Gudang Kopi Aman Kuba adalah saksi sejarah. Tiga generasi telah mengantar perjalanan kopi arabika Gayo melintasi dunia. Dari gudang tua itu pula, usaha kopi rakyat bertransformasi.
Siapa tak mengenal Gudang Kopi Aman Kuba? Di Dataran Tinggi Gayo, Provinsi Aceh, nama itu begitu melegenda. Gudang yang berlokasi di Jalan Lebe Kader, Takengon, tersebut merupakan usaha pertama pengumpulan hasil panen kopi Gayo.
Usaha pengumpulan kopi yang dimulai 1947, lalu permanen beroperasi dalam gudang besar pada 1958, dirintis oleh Aman Kuba. Ia bernama asli Hasin. Dalam bahasa Gayo, Aman berarti ’ayah’, sedangkan Kuba nama anaknya.
Meski telah 70 tahun menjadi terminal utama hasil kopi asal Gayo, gudang itu masih asli. Hingga hari ini, bangunan dari kayu tua itu tegak berdiri. Dari pagi hingga sore, aktivitas pengolahan kopi hampir tak pernah berhenti.
Pengunjung yang ingin mencicipi langsung cita rasa minuman kopi Gayo bisa mampir.
Aroma kopi arabika Gayo menyeruak wangi setiap kali mesin sangrai bekerja. Di lantai atas, sebagian hasil sangrai digiling menjadi bubuk.
Sementara di lantai dasar, para pekerja menyortir kopi secara manual. Mereka kebanyakan perempuan. Pekerja laki-laki menjemur kopi di halaman gudang.
Persis di bagian muka gudang, generasi ketiga usaha itu, Ikrar (38), membangun sebuah kedai mungil. Sebagian biji, biji sangrai, dan bubuk kopi dijual langsung dalam kedai.
Pengunjung yang ingin mencicipi langsung cita rasa minuman kopi Gayo bisa mampir. Kedai yang dibangun Ikrar beserta sang istri, Nunuy, tersebut menjadi bagian dari transformasi usaha kopi Aman Kuba.
Pusat jual beli
Sejak awal berdirinya, gudang itu menjadi pusat transaksi kopi. Gudang itu pun menampung seluruh hasil kopi dari perkebunan di wilayah Gayo yang mencakup Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Pada hari-hari tertentu setiap pekan, ratusan pengumpul dan petani datang. Mereka memasok kopi, gelondongan buah merah kopi ataupun biji gabah. Pemilik gudang selanjutnya mengolahnya menjadi kopi biji hijau (greenbean), lalu diekspor ke berbagai belahan dunia.
Ikrar menunjukkan sebuah catatan pada buku tua milik Aman Kuba. Catatan itu menggambarkan besarnya transaksi kopi di masanya. Ada pula catatan harga biji kopi tahun 1947 sekitar Rp 135 per kilogram. Volume transaksi kopi dalam sebulan rata-rata 8 ton.
Aman Kuba membawa hasil kopi dari gudangnya ke Medan, Sumatera Utara, melalui jalur darat. Dulu, Medan belum menjadi pusat perdagangan.
Dari Pelabuhan Belawan, sang kakek masih harus mengapalkan kopinya ke Singapura atau Malaysia. Dari sana barulah menuju negara tujuan. ”Terkadang kakek ikut membawa sendiri kopinya hingga ke negara tujuan,” kata Ikrar.
Tenaga air
Saat itu, penggilingan gabah kopi menggunakan mesin bertenaga air. Sumbernya dari aliran Sungai Peusangan di Takengon.
Mesin itu punya empat fungsi sekaligus untuk menggiling gabah kopi dan padi serta mengolah kayu dan menjadi pembangkit listrik. Namun, mesin itu disebut-sebut sangat mahal.
Ada cerita bahwa Aman Kuba sampai harus menjual 13 truknya untuk membangun mesin tersebut. Mesin dirakit seorang bekas tentara Jepang. Sebagai upah merakit mesin, Aman Kuba membayarnya dengan jeep kesayangan.
Petani juga diajari mengolah buah menjadi gabah kopi. Tujuannya agar petani mendapatkan nilai tambah dari produknya.
Ketika usaha gudang semakin maju, kapasitas mesin bertenaga air tak lagi memadai. Aman Kuba menambah sebuah mesin bertenaga batubara dengan merek Ruston-Lincoln England. Pada 1990-an, mesin diperbarui dengan tenaga diesel.
Sewaktu berlangsung Konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1962 hingga 1966, ekspor kopi ikut terhenti. Aman Kuba memanfaatkan waktu sela yang cukup panjang untuk membantu petani membudidaya kopi.
Petani juga diajari mengolah buah menjadi gabah kopi. Tujuannya agar petani mendapatkan nilai tambah dari produknya.
Ketika konfrontasi berakhir, usaha Aman Kuba kian berkembang. Ia bahkan mampu membayarkan gaji pegawai negara dari hasil usaha kopi. Saat itu negara mengalami krisis keuangan.
Atas jasa-jasanya, Aman Kuba dianugerahi penghargaan dan hadiah berupa bangunan rumah toko di dekat Masjid Raya Baiturrahman.
Bertransformasi
Selama puluhan tahun Gudang Kopi Aman Kuba hanya mengolah kopi menjadi greenbean. Gudang itu mengekspor 1.200-1.500 ton biji kopi per tahun ke AS dan sejumlah negara di Eropa dan Asia.
Ketika itu, belum ada usaha sangrai dan pengolahan bubuk. Meskipun daerah itu merupakan salah satu penghasil kopi terbesar dunia, sentra oleh-oleh hanya menjual nanas dan alpukat. Belum ada pengusaha lokal yang memproduksi bubuk kopi arabika.
Keinginan Ikrar untuk memproduksi bubuk kopi muncul ketika ia menimba ilmu di seberang pulau. Dilihatnya bertebaran kafe-kafe menjual seduhan kopi arabika. Ikrar pun membayangkan potensi besar itu bisa dikembangkan di Gayo.
Ia pun belajar memproses biji hijau menjadi biji sangrai, kemudian menjadi bubuk kopi. Bagian depan gudang juga dibuka kedai kopi.
Beberapa kali Ikrar gagal mengolah kopinya sendiri menjadi seduhan kopi yang nikmat. Ia menghabiskan waktu cukup lama untuk berangkai eksperimen. Kedainya yang dibuka tahun 2007 sempat ditutup pada 2009.
Kedai dibuka kembali tahun 2012 setelah ia berhasil mengolah kopi arabikanya yang memiliki aroma dan cita rasa bermutu tinggi.
Transformasi kopi menambah panjang perjalanan kisah dari Gudang Kopi Aman Kuba. Setiap hari, beragam jenis minuman, oleh-oleh biji kopi, kopi sangrai, hingga bubuk laris dijajakan di kedai. Itu melengkapi kisah sukses gudang tua dari tanah Gayo. (NIKSON SINAGA/IRMA TAMBUNAN/ZULKARNAINI MASRY)