Kota Malang lahir pada 1914, sementara trem uap hadir di kota itu pada 1897. Artinya, moda transportasi kereta lahir mendahului kotanya. Jalur rel waktu itu dibangun melalui sejumlah desa di Malang sepanjang 85 kilometer. Sayangnya, riwayat trem uap di Malang berakhir pada 1979.
Bangunan bekas Stasiun Kereta Malang Jagalan di Jalan Halmahera, Kota Malang, kini dimanfaatkan oleh warga menjadi tempat tinggal, seperti tampak pada Maret 2016. Adapun rel kereta utuh dan terawat karena dimanfaatkan untuk lalu lalang kereta-kereta minyak milik Pertamina.
Sepenggal jalur kereta di depan stasiun itu membuktikan, trem uap pernah membelah Kota Malang, di antaranya Jalan Sutan Syahrir, alun-alun kota, dan Jalan Basuki Rakhmat/Kayutangan (kompleks pertokoan elite Eropa waktu itu). Trem juga melintasi Jalan Letjen Sutoyo, S Parman, dan A Yani. Wow! Dulu Malang memiliki jalur kereta dalam kota, seperti di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Trem uap di Malang dibangun dan dikelola oleh Malang Stoomtram Maatschappij (MSM), perusahaan swasta yang berpusat di Amsterdam, Belanda. Trem ini digunakan, antara lain, untuk mengangkut sejumlah komoditas. Jalur trem dibuat bersilangan dan terhubung dengan jalur kereta api yang telah dibangun lebih dulu oleh perusahaan kereta milik pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS).
Jalur pertama
Jalur trem uap yang dibangun pertama adalah Malang-Bululawang sepanjang 11 kilometer, dibuka pada 1897 dan ditutup pada 1979. Selanjutnya, dari Bululawang dibangun jalur ke Gondanglegi (12 km), berlanjut ke Talok (7 km) dan Dampit (8 km). Dari Gondanglegi, dibangun pula cabang ke Kapanjen (17 km). Ada juga jalur Singosari-Pakis-Blimbing, Blimbing-Tumpang, Malang-Blimbing, dan Sidayu-Turen (Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992, Imam Subarkah, 1992).
Buku yang ditulis oleh Jan de Bruin, Het Indische spoor in oorlogstijd (2003), mengungkapkan besarnya keuntungan yang diperoleh MSM dalam mengoperasikan trem di wilayah Malang. Pada 1925, perusahaan itu mendapatkan keuntungan 718.242,44 gulden dari angkutan barang dan 278.341,63 gulden dari angkutan penumpang.
Berbagai komoditas, yakni kopi, tepung, kacang, dan tebu bisa memenuhi 2/3 gerbong dalam sekali angkut. Tebu dibawa ke tiga pabrik gula, yaitu PG Sempalwadak, PG Krebet, dan PG Panggungrejo. Masih ada satu lagi pabrik gula besar, yakni PG Kebonagung, tetapi jasa angkutannya dilayani oleh SS. Saat ini, PG Kebonagung dan PG Krebet masih beroperasi.
”Jadi, dengan adanya pabrik-pabrik gula, rel-rel trem uap bersilangan dengan rel KA milik SS dan juga bersilangan dengan rel-rel lori untuk mengangkut tebu dari perkebunan,” ucap Endiarto Wijaya, sosiolog dan Ketua Komunitas Pencinta Kereta Api Malang.
Waktu itu terdapat cukup banyak jalur trem dan lori sampai-sampai ada jalur lori yang dibangun melewati terowongan di bawah tanah, sementara di atasnya terdapat jalur trem. ”PG Kebonagung pun mempunyai jalur lori lewat kota. Seru, ya,” ujar Endiarto.
Douwes Dekker di Dampit
Pada akhir abad ke-19, di Dampit, Malang, tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker atau Setiabudi, bekerja sebagai anggota staf administrasi di perkebunan kopi Soember Doeren. Majalah Historia yang dikelola sejarawan Bonnie Triyana dan majalah Tempo edisi Agustus 2012 menyebut keberadaan Setiabudi di perkebunan kopi tersebut.
Waktu itu memang terdapat banyak perkebunan kopi di Dampit. Jumlah pekerjanya cukup besar. Ketika terjadi ketidakadilan dalam pengupahan, Setiabudi melakukan aksi protes untuk membela para buruh hingga akhirnya ia dipecat. Setiabudi meninggalkan perkebunan dan Dampit dengan berjalan kaki.
Bekas Stasiun Dampit di Jalan Raya Dampit itu masih ada. Aditya Dwi Laksana dan Gurnito Rakhmat Wijokangko, para pencinta kereta dari Komunitas Kereta Anak Bangsa, dengan bersemangat mencari-cari penanda-penanda lain di sekitar eks stasiun, Maret lalu. Tidak jauh dari eks stasiun yang kini ditempati warga, terdapat timbangan dan sepotong rel.
Area stasiun kini adalah permukiman warga yang padat. ”Kami membayar sewa setiap tahun ke PT KA,” kata Ella, warga setempat.
Pendudukan Jepang
Jalur Kepanjen-Gondanglegi adalah jalur trem yang mati pertama kali, yakni pada zaman pendudukan Jepang, tahun 1943. Setelah itu, jalur Gondanglegi-Dampit dan Sedayu-Turen menyusul mati.
Jalur-jalur itu dibongkar. Materialnya digunakan untuk membangun jalur kereta di tempat lain. Pada 1945-1948, Gondanglegi-Dampit dan Gondanglegi-Kepanjen sempat dibangun kembali oleh Djawatan Kereta Api Republik Indonesia.
Kami menyusuri jalur-jalur mati di Malang. Di beberapa tempat, terlihat rel-rel yang masih menyembul di permukaan jalan, seperti di jalur Blimbing-Tumpang sejauh 17 kilometer. Jembatan kereta juga masih utuh melintas di atas Sungai Kalisari di perbatasan Kota dan Kabupaten Malang.
Kami juga berhenti di Stasiun Tumpang dan Halte Wendit yang sejak zaman penjajahan Belanda telah menjadi taman wisata. Dulu, jalur Jagalan-Wendit menjadi jalur wisata orang Belanda.
Betapa seru menyusuri rel-rel nonaktif di semua kota di Jawa Timur, termasuk Malang. Sambil menyusuri rel, orang bisa belajar sejarah dan perkembangan peradaban, entah maju entah mundur.
”Seandainya trem di Malang dihidupkan lagi, trem bisa mencegah Malang dari kemacetan total. Gejala macet total sudah terlihat. Wisatawan pada saat akhir pekan memadati jalan,” kata Endiarto.