Bentang alam di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, bak serpihan surga yang jatuh ke bumi. Gugusan bebatuan gamping yang menyeruak di antara lautan jernih membentuk lanskap memesona. Bebatuan gamping ini yang membuat perairan laut setempat selalu jernih. Jangan heran jika kawasan ini menjadi rumah bagi 70 persen dari jenis karang dunia.

Hari Kamis (12/10), tim Kompas menapaki bukit karst Dapunlol yang berketinggian sekitar 110 meter di atas permukaan laut di kawasan Misool Timur, Raja Ampat, Papua Barat. Dari puncak ini, terlihat gugusan pulau-pulau karst mini berbalut pohon hijau yang membentuk permadani laguna berwarna biru.

Pemandangan menawan tak hanya di atas bukit. Hari-hari sebelumnya, tim Kompas juga menyambangi sebagian titik penyelaman di Misool bagian selatan. Mulai dari Magic Mountain yang dihuni aneka biota eksotis hingga Wagmap Wall dan Forondi Cave yang menghadirkan sensasi tersendiri. Setelah menyaksikan itu semua dengan mata kepala sendiri, Raja Ampat jelas sangat layak mendapat status Taman Bumi (geopark) Nasional pada 20 November 2017.

Di Wagmap Wall, misalnya, terdapat lekukan dasar tebing yang memiliki rongga udara di bawah lautnya. Cekungan ini dihuni berbagai jenis karang lunak serta aneka jenis siput laut.

Kompas/Ingki Rinaldi

Penyelam tampak di salah satu titik selam Wagmap Wall di kawasan Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (11/10), yang berbentuk mulut goa bawah laut. Titik selam itu memiliki bebatuan karang dengan bentuk mulut goa di beberapa bagian.

Berdasarkan buku Pesona Fitur Geologi Bawah Laut Indonesia (Subaktian Lubis, 2016), yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cekungan seperti itu disebabkan abrasi dinding pulau oleh gelombang laut. Peristiwa alam ini diiringi kenaikan muka air laut atau penurunan daratan (subsidensi) pulau karst secara tektonik.

Kekayaan jejak geologi lain juga ditunjukkan Pulau Misool. Di sisi utara pulau, terdapat batuan yang terbentuk pada masa Quarter (1,6 juta tahun), sebaliknya di sisi selatan pulau terdapat batuan malihan ligu yang berusia lebih dari 430 juta tahun (masa Paleozoikum). ”Dengan kata lain, Raja Ampat mewakili sekitar sepersepuluh umur bumi (4,5 miliar tahun),” kata Hanang Samodra, peneliti utama Pusat Survei Geologi Badan Geologi.

Tetap jernih

Selain faktor geologi yang menonjol, kekayaan hayati Raja Ampat tak diragukan lagi. Perairan setempat menjadi rumah dari 553 jenis karang dan 1.470 jenis ikan karang, serta sejumlah mamalia laut. Flora dan fauna yang ada di darat pun tak kalah beragam, setidaknya ada 258 spesies burung termasuk berbagai jenis burung surga, cenderawasih.

Keragaman biota ini didukung modal alami perairan setempat yang dikelilingi bukit karst dan substrat gamping. Menurut Subaktian Lubis (2016), kondisi ini menjadikan perairan bersih karena kalsium karbonat dapat memisahkan koloid atau endapan suspensi pada air keruh.

Ini terbukti saat penyelaman di Raja Ampat, 10-12 Oktober 2017. Cuaca saat itu tak terlalu bersahabat. Kondisi bawah laut tak terlalu terang karena langit dipenuhi awan gelap yang membawa hujan serta sedikit bergelombang.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Soft coral di titik selam Wagmap Wall di kawasan Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (11/10).

Dalam kondisi demikian, biasanya perairan akan keruh dan jarak pandang terbatas. Namun, Misool sungguh berbeda. Kondisi bawah perairan tidak keruh dan jarak pandang baik atau lebih dari 20 meter. Hanya saja, penetrasi sinar matahari yang terbatas itu memengaruhi ”suasana” visual foto ataupun video.

