Mengembangkan pariwisata berkelanjutan merupakan tantangan terbesar bagi Indonesia. Namun, di Raja Ampat, pengelolaan pariwisata berkelanjutan (ekowisata) sudah dimulai secara formal sejak wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Lokasi Wisata di Raja Ampat

×

Saat ini, jumlah wisatawan terus melonjak sejak satu dekade lalu. Akan tetapi, justru godaan menggaet wisatawan sebanyak-banyaknya itu menimbulkan kekhawatiran ancaman bagi lingkungan.

Luas arena wisata Raja Ampat terentang luas di laut kepulauan yang mencakup seluruh wilayah di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Zona wisata Raja Ampat yang dikategorikan sebagai wisata bahari ini terentang dari utara ke selatan, dikelompokkan ke dalam zona intensif, semi-intensif, dan zona ekstensif.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Batuan yang menyerupai pohon natal di Balbulol, Misool Timur, Papua Barat, Rabu (11/10). Gugusan karang yang bertebaran menawarkan pemandangan yang indah dan menjadi salah satu ikon Misool.

Pada zona intensif (bagian tengah kepulauan), pembangunan sarana pariwisata diarahkan untuk dapat menerima kunjungan wisatawan dalam skala besar dengan berbagai aktivitas wisata. Sementara pada zona semi-intensif, kegiatan pariwisata diarahkan untuk menerima kunjungan wisatawan dengan skala yang lebih kecil. Adapun zona ekstensif (bagian utara dan selatan) lebih dikhususkan untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.

Kekayaan spesies

Raja Ampat memang layak disebut sebagai jantung segitiga karang dunia. Daya tarik pariwisata Raja Ampat terentang mulai dari bawah, permukaan, hingga di atas laut. Di bawah laut, perairan Raja Ampat memiliki kekayaan terumbu karang dan biota laut yang menawan. Sebanyak 70 persen spesies karang dunia berada di sini. Terdapat 553 jenis karang dengan 1.505 jenis ikan karang.

Selain itu, ditemukan juga 699 jenis moluska, 5 jenis penyu, dan 16 jenis mamalia laut. Untuk wisata bahari dengan kegiatan menyelam dan selam permukaan (snorkeling), Raja Ampat setidaknya memiliki sekitar 133 titik penyelaman.

Kompas/Ichwan Susanto

Siput laut atau nudibranch dari jenis Phyllidia varicosa ini difoto di perairan Wagmap Wall, Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (11/10).

Di atas laut, Raja Ampat memiliki keragaman geologi yang didominasi batuan kapur. Bentang alamnya khas dengan bentukan pulau-pulau hasil proses pengangkatan batu kapur ke permukaan laut dengan tebing-tebing karang nan indah. Selain keberagaman biota laut, Raja Ampat juga memiliki potensi wisata burung karena terdapat 258 spesies burung di sini. Semua anugerah di tanah Papua Barat ini telah mengundang banyak wisatawan dunia berkunjung.

Dilema kunjungan

Kunjungan wisatawan ke Raja Ampat mulai meningkat sejak tahun 2008. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat, jumlah kunjungan wisatawan naik hampir dua kali lipat dari 998 wisatawan pada 2007 menjadi 2.645 wisatawan pada 2008. Setelah masa itu, jumlah kunjungan turis terus meningkat.

[kompas-highchart id=”jumlah-kunjungan-wisatawan-ke-raja-ampat”]

Penyelenggaran Sail Raja Ampat pada 2014 semakin menjulangkan destinasi global ini. Pada 2014, jumlah kunjungan wisatawan ke Raja Ampat mencapai 12.938 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 79,2 persen adalah wisatawan mancanegara. Setelah Sail Raja Ampat, pada 2016 jumlah wisatawan yang datang naik 37 persen.

Kunjungan wisatawan ke Raja Ampat lebih didominasi oleh wisatawan asing. Setiap tahun porsi wisatawan asing berkisar antara 75-93 persen dari total wisatawan. Kunjungan wisatawan ini memberi kontribusi kepada penerimaan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD). Pada 2011, pendapatan dari sektor pariwisata baru mencapai Rp 1,734 miliar.

[kompas-highchart id=”realisasi-pendapatan-asli-daerah-sektor-pariwisata-kabupaten-raja-ampat”]

Dengan meningkatnya arus wisatawan, lima tahun kemudian pendapatan sektor pariwisata meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 7,005 miliar. Pendapatan sebesar ini menyumbang sekitar 15 persen terhadap total PAD Raja Ampat. Kontribusi sektor pariwisata tersebut antara lain diperoleh dari retribusi penginapan, pajak kapal-kapal wisata yang berlayar di perairan Raja Ampat, dan retribusi pin wisata (kartu wisata/kartu masuk lokasi).

