Susur Rel 2015

Susur Rel: Melaju dari Saketi, Banten, ke Tanah Abang * Liputan Khusus Susur Rel 2015

·sekitar 4 menit baca

Momo Mujaya (66), seorang warga, merasakan betapa mudah mengangkut kayu dengan kereta api dari Stasiun Saketi, Pandeglang, Banten, ke Tanah Abang, Jakarta, pada tahun 1970-an. Ia pernah menyewa satu gerbong untuk membawa 2.000 ikat kayu. Berkat kereta api, usaha dagangnya itu lancar.

Satu ikat kayu berisi sepuluh bilah kayu kecil, masing-masing berdiameter 5 sentimeter dengan panjang 75 sentimeter. Pada tahun 1970-an, harga satu ikat kayu setengah perak atau 50 sen.

”Kayu karet, beli di calon mertua, eh, waktu itu belum tahu kalau mau jadi mertua saya, ha-ha…. Saya beli kayu gelondongan, lalu saya potong-potong,” kata Momo pada September lalu di rumahnya, bekas Stasiun Saketi yang ia renovasi pada 2005.

Jalur kereta api Labuan-Menes-Saketi-Pandeglang-Rangkasbitung yang dibangun perusahaan KA milik Pemerintah Belanda, Staatsspoorwegen, pada 1906 merupakan jalur yang cukup riuh pada masanya sebelum ditutup pada 1 Januari 1984.

Masyarakat Banten merasaka‎n manfaat jalur sepanjang 56,6 kilometer (km) ini, seperti diceritakan Atik Sukmawati (52), warga Kampung Cirengdeu, Desa Saketi. Atik mengisahkan betapa asyiknya naik kereta ke Rangkasbitung.

”Waktu SD saya sering nengok kakek yang tinggal di Pasirkosen, Rangkasbitung. Dari Saketi jam 06.00, sampai Rangkas jam 10.00. Pulang sore jam 15.00 sampai Saketi jam 19.00,” katanya, sambil berjalan menyusuri penggalan jembatan kereta yang masih tersisa di Cirengdeu, menghubungkan Kampung Cirengdeu dengan Pasar Saketi.

Ia masih hafal nama halte-halte kecil di sepanjang jalan. ”Dari Saketi berhenti Cikaduwen, Cipeucang, Sekong, Kadukacang, Cimenyan, Pandeglang, Cibuah, Warunggunung, Rangkas. Eh, ada yang kurang, sedikit. Setelah Cimenyan ada Cibiuk, lalu setelah Pandeglang ada Pasirtangkil. Relnya R25 (maksudnya, tiap 1 meter potongan rel memiliki berat 25 kilogram),” kata Atik.

Lho, kok tahu? Atik tahu dari almarhum ayahnya, Pak Tumpuk, yang pernah bekerja sebagai petugas wesel atau pengatur percabangan jalur kereta di Stasiun Saketi.

Menes-Labuan

Dari Saketi menuju Labuan terdapat empat halte, yakni Sodong, Kenanga, Babakanlor, dan Kalumpang,‎ serta satu stasiun, yaitu Stasiun Menes. Saat menyambangi bekas Stasiun Menes, September lalu, Kompas disambut warga dengan mata penuh tanya. Mereka waswas, rumah yang mereka tempati di atas tanah milik PT KAI akan segera digusur. ”Sedang ada pendataan, ya?” tanya Omsah (40), salah satu warga.

‎Bekas Stasiun Menes masih berdiri gagah. Tulisan ”Menes” di dinding samping atas stasiun tampak jelas. Cat tembok warna hijau mengelupas di sana-sini. Tegel lantai warna coklat masih sama persis dengan yang dulu.

Tidak jauh dari stasiun, tampak keran air‎ yang dulu diduga digunakan untuk mengalirkan air ke lokomotif-lokomotif uap. Ada bekas roda kereta di situ.

