Empat kali kami bertanya kepada Meyer Musa. Empat pertanyaan berbeda dengan satu inti terkait dampak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung terhadap keberlanjutan profesinya. Setelah empat pertanyaan itu, Meyer baru tersadar akan nasibnya serta masa depan nasib pariwisata di Selat Lembeh, Sulawesi Utara.

Sehari-hari, Meyer adalah pemandu selam di Selat Lembeh, Bunaken, Pulau Bangka, dan sejumlah destinasi bawah laut di Sulawesi Utara. Sudah tujuh tahun terakhir Meyer bekerja di sejumlah titik selam yang ada di Sulawesi Utara.

Selat Lembeh merupakan destinasi favorit Meyer. ”Karena bisa sambil ambil foto makro. Kalau fun dive (kemungkinan besar di Bunaken) saja, bosan saya,” seloroh lulusan program D-3 Ekowisata Bawah Laut Politeknik Negeri Manado tahun 2010 itu.

Kompas/Puteri Rosalina

Sejumlah wisatawan melakukan penyelaman di titik selam Tanjung Kusu-kusu, di Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Senin (11/9). Pada titik tersebut, penyelaman dilakukan pada kedalaman sekitar 30 meter dengan arus yang cukup kuat.

Setelah Meyer menangkap esensi dari pertanyaan itu, sepasang matanya tampak berputar. Ia tampak memikirkan dengan serius dampak dari rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung. Tidak lama kemudian, ia mengakui, pariwisata bahari di dekat KEK Bitung mungkin akan terancam. Padahal, setidaknya ada 18 penyedia jasa resor dan pemanduan selam di kawasan tersebut.

Selat Lembeh pun merupakan selat sempit di bagian timur laut Sulawesi. Selat itu membentang sepanjang 15 kilometer, dengan lebar 2 kilometer dan berkedalaman bervariasi, 5 meter hingga 20 meter (Baohong et al Elsevier, Marine Pollution Bulletin, 2016). Dengan kondisi geografis seperti itu, jarak antara lokasi penyedia jasa resor dan pemanduan selam relatif dekat. Hanya sekitar 25 menit pelayaran dengan kapal berkecepatan sedang.

”Ini (obyek fotografi makro) bisa hilang. Kalau rusak, tidak ada lagi yang dilihat, padahal lokasi ini sudah terkenal untuk fotografer (makro bawah laut),” ujar Meyer. Lebih jauh, ia memprediksi, apabila sebagian garis pantai Kota Bitung direklamasi sebagai bagian dari pembangunan KEK Bitung, dampaknya bakal lebih besar.

Kompas/Ichwan Susanto

Ikan dari keluarga Antennariidae ini dapat mengubah warna luar tubuhnya menjadi putih, hitam, merah muda, oranye, kuning, dan coklat. Ikan katak saat berwarna oranye ini difoto di titik selam Bianca, di perairan Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (12/9).

Selain pemandu selam seperti Meyer, sebagian penduduk juga relatif belum mengetahui detail rencana tersebut. Ini, misalnya, dialami sebagian penduduk di Kelurahan Paudean, Lembeh Selatan, Kota Bitung. ”Katanya, ada reklamasi. Tapi, saya sama sekali belum tahu rencana reklamasi itu,” ujar Nasir (47). Nasir yang tinggal di Paudean sehari-hari bekerja di Kantor Navigasi Kelas 1, Kota Bitung.

Safar (63), seorang nelayan, juga cemas dengan rencana pembangunan yang belum diketahuinya. ”Sekarang, saya harus berlayar selama empat jam ke arah Laut Maluku. Itu pun belum tentu dapat ikan,” ucapnya. Menurut Safar, pada tahun 1990-an, nelayan hanya butuh berlayar sekitar 5 menit dari titik labuh di bibir pantai sebelum bisa menangkap ikan.

Pemerintah belum paham

Ternyata, bukan hanya warga yang belum mengetahui rencana detail pembangunan KEK Bitung. Sebagian aparatur pemerintahan yang wilayahnya bakal menjadi lokasi pembangunan KEK Bitung juga belum paham detail pembangunan KEK.

Bahkan, hal ini terjadi di kelurahan-kelurahan yang bakal terdampak pembangunan KEK Bitung, dengan luas lahan yang dibutuhkan 534 hektar. Lurah Manembo-nembo Reflin Karamoy, Kamis (14/9), menegaskan, dirinya belum mengetahui apa yang bakal dibangun sebagai bagian dari proyek tersebut di wilayah kelurahannya.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko

Warga menikmati senja di Pantai Sari di Kelurahan Manembo-nembo, Kecamatan Matuari, Sulawesi Utara, Kamis (14/9) sore. Pantai yang juga dikenal dengan sebutan Pantai Mayat itu termasuk yang akan terkena dampak pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Bitung.