Kontribusi terbesar diperoleh dari retribusi kartu wisata yang diterapkan bagi para wisatawan, baik domestik maupun asing. Sebanyak 30 persen dari total pendapatan dari kartu wisata yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Daerah, di bawah Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat, disetor ke PAD.

Dampak ekonomi

Berkembangnya kegiatan pariwisata di Raja Ampat tidak saja memberi kontribusi bagi pemerintah daerah. Masyarakat pun mendapat berkah karena terserap ke lapangan pekerjaan di sektor pariwisata sehingga hal ini mampu mengatasi masalah pengangguran. Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat Engelbert Wader menyebutkan, cukup banyak pekerjaan baru yang tercipta terkait geliat wisata di Raja Ampat.

Kompas/Ingki Rinaldi

Aktivitas pagi di Kampung Yellu, Misool Selatan, Raja Ampat, Papua Barat, Selasa (10/10). Sebagian warga menanti pelayaran dengan sejumlah kapal reguler dari dan menuju perkampungan tersebut.

”Indikator yang paling mudah bisa dilihat di Pelabuhan Waisai. Pada jam-jam kedatangan kapal cepat dari Sorong yang membawa wisatawan, sudah menunggu sopir-sopir mobil rental yang menawarkan jasa antar-jemput selama berwisata di Waisai. Mobil-mobil terparkir rapih berjajar di pinggir pelabuhan,” kata Engelbert.

Pemandangan tersebut masif terlihat terutama sejak empat tahun terakhir. Firdaus (26), salah satu sopir mobil rental di Waisai, membenarkan pendapat Engelbert. Firdaus tertarik menjadi sopir mobil rental karena melihat perkembangan turis yang membutuhkan transportasi untuk menunjang kegiatannya.

“Sekarang mobil rental sudah banyak. Waktu empat tahun yang lalu saya memulai usaha ini baru ada 16 mobil. Sekarang sudah ada lebih dari 100 mobil rental yang bergantian menunggu turis di pelabuhan,” ujar Firdaus. Dengan menjadi sopir mobil rental, dalam sebulan Firdaus bisa memperoleh penghasilan berkisar Rp 5 juta hingga Rp 7 juta.

Selain profesi sopir mobil sewaan yang cukup menjanjikan, juga bermunculan pemandu-pemandu wisata dari masyarakat setempat untuk mengantar wisatawan ke obyek-obyek wisata dan lokasi-lokasi penyelaman. Penduduk setempat juga ada yang menjadi motoris alias pembawa perahu-perahu wisata, seperti kapal cepat (speedboat). “Anak-anak muda juga banyak yang terserap bekerja di hotel, cottage atau homestay yang sekarang tumbuh menjamur,” kata Engelbert.

Terkait sarana akomodasi, Raja Ampat saat ini memiliki 29 hotel, 145 homestay, 15 resor, dan 8 cottage. Ketersediaan 174 hotel dan homestay ini naik hampir dua kali lipat menjawab kebutuhan akomodasi yang saat diselenggarakannya Sail Raja Ampat terasa kurang. Pada 2014, baru tersedia 62 hotel dan homestay. Akibatnya, rumah penduduk dengan kondisi seadanya kemudian diberdayakan untuk melayani wisatawan.

Kompas/Ingki Rinaldi

Pelangi tampak di sekitar kawasan perkampungan Harapan Jaya, Misool Selatan, Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (12/10). Kawasan itu kerap dijadikan sebagai tempat penginapan alternatif bagi sebagian pengunjung.

“Tahun 2017 ini dibangun lagi beberapa homestay. Pemerintah daerah turut memberikan bantuan hibah untuk pembangunan homestay. Hibah bisa sampai Rp 250 juta untuk satu lokasi. Pembangunan homestay ini terkait dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang ditargetkan datang ke Raja Ampat hingga 2021,” papar Engelbert. Pada 2021 ditargetkan jumlah wisatawan yang datang ke Raja Ampat mencapai 30.000 orang.

Kartu wisata

Bertambahnya kunjungan wisatawan ke Raja Ampat tentu saja memberikan manfaat bagi masyarakat dan meningkatkan penerimaan pemerintah lewat kartu wisata yang diberlakukan bagi wisatawan. Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun 2014 menetapkan tarif layanan jasa lingkungan di kawasan konservasi perairan Raja Ampat yang juga disebut dengan kartu jasa lingkungan.

