Lahir dan besar di tengah hamparan kebun kopi. Fikar W Eda (52) menjadi saksi buramnya potret kehidupan di Dataran Tinggi Gayo, Aceh. Ia berjuang membela para petani kopi lewat syair.

”Oo Takengon… Baru saja pulih dari api tikai

Namun sepanjang tahun dimiskinkan rentenir kopi

Aku endapkan sengsara petani Takengon

Sampai garuda merapatkan tubuh di Blang Bintang”

Syair itu meluap-luap dalam heningnya malam. Angin dari tepi Danau Laut Tawar menyibak rambutnya yang panjang dan mulai memutih.

Dengan pakaian tradisional Gayo, dilengkapi kelubung berukir kerawang Gayo, dan kedua tangan terangkat ke langit, Fikar meraungkan kegelisahan. Kisah tentang nasib petani kopi yang tertindas diberinya judul ”Takengon 29 Ribu Kaki”.

Sampai sekarang pun petani Gayo masih sulit lepas dari cengkeraman rentenir, ujarnya saat berbincang dengan Kompas di sela Festival Panen dan Jazz Kopi Gayo 2017. Acara itu digelar di tepi Danau Laut Tawar, Desa Suku, Kecamatan Rawe, Kabupaten Aceh Tengah, Desember 2017.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Fikar W Eda, Penyair Kopi Gayo

Puisi ini, katanya, adalah wujud pembelaan terhadap nasib petani kopi. Fikar sering miris menyaksikan kehidupan mereka selalu terjerat dalam kemiskinan. Padahal, hasil kopi dari tanah Gayo bernilai jual tinggi.

Kopi arabika yang dihasilkan perkebunan rakyat terluas di negeri ini, Dataran Tinggi Gayo, yang terbentang di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tenggara, memegang skor di atas 84. Skor itu menandakan aroma dan cita rasanya masuk kategori spesialti.

Skor itu menempatkan kopi Gayo sebagai salah satu produk kopi terbaik dan paling diburu di dunia. Namun, kemasyhuran itu tak tergambar dalam kehidupan petani Gayo. Setidaknya, itu selalu terkenang dalam ingatan Fikar pada tempat kelahirannya.

Derita petani

Fikar lahir di Takengon, 8 Mei 1966. Jauh sebelum merantau, Fikar menghabiskan masa kecil di desa bersama orangtuanya. Ibu dan ayahnya petani kopi. Mereka memiliki kebun kopi seluas 4 hektar. Cukup luas.

Namun, kerap kali ia dapati sang ayah mengeluh. Harga jual kopi terlalu rendah. Hasil itu tak cukup untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Ia tahu betul bahwa orangtuanya bertekad kuat ingin menyekolahkan Fikar dan dua saudaranya hingga perguruan tinggi.

Konflik Aceh yang berlangsung sepanjang tahun 1974 hingga 2005 adalah situasi paling kelam dalam kehidupan orang Gayo. Konflik terjadi di mana-mana. Tak pandang bulu mengancam keselamatan jiwa.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petani memetik buah kopi di Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh, Selasa (19/12/2017). Kopi menjadi komoditas utama Aceh Tengah, setidaknya ada 35.000 keluarga menyandarkan penghidupannya dari 48.000 hektar kebun kopi rakyat.

Kontak tembak sering terjadi di sekitar kebun. Petani diwarnai ketakutan merawat tanaman. Bisa dibilang, orang yang tetap nekat berkebun sama saja ingin mati. Kebun kopi akhirnya terbengkalai menjadi semak.

Dalam kondisi ekonomi yang kian terdesak, sang ayah terpaksa menjual sebagian lahan kebunnya.

Mengenal seni

Kecintaan Fikar pada seni terpupuk sejak masa kecilnya. Dulu, sang kakek kerap mengundang pemain didong (seni bersyair) datang ke rumah. Pemimpin syair, yakni Syeh Didong, pun menghibur seisi rumah. Sejak itulah Fikar mulai menyukai seni.

Saat di pendidikan menengah atas, Fikar aktif di sanggar. Ia belajar membuat narasi, membaca puisi, hingga teater. Tak jarang ia tampil dalam berbagai ajang pentas di Takengon.