Alam yang masih terpelihara ini juga membuat penyelaman malam, Selasa (10/10), meski hanya dilakukan di perairan pinggir Kampung Harapan Jaya dengan penerangan seadanya, tim Kompas dapat bertemu kalabia atau hiu berjalan, endemis Raja Ampat. Tidak seperti kerabatnya yang berenang, kalabia, biota berukuran 70 sentimeter ini, menggunakan siripnya untuk berjalan.

Kerabat lain, hiu wobbegong, yang memiliki rumbai di bagian mulutnya, tampak di Magic Mountain. Hiu ini sekilas sulit dikenali karena kulitnya berwarna putih/krem yang menyerupai substrat dasar tempatnya menunggu mangsa.

Budaya

Dari sisi budaya, Raja Ampat memiliki modal kearifan lokal yang mirip dengan orang-orang Maluku. Mereka memiliki budaya sasi dalam mengelola lautnya. Aturan berupa kesepakatan dalam adat dan gereja ini berisi larangan menangkap biota tertentu dalam waktu tertentu. Kini kearifan ini dikembangkan dengan membatasi ukuran biota tangkapan.

Tujuannya adalah memberi kesempatan biota, seperti teripang, lola, dan kerang, untuk berkembang biak. Dengan demikian, keberadaan populasi biota bernilai ekonomis ini tetap terjamin di alam.

Kekayaan lain juga ditemukan dalam jejak seni dari zaman prasejarah berupa gambar-gambar di cadas atau tebing-tebing bukit. Setidaknya, terdapat 30 situs di Misool yang menampakkan gambar cadas berwarna merah dengan bentuk telapak tangan, lumba-lumba, paus, dan pari manta ataupun biota laut lain.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Lukisan purba di dinding bebatuan karang (rock painting) di Sunmalelen, Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Senin (9/10). Beberapa bentuk tampak tergambar di sejumlah permukaan batu, seperti bentuk ikan dan tangan manusia.

Tim Kompas sempat melihatnya di Sunbayo, di area Selat Panah-panah, Misool. Meski berada di tebing, gambar ini mudah terlihat karena posisinya sejajar orang dewasa berdiri di atas perahu.

Ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung Pindi Setiawan menilai, gambar cadas di Misool kemungkinan dibuat oleh lebih dari satu suku bangsa yang bermigrasi dan dari generasi yang berbeda. Hal ini dapat terlihat dari kondisi gambar yang tumpang tindih dan tidak beraturan.

Namun, ditilik dari jenis dan polanya, Pindi memperkirakan kebanyakan gambar cadas di Misool diduga sebagai peninggalan suku bangsa Austronesia yang berlayar dari Pulau Formosa, Taiwan, dan melintasi Raja Ampat. Gambar cadas itu diprediksi berusia tidak lebih dari 3.000 tahun sesuai dengan masa mereka berlayar.

Menurut Pindi, terdapat juga beberapa gambar cadas yang usianya kemungkinan lebih tua dari 3.000 tahun. Gambar-gambar ini terletak di ketinggian lebih dari 3 meter. ”Bisa jadi gambar cadas ini merupakan peninggalan suku bangsa pra-Austronesia,” ujarnya.

Dengan segala modal alam dan kulturnya, Raja Ampat masih memiliki banyak alasan untuk menyandang predikat sebagai Taman Bumi Global (UNESCO Global Geopark) yang kini sedang diupayakannya. Sebuah status yang menjadikannya sebagai ”milik” dunia yang tak ternilai.

Namun, lebih dari sekadar meraih status, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupatan Raja Ampat Yusdi Lamatenggo, Raja Ampat sebaiknya juga dapat ”mengangkat” kesejahteraan warga setempat. Tentu saja, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kelestarian, yang selama ini telah dijunjung tinggi masyarakatnya. (ICHWAN SUSANTO/HARRY SUSILO/SAIFUL RIJAL YUNUS/INGKI RINALDI)