Melalui peraturan tersebut, wisatawan domestik harus membayar sebesar Rp 500.000 dan wisatawan internasional membayar sebesar Rp 1 juta untuk berwisata di Raja Ampat. Kartu wisata tersebut merupakan kontribusi untuk konservasi. Masa berlaku kartu wisata ini cukup lama, yakni satu tahun. Tiga puluh persen dari total pendapatan kartu wisata tersebut harus disetor ke pemerintah daerah. Tujuh puluh persen sisanya digunakan untuk dana operasional dan non-operasional kawasan konservasi perairan di Raja Ampat, serta dana yang dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat.

Pengembangan pariwisata di Raja Ampat tidak bisa dilepaskan dari status konservasi perairan yang ditetapkan pemerintah pusat dan daerah. Hal itu karena tidak bisa dimungkiri daya tarik wisata di Raja Ampat bergantung pada keindahan dan kelestarian alamnya, terutama wilayah perairan.

Pada 2007, terbit Peraturan Bupati Raja Ampat Nomor 66 Tahun 2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat. Aturan tersebut membagi Raja Ampat menjadi enam kawasan konservasi laut daerah yang kemudian diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanan. Semangat untuk menjaga kawasan konservasi inilah yang mendasari penerapan kartu wisata.

Pariwisata berkelanjutan

Status konservasi yang melekat pada Raja Ampat telah membingkai wilayah ini sebagai destinasi wisata yang memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam. Menurut Kepala BLUD UPTD Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat Adrian Kaiba, kegiatan pariwisata Raja Ampat harus berpedoman pada konservasi dan upaya pemberdayaan masyarakat. Muaranya pada pariwisata berkelanjutan. Pariwisata tidak bisa ditujukan hanya untuk menaikkan penerimaan daerah, tetapi mengorbankan alam dan masyarakat lokal.

Citra wisata mahal ke Raja Ampat memang perlu diciptakan dalam rangka menyeleksi wisatawan yang datang. Tujuannya untuk konservasi.

“Hampir 90 persen wilayah Raja Ampat adalah wilayah konservasi. Jadi, kita tidak bisa berambisi mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya. Dengan pendapatan dari kartu wisata ini, yang juga penting dilakukan selain kegiatan konservasi adalah membina penduduk. Penduduk perlu dibina terlebih dahulu agar kesejahteraannya meningkat, memiliki produk bernilai ekonomi, dan bisa bersaing dalam kancah pariwisata,” papar Adrian menjelaskan.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Gugusan bukit karst di Distrik Misool Timur, Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (12/10).

Senada dengan Adrian, Engelbert menyatakan bahwa citra wisata mahal ke Raja Ampat memang perlu diciptakan dalam rangka menyeleksi wisatawan yang datang. Tujuannya untuk konservasi. Mereka yang diharapkan datang adalah wisatawan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya alam di Raja Ampat.

”Perilaku wisatawan ada yang menjaga lingkungan, ada yang tidak,” ujar Engelbert. Contoh yang paling sederhana adalah perilaku tidak membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik, ke wilayah perairan karena hal itu bisa mengganggu kehidupan biota laut. Jika daya dukung lingkungan turun atau terganggu, minat wisatawan untuk datang juga bisa turun. Pariwisata Raja Ampat akan merosot dan harus mulai lagi dari nol. Dampak seperti ini harus dihindari.

Demi daya dukung lingkungan ini, pemerintah daerah mulai membatasi jumlah wisatawan yang datang ke Raja Ampat. Langkah itu dimulai dengan membatasi jumlah kapal wisata (live on board), tempat wisatawan tinggal selama berkunjung, sebanyak 40 kapal per tahun. Ada pula pembatasan jumlah penyelam yang turun di titik penyelaman agar tidak mengganggu ekosistem laut. Sosialisasi pembatasan-pembatasan ini dibantu oleh asosiasi pemandu wisata dan lembaga terkait konservasi.

Upaya pembatasan jumlah wisatawan ini diakui menimbulkan dilema. Ada pendapat bahwa tidak perlu ada pembatasan karena gairah wisata memberi manfaat kepada pemerintah dan masyarakat sekaligus. Akan tetapi, ada risiko mengintai, yang menempatkan lingkungan dalam pertaruhan.

Pertaruhan itu tidak saja bergantung pada perilaku wisatawan yang bertanggung jawab atau tidak, tetapi juga pada masifnya pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata. Maraknya pembangunan penginapan cottage atau homestay, yang di beberapa tempat dilakukan di sekitar bukit-bukit karst, akan mengubah keindahan bentang alam sekaligus mengganggu ekosistem pesisir di kepulauan ini pada masa mendatang. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)