Tak hanya berpentas, ia pun gemar menuliskan reportase dari hasil kegiatan itu. Tulisannya dikirim ke media cetak. Pada masa itu pula dia belajar jurnalistik.

Fikar pun sangat mengagumi puisi-puisi karya WS Rendra. Dia bermimpi suatu saat bisa tampil satu panggung dengannya.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Perang didong pada rangkaian acara Festival Panen Kopi Gayo di Laut Tawar, Aceh Tengah, Sabtu (16/12/2017) malam. Didong merupakan perang puisi dan syair yang menjadi tradisi turun-temurun. Perang didong ini biasanya berlangsung dari malam hingga pagi.

Setelah menikah dan merantau ke Jakarta pada 1997, Fikar bertemu dengan penyair idolanya. Sang istri, Devi Komala Syahni, berasal dari keluarga seniman. Keluarga Devi rupanya cukup dekat dengan Rendra. Sejak itu, Fikar belajar banyak kepada Rendra.

Sewaktu konflik Aceh mendidih pada rentang 1999 hingga 2003, Fikar dan Rendra meneriakkan perdamaian lewat puisi. Mereka berjuang dari panggung ke panggung. Melawan penindasan dan ketidakadilan dalam syair.

Pada tahun yang sama, Fikar mengeluarkan buku perdana kumpulan puisi berjudul Rencong. Buku itu diluncurkan di Universitas Indonesia. Fikar kemudian melanjutkan studi magister sastra di Institut Kesenian Jakarta. Hingga kini, karya-karya Fikar dibukukan dalam antologi puisi sebanyak 15 buku.

Syair kopi

Pasca-perdamaian Aceh tahun 2005, puisi Fikar tidak lagi bicara tentang konflik. Puisinya kini lebih romantis. Ia lebih banyak menggaungkan budaya, lingkungan, hingga kopi.

Dia membentuk grup musikalisasi puisi Rangkaian Bunga Kopi. Melalui grup itu, Fikar giat mengampanyekan kopi dan memperjuangkannya untuk mengangkat kesejahteraan petani kopi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Fikar W Eda, Penyair Kopi Gayo

Bersama sejumlah seniman, ia pun menggelar November Kopi. Ini merupakan serangkaian acara terkait kopi sepanjang bulan November. Kegiatannya digelar selama sebulan penuh. Para aktivis seniman dan budayawan berpuisi dan menyajikan musik di pasar, kebun kopi, kedai, hingga danau.

Mencintai seni tak membuatnya melupakan kopi. Ia malah ingin mengangkat kopi menjadi tak sekadar komoditas kebun dan dagang. Kemuliaan kopi Gayo harus seiring dengan terangkatnya pariwisata di Gayo serta kesejahteraan masyarakatnya. Sebagai orang seni, saya wajib mengampanyekan kopi lewat syair, ujarnya.

Melewati setengah abad usianya, keprihatinan Fikar tak surut. Perjuangan memang belum berakhir. Syairnya akan terus menyuarakan jeritan petani Gayo. (ZULKARNAINI/IRMA TAMBUNAN/NIKSON SINAGA)

BIODATA

Nama: Fikar W Eda

Lahir: Takengon, 8 Mei 1966

Alamat:

– Jalan Belang Mersa No 206, Takengon

– Perumahan Citra Indah Blok N9 No 56, Jonggol, Bogor

Pendidikan:

SD Negeri 6 Takengon (1973-1978)

SMP Negeri 2 Takengon (1979-1981)

SMA Negeri 1 Takengon (1982-1984)

S-1 Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1984-1990)

S-2 Institut Kesenian Jakarta angkatan III (2010-2012)

Istri: Devi Komala Syahni

Anak:

  • Siti Afraghassani
  • Siti Zettarenggali
  • Mohammed Tuahtakengon

Penghargaan: Anugerah dari Pemerintah Provinsi Aceh Meukuta Alam Bidang Sastra Indonesia (2009)

Pekerjaan:

  1. Jurnalis Serambi Indonesia sejak 1989 sampai sekarang
  2. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015
  3. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh 1990-1995