahun. Pekerjaan yang luar biasa saat itu, mengingat alam Jabar selatan yang sangat berat.

Untuk menghubungkan jalur sepanjang 82 kilometer itu, misalnya, pemerintah kolonial Belanda membangun jembatan-jembatan panjang untuk menghubungkan perbukitan dengan lembah yang sangat dalam. ”Pastilah desain jembatannya sangat hebat karena Jawa Barat bagian selatan berkali-kali diguncang gempa, tetapi jembatan itu masih kokoh berdiri,” kata Deden.

Jembatan-jembatan di Jabar selatan itu justru rusak karena dijarah ketika jalur kereta api Banjar-Pangandaran-Cijulang ditutup pada 1982. Setelah penutupan jalur itu, besi-besi jembatan dijarah. Besi baja dipotong, rel diangkut, dan baut jembatan dipereteli.

Kini yang tersisa tinggal terowongan-terowongan megah yang dibangun pada masa kolonial. Ada empat terowongan yang dibangun pada 1911-1914 dan hingga kini kondisinya secara umum masih utuh kecuali rel kereta api di dalam terowongan yang sudah dijarah.

”Tidak ada yang peduli terhadap jalur ini sehingga penjarahan rel kereta api dibiarkan,” kata Asep dari IRPS.

Terowongan kereta api itu adalah terowongan Philip sepanjang 283 meter, terowongan Hendrik (105 meter), terowongan Juliana (127,4 meter), dan terowongan Wilhelmina (1.116 meter). Terowongan Wilhelmina merupakan terowongan terpanjang di Indonesia. Sayang, terowongan bersejarah itu
dibiarkan telantar.

Penduduk di sekitar terowongan Wilhelmina yang terletak di Desa Sumber, Pangandaran, sudah sering mendengar bahwa jalur kereta api Banjar-Pangandaran yang sangat eksotis akan dihidupkan kembali untuk wisata ke Pangandaran. Saat kampanye calon gubernur, bupati, dan anggota legislatif, beberapa waktu lalu, janji tersebut kembali dilontarkan. Namun, sama seperti periode pemilu sebelumnya, janji hanya sekadar janji.

Terowongan Wilhelmina tetap merana. Ia hanya menjadi korban janji manis elite politik yang akan memedulikan terowongan Wilhelmina.

Artikel Lainnya