Reflin juga belum mengetahui rencana reklamasi pantai sebagai bagian dari proyek pembangunan KEK Bitung. Padahal, selain di Manembo-nembo, Kelurahan Tanjung Merah dan Sagerat juga bakal terdampak menyusul rencana pembangunan tersebut.

Sejauh yang diketahui Reflin, di kelurahannya baru terdapat rencana proyek pelebaran jalan dengan mekanisme ganti untung bagi warga yang terkena dampak serta rencana penggunaan aliran sungai sebagai sumber air. Akan tetapi, lanjut Reflin, belum ada kesepakatan penggantian nilai lahan terkait proyek pelebaran jalan itu.

Di kelurahan tersebut, hanya Ishak Habu (68) yang memiliki informasi sedikit lebih detail. Ia memang dipercaya menjadi salah seorang anggota tim pendataan KEK Bitung. Ishak mengatakan, sejauh ini sudah dilakukan pengukuran lahan untuk pembangunan. Reklamasi pantai, misalnya, dilakukan hingga sekitar 200 meter dari bibir pantai ke arah laut. ”Penduduk hanya meminta, kalau direklamasi supaya tetap diberi akses ke laut. Itu untuk membongkar (tangkapan) ikan dan sebagainya,” kata Ishak.

Tak khawatir

Di sisi lain, Kepala Biro Ekonomi dan SDA Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara Franky Manumpil justru mengatakan, pembangunan KEK Bitung tidak akan merusak keragaman ekosistem dan biota laut yang ada. Buktinya, kata Franky, aktivitas industri dan alur lalu lintas kapal laut hingga kini relatif tidak berpengaruh terhadap keberadaan biota laut.

”Dari dulu ada industri, tapi tidak rusak terumbu karang. Yang merusak terumbu karang itu bom, tapi sekarang tidak ada lagi bom,” katanya. Namun, Franky tidak menjelaskan secara khusus bahwa kekhasan Selat Lembeh tidak terletak pada terumbu karang. Kekhasan selat itu justru pada beragamnya jenis biota laut berukuran kecil.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko

Penyelam menyusuri perairan berarus di titik selam Tanjung Kusu-kusu di Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Senin (11/9).

Setelah diteliti, Selat Lembeh dibatasi dinding pantai timur tufaan (batuan piroklastik yang dimuntahkan selama letusan gunung berapi) berumur Tersier. Sementara dinding baratnya dibatasi batuan breksi Kuarter. Itu masih ditambah dengan bentuk geometrik selat menyerupai mulut corong yang mengalirkan arus bolak-balik yang kuat dari Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik (Pesona Fitur Geologi Bawah Laut Indonesia, Subaktian Lubis, 2016).

Karakter arus bolak-balik ini menyebabkan efek eutrofikasi yang membawa nutrisi dari substrat batuan vulkanik yang kaya mineral sebagai bahan makanan yang berlimpah bagi berbagai makhluk yang hidup di dasar selat (Lubis, 2016).

Kompas/Ingki Rinaldi

Ikan flying gurnard (Dactylopterus sp) terlihat di titik selam Tanjung Kusus-kusu, Selat Lembeh, Sulawesi Utara, Senin (11/9).

Namun, sejauh ini, pola arus yang cenderung menguras (flushing) perairan dari tekanan limbah relatif membuat Selat Lembeh tetap terjaga serta tetap memiliki keragaman biota laut. Apalagi, pasokan nutrisi berupa fosfat, nitrat, dan sedimentasi dari daratan cenderung menjadikan perairan itu kaya kandungan nutrisi yang penting bagi biota laut.

”Kalau flushing tidak cukup baik, akan habis semua. (Jika) Perkembangan KEK (Bitung) makin gede, bisa jadi rusak semua,” ujar Suharsono, profesor riset LIPI bidang biologi laut.

Senada dengan Suharsono, koleganya yang bertugas di Stasiun Penelitian P2O LIPI Bitung, Ucu Yanu Arbi, khawatir pada dampak KEK Bitung terhadap biota laut. ”Tapi, seberapa besar dampaknya, itu perlu dikaji,” katanya.

Faktor pembuangan limbah dan perubahan bentang alam juga menjadi faktor penentu. Itu semua masih perlu dikalkulasikan. Walau, tentu saja, kehati-hatian menjadi penting dan kita tidak perlu menanti sampai ancaman ada di depan mata. (HARRY SUSILO/INGKI RINALDI/ICHWAN SUSANTO)