Patta (65), selama 10 tahun terakhir, mencari penghasilan dengan memanen ikan di dalam bila atau sero di Desa Bungaiya, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Sebelumnya, Patta adalah pencari teripang dan mutiara. Ia menyelam dengan kompresor hingga kedalaman 50 meter. Terkadang, ia berada di dasar laut selama satu jam.
Selama 20 tahun menyelam, sayangnya tidak ada prosedur keselamatan yang dipenuhinya meski sejauh ini dia tetap beruntung. Pekerjaan menyelam terpaksa dilakoninya supaya anak-anaknya dapat bersekolah dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. ”Meski di Selayar, setengah mati (untuk) sekolahkan anak,” kata Patta. Dua anaknya kini masing-masing berprofesi sebagai polisi dan pegawai negeri sipil.
Selain mencari penghidupan di laut, Patta, seperti banyak dilakukan orang di Selayar, juga menanam pohon kelapa. Tidak kurang dari 100 batang kelapa ditanam di Desa Tanete, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Bontomatene. Namun, kelapa-kelapa itu butuh waktu tiga bulan sebelum dapat dipanen. Karena itu, Patta lebih memilih fokus pada sero miliknya sekalipun hasilnya mungkin belum menentu.
Sepuluh tahun lalu, Patta butuh modal Rp 15 juta untuk mendirikan sero. Modal itu antara lain untuk membeli sekitar 1.200 kayu dengan harga sekitar Rp 4.000 per batang. Selain itu, dia membeli jaring hingga 100 kilogram dengan harga Rp 80.000 per kilogram.
Demi menghemat biaya, Patta membangun sendiri sero selama tiga bulan. Setiap tiga tahun, kayu-kayu yang lapuk pun diganti. ”Ini (upaya) setengah mati,” kata Patta, Rabu (25/10). Ia menambahkan, struktur sero itu berdiri di atas lahan pantai dalam penguasaan Patajali (55). Setiap tahun, Patta membayar Rp 1 juta sebagai biaya sewa.
Pendapatan sero paling optimal antara Desember dan Maret, dengan potensi penghasilan hingga Rp 30 juta. Namun, pendapatan di bulan-bulan lainnya dapat berkurang drastis. Penyebabnya adalah perubahan musim, sebagian lagi karena kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh pengeboman atau pembiusan ikan.
Orang Selayar memang bergantung pada hasil laut. Selain mengusahakan sero, ada nelayan dan pelaut yang berlayar jauh hingga ke Malaka, Flores, Ambon, dan Maluku.
Mengapa tidak bertani? Ternyata, wilayah Selayar tipikal daratan yang terdiri atas bebatuan sehingga membuat bidang pertanian dan perkebunan relatif sulit diupayakan. Sebagian wilayah lain memang dapat ditanami, seperti di Desa Tanete. Akan tetapi, warga setempat lebih akrab dengan mencari makan dari hasil laut.
Perdagangan
Kehidupan warga di Selayar pada masa kini berbeda dibandingkan masa lampau. Dulu, Selat Selayar adalah rute perlintasan pelayaran dari pusat-pusat perdagangan di Pulau Jawa dan Sumatera menuju daerah penghasil rempah, khususnya pala dan cengkeh, di kepulauan Maluku.
Ian Caldwell dan Wayne A Bougas dalam buku The Early History of Binamu and Bangkala, South Sulawesi (2004), menjelaskan, rute perdagangan antarpulau melewati pesisir selatan di barat daya Pulau Sulawesi telah berlangsung sebelum dan selama milenium pertama masehi. Salah satu buktinya adalah nekara (drum) perunggu dari zaman Dong Son (Vietnam) berusia 2.000 tahun yang ditemukan di Selayar. Nekara itu hingga kini masih tersimpan di museum di Selayar.
Ian Caldwell dan M Nur dalam Three Locally-Made Bronzes from Sulawesi: Possible Evidence of Cultural Transfer from Java About AD 1000 (Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol 39 No 1, 2005) mengungkapkan, hubungan antara Selayar dan pusat-pusat perdagangan Nusantara, khususnya dengan wilayah pesisir utara Jawa Timur, setidaknya telah terjalin sejak abad ke-11 Masehi.
Hal ini dibuktikan dari temuan dua patung perunggu dari akhir abad ke-10 Masehi atau awal abad ke-11 Masehi di Dusun Sasara, Kecamatan Bontoharu, pada 1974. Dua patung dewa Buddha setinggi masing-masing 9 sentimeter dan 9,5 sentimeter itu diyakini produk perajin lokal di Selayar dan bukan diimpor dari Jawa.
Kedua patung itu memiliki kemiripan dengan kelompok patung jenis serupa yang ditemukan di Nganjuk, Jawa Timur, pada 1913. Namun, patung perunggu Selayar bentuknya tidak rumit dan lebih kasar ketimbang patung perunggu Nganjuk. Caldwell dan Nur menyimpulkan transfer kultural itu berasal dari pesisir utara Jawa Timur, tidak lama setelah pusat kerajaan Mataram Kuno pindah dari Yogyakarta ke lembah Sungai Brantas, Jawa Timur.
Perpindahan kultural menuju lembah Sungai Brantas terjadi pada masa Mpu Sindok sekitar tahun 929 Masehi. Saat itu, corak maritim kerajaan mulai diperkuat hingga memuncak saat kemunculan Majapahit pada abad ke-13. Nama Selayar juga disebutkan sebagai salah satu pulau di bawah kekuasaan Majapahit dalam Kitab Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca pada abad ke-14.
Lebih jauh, Caldwell dan Nur menjelaskan, dalam konteks perdagangan maritim kala itu, Pelabuhan Benteng di Selayar diduga bukan hanya menjadi titik pengisian perbekalan bagi kapal-kapal yang melintas, melainkan juga pelabuhan pengumpul rempah dan komoditas lain dari kawasan timur Nusantara. Apabila perdagangan membutuhkan kapal untuk berlayar, kapan layar kembali terkembang di Selayar? (MOHAMAD FINAL DAENG/MOHAMMAD HILMI FAIQ/INGKI RINALDI)