Selain gedung Lawang Sewu di Semarang, bekas Stasiun Purworejo, Jawa Tengah, juga bisa menjadi contoh warisan perkeretaapian masa lalu yang dapat dimanfaatkan sebagai aset wisata dan pendidikan. Heritage atau warisan perkeretaapian lainnya yang terbengkalai pun memiliki peluang sama.
Pagi ini saya baru tiba dari Jakarta. Tiba di Stasiun Kutoarjo, lalu saya mampir ke sini, Stasiun Purworejo. Sayang sekali stasiun ini ditutup,” kata Heriyanto (61), ketika dijumpai Kompas di Stasiun Purworejo, Minggu (1/11).
Heriyanto berasal dari Purworejo. Ia baru saja pensiun dari salah satu bank pemerintah di Jakarta. Sejak tahun 1974, Heriyanto meninggalkan Purworejo dan menetap di Jakarta hingga sekarang. ”Tiga bulan sekali saya ke Purworejo untuk menengok ibu saya,” katanya.
Heriyanto terakhir kali menjumpai Stasiun Purworejo masih aktif pada tahun 2010. Dari Jakarta, ia sering naik kereta Sawunggalih dan turun di Stasiun Kutoarjo. Kemudian ia naik kereta pengumpan yang gratis dari Stasiun Kutoarjo ke Stasiun Purworejo yang berjarak sekitar 12 kilometer.
”Sekarang saya memakai ojek. Sampai rumah saya ongkosnya Rp 40.000,” kata Heriyanto.
Agus Sriyanto, petugas jaga Stasiun Purworejo, yang sudah 19 tahun berdinas, mengatakan, Stasiun Purworejo tidak diaktifkan lagi sejak 2010. Tetapi, ada rencana diaktifkan kembali setelah dibangun gudang untuk pupuk dan semen.
Riwayat Purworejo
Heriyanto pagi itu asyik menyimak poster-poster di ruang Stasiun Purworejo. Riwayat kota itu dikemas menarik. Riwayat perkeretaapian juga disajikan ringkas.
Purworejo masa prasejarah di antaranya dikutip dari sumber Berkala Arkeologi, 2004 ”Desa-desa Kuno Pantai Selatan” oleh Goenadi Nitihaminoto. Purworejo pada masa Hindu- Buddha pada sebuah poster itu dijelaskan rinci masuk wilayah kerajaan Galuh dengan nama daerah Pagalihan. Pagalihan kian lama berubah penyebutannya menjadi Pagelen, dan terakhir kali hingga kini menjadi Bagelen. Masyarakatnya menetap di lembah Kali Watukuro.
Bukti arkeologis diperoleh dari prasasti Kayu Ara Hiwang yang pernah ditemukan di Dusun Boro Tengah, Desa Boro Wetan, Kecamatan Banyu Urip, Purworejo. Bagelen pernah di bawah Kesultanan Mataram di Yogyakarta pada abad ke-19, dan menjadi salah satu pusat pertahanan Pangeran Diponegoro semasa mengobarkan Perang Jawa tahun 1825-1830.
Setelah perlawanan Diponegoro dipadamkan, Bagelen diambil alih Pemerintah Hindia Belanda. Daerah itu lalu digabungkan ke Keresidenan Kedu. Pemerintah Hindia Belanda lantas mengembangkan kota permukiman baru yang kemudian dikenal sampai sekarang sebagai kota Purworejo.
Kampung Afrikan
Poster di Stasiun Purworejo itu juga menjabarkan riwayat Purworejo yang memiliki suatu wilayah yang dikenal sebagai Kampung Afrikan.
Pada tahun 1859, Raja Belanda Willem III menyediakan sebidang tanah di Purworejo untuk menampung 3.000 tentara dari Pantai Emas atau Ghana, di Afrika barat, yang dikontrak untuk memperkuat Pemerintah Hindia Belanda. Masa kontraknya sampai 1862. Banyak di antara tentara Afrika itu yang tidak pulang ke negara asalnya, kemudian menetap di Purworejo dan beranak pinak.
Purworejo masuk daerah tanam tanam paksa (1830-1870). Hasil utamanya indigo atau nila, kopi, dan gula. Di kemudian hari, muncul persoalan distribusi hasil bumi ke pelabuhan untuk diekspor ke Eropa. Pemerintah Hindia Belanda pernah mendatangkan sejumlah unta dari Afrika Barat untuk menarik kereta pengangkut hasil buminya.
Perusahaan Staatsspoorwegen (SS) milik Pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun jalur kereta api lanjutan untuk ruas jalur Maos sampai Yogyakarta tahun 1887. Panjang relnya 155 kilometer (km), melintasi Kutoarjo. Dari Stasiun Kutoarjo lalu dibuat percabangan ke Stasiun Purworejo sepanjang 12 km.
Sejak itu, persoalan distribusi penumpang, militer, dan hasil bumi dari Purworejo pun teratasi dengan kereta api. Pendidikan mengenai riwayat Purworejo dan perkeretaapiannya itu kini bisa dinikmati melalui poster-poster yang dipajang di Stasiun Purwokerto. Di dekat stasiun itu juga ada rumah makan murah yang menyajikan menu khas setempat.
Lawang Sewu
Di antara sekian banyak heritage perkeretaapian kita, Lawang Sewu paling terkenal. Dari bangunan ini pula, sekarang publik bisa mencecap sejarah perkeretaapian masa lalu sembari menikmati keindahan arsitektur gedung di kawasan Simpang Tugu Muda Semarang ini.
Nama asli bangunan itu, Het hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg (NIS) Maatschappij atau Kantor Pusat Maskapai NIS. NIS merupakan perusahaan yang mendapatkan konsesi pembangunan rel dan pengoperasian kereta api pertama kali pada tahun 1867.
Kantor Pusat Maskapai NIS itu dibangun 27 Februari 1904. Sebelumnya, NIS berkantor di Stasiun Semarang Gudang. NIS tumbuh menjadi perusahaan swasta yang paling maju dengan jaringan rel dan armada kereta apinya terbesar, sehingga membutuhkan kantor pusat yang lebih luas dan dikenal sebagai Lawang Sewu sampai sekarang.
”Sejak 2011, Lawang Sewu menjadi salah satu museum dan sekarang banyak pengunjungnya, Pada Sabtu dan Minggu, pengunjung rata-rata 2.000 orang,” kata Kepala Museum Lawang Sewu Sapto Hartoyo.
Dalam bahasa Jawa, Lawang Sewu berarti seribu pintu karena bangunannya memiliki banyak pintu. Lawang Sewu dan Stasiun Purworejo menjadi contoh, betapa penting merawat warisan perkeretaapian untuk kepentingan edukasi publik.
Masih banyak warisan perkeretaapian lain di berbagai kota yang terbengkalai. Jika PT Kereta Api Indonesia mau merawat dan mengemasnya dengan baik, bekas-bekas stasiun itu berpotensi menjadi aset wisata.