Sejak 1984, tidak lagi terdengar peluit masinis, decitan rem lokomotif yang berhenti di stasiun, atau lalu lalang penumpang. Kini bangunan utama ditempati Suci dan keluarganya, sedangkan bangunan lain di sekitarnya tak terawat. Kotor.

Kondisi serupa tampak di stasiun Labuan. Bedanya, stasiun itu dibiarkan kosong tidak berpenghuni. Nenti (55), pedagang serabi yang mangkal di samping stasiun masih mengingat ketika ia kerap bolak-balik naik kereta Labuan-Rangkas untuk mengunjungi kerabat. ‎‎

Staatsspoorwegen (SS) awalnya membangun jalur KA dari Batavia menuju Rangkasbitung-Cilegon-Anyer Kidul, dan lintas cabang dari Duri ke Tangerang dengan panjang total ‎175 kilometer. Jalur Batavia-Duri-Tangerang beroperasi pada 1899, sedangkan Duri-Rangkasbitung-Cilegon hingga Anyer Kidul beroperasi sejak 1900.

Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana mengungkapkan, SS lantas membangun lintas percabangan dari Rangkasbitung-Pandeglang-Saketi-Menes-Labuan yang digunakan mulai tahun 1906. Juga ada lintas cabang Cilegon-Merak sepanjang 10 km yang beroperasi pada 1914. ”Kalau ditambahi jalur Saketi-Bayah sepanjang 89 kilometer, desa-desa di Banten Selatan jadi saling terhubung,” katanya.

Pariwisata

Matinya jalur Labuan-Menes-Saketi-Pandeglang-Rangkasbitung makin melayukan potensi pengembangan pariwisata di Banten, khususnya Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Padahal, provinsi yang dulu merupakan wilayah Kesultanan Banten itu dikenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan jalur perdagangan internasional. Kedatangan Belanda meredupkan kejayaan Banten. Belanda membangun jalur kereta untuk membuka keterpencilan Banten, tapi kini sebagian besar jalur justru ditutup.

‎‎Akhmad Sujadi, dalam bukunya Membangun Perkeretaapian Jakarta-Banten: Nyaman, Aman, Cepat, Menyatu (Ilalang Sakti Komunikasi, 2011), menulis, jaringan Rangkasbitung-Labuan berpotensi membuka kawasan pariwisata Pantai Tanjung Lesung. Jalur ini lebih mudah daripada melalui Merak, pun lebih murah dibandingkan naik bus. Jaringan ini dapat dibuka kembali dengan mengoperasikan railbus (lebih ringan dari KA konvensional).

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menuturkan, jalur Rangkasbitung-Labuan mendesak untuk diaktifkan. Melalui jalur ini, ratusan kilogram ikan diangkut dari Labuan ke Tanah Abang sejauh 129 kilometer. Sebaliknya dari Tanah Abang, garam diangkut ke Labuan untuk pembuatan ikan asin. ”Jalur ini mendukung distribusi barang dan pariwisata,” katanya.

Kabupaten Lebak memiliki tempat wisata, seperti Pantai Teluk Cibareno, Curug Kanteh dan Saung Pengantin, kawasan Pantai Bung Bulan, dan yang paling kondang Pantai Sawarna. Pantai-pantainya juga cocok untuk kompetisi voli pantai, seperti pantai Muara Binuangeun, Tanjung Panto, dan Bagedur. Selain Tanjung Lesung, Pandeglang juga punya Situ Cikendal.

Situ ini memiliki genangan air tawar seluas 24 hektar. Terdapat pula batu megalitik di Desa Sanghyang Dengdek Saketi. (Adhy Asmara, Pesona Zamrud Katulistiwa Banten, 1996).

Jika jalur kereta dari Rangkasbitung ke Saketi-Labuan diaktifkan kembali, alangkah cepat dari Jakarta menuju pantai-pantai indah di barat Jawa itu.

Artikel Lainnya